BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hubungan TNI-Polri: Yang Rapat dan yang Berjarak

Hubungan TNI-Polri: Yang Rapat dan yang Berjarak

Written By gusdurian on Selasa, 13 Januari 2009 | 12.13

Hubungan TNI-Polri: Yang Rapat dan yang Berjarak
Oleh Adrianus Meliala Guru Besar Kriminologi FISIP UI

S EBAGAI seorang yang bukan ahli politik, maka minat penulis mengamati perilaku dari dua organisasi besar dan penting bagi negeri ini lebih terkait dengan perilaku keseharian yang ditampilkan para personelnya. Walau tidak didukung kerangka analisis yang kuat, mengamati dari sudut itu pun ternyata cukup menarik.
Yang berjarak Amatan pertama terkait dengan upaya kedua organisasi saling menjaga jarak, untuk tidak dikatakan saling berbeda, dalam beberapa hal. Yang segera terlihat adalah ketika TNI, melalui suara Departemen Pertahanan, mati-matian menolak upaya memproses hukum personel TNI yang melakukan pelanggaran maupun kejahatan di luar tugasnya sebagai prajurit.

Alasan yang diketengahkan adalah alasan sejarah dan alasan ketidaksiapan Polri sebagai aparat peradilan umum guna memproses seorang tersangka berstatus anggota TNI. Kerasnya penolakan tersebut nampaknya mencerminkan posisi harga mati tidak membiarkan personel TNI 'disentuh' Polri.

Dalam hal hukum-menghukum, Polri juga nampaknya sengaja membedakan diri secara ekstrem dengan TNI. Tidak tanggung-tanggung, jenderal bintang empat dan mantan kapolri pun 'direlakan' untuk menjadi tersangka KPK. Personel polisi pun kini dibiasakan untuk melihat mantan petinggipetingginya memakai baju berbeda, yakni baju tahanan, ketika para jenderal polisi ditahan di markas kepolisian. Posisi ekstrem polisi itu tidak pelak menimbulkan kesan bahwa polisi lebih reformis jika dibandingkan dengan tentara.

Kita ambil contoh lain. Dari sudut Polri, ternyata ada pula perilaku yang secara langsung maupun tidak ingin memperlihatkan bahwa Polri 'berbeda' dari TNI. Penempatan Polri di bawah presiden cenderung diyakini mati-matian oleh kalangan Polri, walaupun sebetulnya posisi itu adalah posisi transisi dan menyalahi konteks demokrasi. Analogi bahwa sebagai profesional keduanya, tentara dan polisi, harus berada di bawah kontrol sipil cenderung ditolak.

Kilah yang diajukan adalah Polri di bawah kementerian tertentu akan mudah di-obok-obok alias dipolitisasi. Kenyataan bahwa ketika masih dipimpin Menhan almarhum Matori Abdul Djalil dan Mahfud MD, Departemen Pertahanan tidak menjadi ke-PKBPKB-an tetap tidak hendak dilihat sebagai referensi. Demikian pula kenyataan-kenyataan lain bahwa keberadaan menteri dari partai politik tidak selalu menjadikan kementeriannya berwarna sama dengan menterinya. Hal itu mengingat alat intervensi yang dimiliki (yakni RPJM, APBN, dan DIPA) semuanya dipelajari dan dikabulkan lembaga-lembaga 'merah putih' seperti Bappenas, Departemen Keuangan, dan parlemen.

Yang mendekat Berbeda dengan beberapa contoh tersebut yang seakan-akan memperlihatkan bahwa TNI dan Polri, setidaknya menurut persepsi para personelnya, sebagai amat berbeda, maka beberapa contoh berikut memperlihatkan sebaliknya.

Dalam suatu diskusi yang banyak dihadiri jajaran TNI, penulis mengemukakan analogi 'minyak dan air' terkait dengan hubungan TNI-Polri. Analogi itu dibantah keras, terutama oleh jajaran TNI. Minimal secara legal bantahan itu memang ada benarnya. Polisi, misalnya, memiliki kemampuan paramiliter yang terbatas. Sementara itu, tentara juga memiliki peran perpolisian (policing) secara terbatas khususnya dalam rangka operasi militer bukan perang.

Dewasa ini, konteks minyak dan air cenderung dikesampingkan. Sebaliknya, yang dikedepankan adalah semangat 'kebersamaan', khususnya dalam rangka menanggulangi konflik personal anggota TNI-Polri yang memang terus menggejala (dengan menimbulkan korban orang sipil) pada setengah dekade ini.

Yang kini diupayakan optimal adalah upaya mendekatkan anggota TNI-Polri untuk saling mengenal, saling kunjung, acara morning coffee bersama, pembukaan jalur komunikasi yang intens antarkomandan dan lain-lain. Cara berpikirnya adalah apabila hubungan personal sudah sama-sama dekat dan saling menyadari keterbatasan masing-masing, emosi tidak akan cepat naik apabila anak buah saling bergesekan di lapangan. Persoalan bahwa konflik itu pada dasarnya hanyalah akibat dari belum selesainya setting makro dan strategik mengenai peran TNI dan Polri yang justru tidak disentuh.

Selanjutnya, kegiatan saling mendekat juga terjadi dalam rangka kegiatan antiteror yang terwujud dalam bentuk latihan bersama beberapa saat lalu. Tidak tanggung-tanggung, latihan meliputi berbagai pasukan khusus TNI dan Polri dan serentak diadakan di berbagai kota. Bahkan, untuk Jakarta, serentak diadakan di beberapa titik sekaligus.

Secara hukum, sebenarnya tidak besar kemungkinan terjadinya situasi sebagaimana disimulasikan dalam latihan bersama itu. Menurut UU Tindak Pidana Terorisme misalnya, teror adalah kejahatan yang ditegakkan secara hukum oleh polisi. Kalaupun TNI mau terlibat, tentunya berbagai prasyarat perlu dipenuhi terlebih dahulu. Pertanyaannya, walau secara hukum telah jelas-jelas berjauhan, kenapa secara operasional didekatkan? Bukankah itu berarti kesia-siaan?

Memahami Bagaimana memahami situasi kontras sebagaimana diuraikan pada dua sub sebelumnya. Bagaimana mungkin pada hal-hal tertentu keduanya seakan berlomba membedakan diri, tetapi pada hal-hal lain juga seakan berlomba menganggap TNI-Polri itu serupa tapi tidak sama?

Analisis pertama adalah bahwa hanya kepentinganlah yang memungkinkan itu terjadi. Berjarak atau mendekat hanyalah semata-mata posisi politik yang dianggap lebih menguntungkan. Dengan kata lain, bukan posisi ideologis bahwa militer seharusnya, katakanlah, berada pada jalur tertentu dan polisi berada pada jalur yang lain.

Jika semua itu hanya berbasis kepentingan, keuntungannya adalah posisi itu akan berubah secepat kalkulasi politik yang juga berubah. Terkait dengan itu, kita tidak perlu ragu bahwa, untuk menyebut contoh, anggota TNI tidak akan masuk peradilan umum dan Polri tidak akan berada di bawah kementerian. Semua hal bisa terjadi.

Namun, kerugiannya adalah mengingat TNI dan Polri adalah organisasi yang vital bagi bangsa ini, tidak seyogianya semua perilaku mereka berbasis perhitungan politis. Jika itu terus terjadi, akan ada kemungkinan publik tidak memperoleh jaminan keamanan yang terbaik.

Analisis kedua terkait dengan, katakanlah, teori ruang dan benda bergerak. Kedua organisasi tadi berikut perilakunya kini mirip dengan benda yang tengah bergerak dalam ruang yang masih kosong.

Singkatnya, keduanya tengah mencari bentuk dalam ruang demokrasi di Indonesia yang belum menemukan contoh bagaimana menjadi militer yang baik dan menjadi polisi yang baik. Maka, jadilah setiap perilaku terbentuk dengan prinsip trial and error sebelum kemudian timbul keajekan dan kepastian. Dalam kaitan ini, dapat dipertimbangkan bahwa tidak hanya keduanya yang tengah bergerak mencari bentuk, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti birokrasi, masyarakat sipil maupun negara sendiri yang terus mencari peran-peran baru mereka.

Terdapat kerugian apabila situasi itu berlangsung terlalu lama, yakni terkait dengan peran strategis yang disandang TNI dan Polri itu sendiri sebagai pemelihara keamanan sekaligus pemersatu bangsa. Tidak seyogianya peran strategis itu dikalahkan perilaku yang muncul dengan prinsip trial and error.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/13/ArticleHtmls/13_01_2009_010_007.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: