"BERANI TARUHAN!! KAMU NGGAK BAKAL KUAT
BACA TULISAN INI SAMPAI HABIS SEKARANG!!!! "
Banjir bandang itu benar-benar datang setelah Nuh dan para pengikutnya
naik ke sebuah perahu besar yang sudah sejak jauh hari dipersiapkan. Dan
dalam waktu sekejap, negeri kaum kafir penyembah berhala itu pun
tenggelam tanpa menyisakan apa-apa. Hingga lambat-laun banjir pun surut,
Nuh dan pengikutnya tadi memulai kehidupan baru yang lebih baik di bumi.
Tentu kita semua mengenal penggalan kisah di atas. Banjir bandang di
zaman Nuh adalah kisah yang bisa kita jumpai hampir di semua kebudayaan
dunia. Kisah ini juga banyak didiskusikan mulai dari kalangan agama,
baik Yahudi, Nasrani, dan Islam, hingga ke kajian-kajian ilmiah dan
penelusuran arkeologi.
Sempat juga ada perdebatan sengit yang mempertanyakan, apa kisah ini
betul-betul pernah terjadi di masa lalu, bagaimana kita menemukan
bukti-bukti arkeologisnya hari ini, apakah banjir ini berskala lokal di
satu daerah saja, ataukah ia terjadi secara global menyapu seluruh
permukaan bumi kita di masa itu, dll dsb.
Namun terlepas dari segala perdebatannya, saya percaya betapa kisah
banjir bandang Nuh ini hendak menyiratkan sesuatu, yakni ada suatu
kekuatan `lain' dari alam semesta yang lebih besar dari yang
bisa dicegah, ditanggulangi, dan diatasi oleh manusia itu sendiri. Bahwa
kita manusia dianugrahi dengan segala keterbatasan.
Dan kini di abad 21, kita paham bahwa zaman Nuh memang telah lama lewat.
Bisa dipastikan tak ada satupun dari kita semua yang sempat menyaksikan
betapa dahsyatnya banjir bandang paling mengerikan di kala itu.
Peristiwa ini pun sekarang cukup kita jadikan pedoman teologis
keagamaan, kita hayati dalam-dalam, atau sekedar kita jadikan catatan
sejarah masa lalu.
Tapi kehidupan peradaban di abad 21 ini juga, saya melihat dengan mata
kepala saya sendiri bahwa ada banjir bandang lain yang tampaknya tengah
kita renangi bersama tanpa sadar. Banjir bandang kali ini memang bukan
berasal dari kekuatan `lain' di luar manusia, sebab ia justru
hadir di hadapan kita karena kita sendiri yang menciptakannya.
Banjir bandang ini juga tidak berupa air bah seperti yang terjadi di
zaman Nuh. Banjir bandang nan dahsyat kali ini, yang selanjutnya akan
saya sebut sebagai banjir Nuh abad 21, adalah banjir informasi yang kian
hari kian menyesaki setiap relung kehidupan dan aktivitas sosial kita
sekarang.
Sebuah banjir Nuh abad 21 yang sedang membuat kita terseret-seret dan
megap-megap ke dalam riuh-derasnya perkembangan teknologi komunikasi dan
internet, membawa serta arus informasi yang datang dan pergi
bertubi-tubi, tanpa kita sempat kita punya waktu dan konsentrasi untuk
mencerna apa isi dan kandungan pesan informasinya itu.
Bukannya kebetulan bila saya memilih kisah Nuh di atas sebagai pembuka.
Sejak awal ide ini muncul dalam benak minta dituliskan, saya
membayangkan bahwa esai ini nantinya akan dibuka dengan penggalan kisah
dahsyat yang mendebarkan nan terkandung pesan bijak tersebut sebagai
bahan renungan dan refleksi untuk kita semua yang hidup jauh setelah
bencana dahsyat itu terjadi.
Sebelum memasuki pembahasan selanjutnya, saya bakal sedikit menceritakan
pengalaman saya di balik penulisan teks yang tengah kawan-kawan hadapi
sekarang. Ketika mulai merencanakan menulis esai ini, awalnya saya
membutuhkan beberapa informasi acuan sebagai bahan referensi. Ini
merupakan hal yang biasa saya lakukan setiap saya hendak menulis
sesuatu. Dan kali ini untuk tema yang tengah saya angkat sekarang, saya
memutuskan mencari informasi bertemakan tentang banjir bandang yang
pernah terjadi di zaman Nuh.
Memang betul bahwa kehadiran teknologi teknologi dan internet hari ini,
membuat kegiatan saya menulis seperti kian dimudahkan. Dulu waktu saya
masih SMP di mana internet belum marak seperti sekarang, saya mesti
berhadapan dengan petugas perpustakaan yang kaku dan mejanya yang dingin
berdebu, untuk meminjam setumpuk buku tebal yang bakal jadi referensi
tulisan saya ataupun tugas dari sekolah. Itu pun lengkap dengan bonus
tangan pegal-pegal karena capek mencatat ulang berhalaman-halaman, atau
kadang langsung saya fotokopi saat punya uang jajan lebih.
Tapi di tahun 2008 ini, saya dan jutaan penulis lainnya cukup duduk
manis berhadapan dengan layar komputer yang terkoneksi internet. Dus,
seluruh dunia bisa kami kunjungi dalam sekejap. Berbagai dokumen,
artikel, kajian ilmiah dan informasi lainnya bisa dijangkau cukup dengan
menggeser tetikus yang menunggu untuk di-klik kanan dan klik kiri.
Sekilas memang, teknologi mampu membebaskan penderitaan kami sebagai
penulis, paling tidak dalam hal mencari referensi bahan tulisan. Selamat
tinggal wahai penjaga perpus yang berkacamata tebal dan membosankan.
Selamat tinggal buku-buku tebal-berat yang berdebu. Kemungkinan besar,
mulai sekarang kami tak membutuhkan kalian lagi.
Maka alih-alih pergi ke perpustakaan besar yang terkenal lengkap
bukunya, langkah pertama ketika hendak menuliskan esai ini, dengan
entengnya saya belok ke sebuah warnet di pinggir jalan sekitaran Malabar
dekat tempat kost saya di kawasan Bogor.
Di warnet kecil nan apek berasap rokok itu, saya cukup mengarahkan
tetikus masuk ke sambungan internet di komputer, mengetikkan alamat
laman mesin pencari yang kerap disapa mbah Google itu. Kemudian
memasukkan kaca kunci `banjir bandang Nuh', dan tekan enter.
Cukup semudah itu, kawan-kawan! Maka dalam sepersekian detik saja, si
mbah sakti yang baik itu telah membantu saya mendapatkan beragam tautan
laman berisi segala macam informasi yang saya butuhkan tentang banjir
bandang Nuh itu.
Kalau saya tak salah mengingat, layar komputer di hadapan saya saat itu
memunculkan sekitar 20 halaman tentang banjir bandang Nuh, yang di
masing-masing halamannya berisi sekitar 20 tautan ke berbagai laman yang
berbeda lagi. Jadi kalau ditotal-total pakai hitung-hitungan, dalam
waktu 0,049 detik saja mbah Google telah menghadapkan saya pada 400
informasi berbeda. Semuanya berisi tentang peristiwa banjir Nuh!!
Hmmm. Ada yang terasa ganjil memang.
Saya yakin bahwa jumlah 400 informasi tersebut masih bisa meningkat
lagi. Karena masing-masing tautan informasi tentang banjir Nuh itu, akan
selalu terhubung ke tautan lain lagi yang juga bertautan-tautan dengan
informasi lainnya dan begitu seterusnya. Semuanya ini menimpa saya
seolah-olah tiada akhir dan tanpa rujukan awal.
Hingga tak berapa lama seiring saya membuka tautan itu satu-persatu,
sesuau yang awalnya saya rasakan ganjil tadi kini menjelma wujudnya,
sesuatu yang mungkin bisa disandangkan dengan kehebohannya kaum kafir
Nuh ketika banjir bandang itu datang. Ya kawan-kawan, saya merasa telah
kebanjiran informasi, lebih dari apa yang awalnya saya butuhkan.
Selepas dari warnet, saya sudah membawa pulang informasi untuk bahan
tulisan sebanyak 100 halaman lebih berupa artikel, gambar foto, dan
hasil penelitian ilmiah terkait dengan banjir Nuh. Yakni temuan ratusan
halaman berisi informasi yang tentu saja akan sangat menyiksa bila mesti
saya pelototi satu persatu.
Lagi pula berani jamin, saya tak akan punya cukup waktu untuk membaca
utuh kesemuanya itu hanya demi menyelesaikan satu buah esai iseng yang
tengah saya selesaikan sekarang. Toh kalau kawan-kawan lihat lagi
pembuka esai ini, ternyata saya hanya sanggup menuliskannya dalam satu
paragraf singkat saja.
Sia-siakah yang saya lakukan dengan mbah Google tadi? Hmm.. Saya belum
berani menjawab. Satu hal yang pasti, mulai sekarang saya mengidap
kegemukan (obesitas) informasi. Bayangkan saja, setiap pagi ketika
membuka akun surel saya, puluhan surat yang berisi macam-macam informasi
masuk tanpa ampun ke kotak pesan bertubi-tubi. Entah itu pesan penting
dari rekanan, surat sapaan dari sahabat, terusan surat dari mailing
list, atau sekedar iklan online dan spam yang sudah pasti langsung saya
hapus.
Sudah dua tahun belakangan ini saya memang banyak menghabiskan waktu
online. Entah sekedar berseluncur ke berbagai laman, mengunjungi
berbagai tautan menarik, atau sekedar blogwalking- an. Dan setelah
semuanya itu saya lalui, pelan-pelan saya mulai merasakan ada yang
berubah dari diri saya sekarang.
Dan yang berubah dari diri saya itu adalah cara saya membaca dan
berkonsentrasi. Khususnya ketika saya sedang membaca informasi secara
online, konsentrasi saya bisa buyar loncat ke kanan mampir ke kiri.
Sulit rasanya untuk membaca dengan intens berbagai dokumen dan artikel
sebuah laman, ataupun sekedar posting-an di blog ketika saya online.
Konsentrasi saya biasanya langsung buyar segera setelah membaca paragraf
ketiga dan keempat. Di paragraf-paragraf selanjutnya, minat baca saya
juga sudah luntur karena tergoda berbagai tautan dan gadget lainnya yang
minta di-klik juga. Paling-paling kalau memang tulisan itu penting dan
menarik, saya cukup menyimpannya ke hard disk komputer, yang belum tentu
juga akan saya baca lagi. Hehehe…
Apa boleh buat, kini setiap sedang online, saya mesti merelakan otak
saya melompat-lompat dari satu informasi ke informasi lainnya, dari satu
tautan ke tautan lainnya, dengan kemampuan konsentrasi yang kian hari
saya rasakan kian menurun. Dan parahnya, tuntutan pekerjaan saya
sekarang juga membuat saya mesti terjebak dengannya.
Dulu ketika belum begitu ketergantungan internet, saya sanggup
menghabiskan berpuluh-puluh halaman buku dengan cara baca yang intens
dan terkonsentrasi. Setelah habis satu buku, baru saya lanjutkan membaca
buku lain dengan cara dan konsentrasi yang sama. Dari situlah saya
mendapatkan manfaat dan kenikmatan membaca, saya mulai hobi mengkoleksi
buku, hingga Ibu saya sekarang selalu curiga buku apa lagi yang akan
dibeli anaknya ini di gajian bulan depan.
Konon, dari berbagai teknik membaca yang dulu pernah saya pelajari
ketika kuliah dulu, membaca adalah kegiatan yang membutuhkan teknik dan
keahlian tersendiri. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan manfaat
maksimal dari yang kita baca. Makanya salah satu dosen saya bilang,
membaca bukanlah kegiatan yang bisa sambil lalu saja dilakukan.
Saya pun mulai belajar bagaimana caranya membaca yang baik. Ternyata ada
berbagai macam teknik membaca yang masing-masing punya tujuan
tersendiri.
Misal saja membaca scanning, yaitu teknik membaca dengan utuh mulai dari
kata, kalimat, paragraf, hingga ke seluruh karangan, hinga kita bisa
paham inti paragraf dan maksud dari sebuah karangan itu ditulis.
Scanning itulah yang dulu saya gunakan ketika hendak membaca sesuatu
yang saya anggap penting dan perlu.
Kalaupun kita hendak membaca dengan cepat demi tujuan tertentu saja,
teknik yang bisa kita gunakan adalah skimming. Teknik skimming inilah
yang biasa saya gunakan setiap berkunjung ke toko buku yang tak
memungkinkan saya berlama-lama di sana. Dalam kata lain, skimming adalah
teknik membaca yang tak benar-benar membaca, tapi hanya sekedar
melihat-lihat.
Tapi kini saya sadar, bahwa setiap sedang online, saya tak pernah lagi
membaca scanning. Justru yang selalu saya lakukan hanyalah membaca
skimming, alias melihat-lihat saja.
Dan, Wow, tunggu dulu, stop dulu Pry, ujar saya dalam hati.
Saya juga belum tahu apakah kawan-kawan juga tengah merasakan hal yang
sama. Bahkan ketika kawan-kawan membaca esai saya hingga ke paragraf 35
ini, apakah kawan-kawan benar-benar membaca atau sekedar melihat-lihat
saja sekarang? Saya belum berani menjawabnya. Toh esai ini masih belum
hendak selesai sampai di sini saja. Di paragraf-paragraf selanjutnya,
saya akan mengajak kawan-kawan masuk ke pembahasan pokok yang lebih
serius nan sok filosofis teoritis mengenai banjir Nuh abad 21 ini. Jadi,
siap-siaplah berkonsentrasi mulai sekarang. Hehehehe…
Banjir Nuh Abad 21
Konon, ketika Patih Gajah Mada masih menguasai Nusantara dengan
Majapahitnya, alat penyampai informasi jarak jauh paling canggih saat
itu adalah kentongan dan asap. Selebihnya, hanya kurir-kurir setia itu
yang mendaki gunung turuni lembah untuk menyampaikan pesan kerajaan ke
berbagai orang di berbagai wilayah, itupun membutuhkan perjalanan
berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan baru pesannya bisa sampai.
Informasi dan pesan komunikasi jarak jauh masih menjadi `barang'
mewah saat itu. Sebuah pesan dan kabar berita yang baru yang datang dari
tempat lain, adalah peristiwa luar biasa yang sangat jarang terjadi.
Kalaupun mereka mau tahu informasi terbaru apa saat ini, biasanya mereka
sendiri yang harus mencarinyam, baik di tempat-tempat pertemuan warga,
di pasar, alun-alun, ataupun di pelabuhan yang ramai.
Tapi manusia pintar. Mereka menciptakan teknologi komunikasi untuk
mengatasi jarak ruang dan waktu secara geografis. Manusia pelan-pelan
mulai menguasai jarak tersebut dengan memampatkannya. Jarak yang
harusnya ditempuh berbulan-bulan untuk menyampaikan sebuah informasi ,
kini dalam waktu sekejap saja dapat sampai secepat mungkin ke sebanyak
mungkin orang lewat telegraf, telepon, radio dan televisi.
Pemampatan ruang-waktu inilah yang membuat dunia serasa makin sempit
saja seiring tingginya kebutuhan masyarakat akan berbagai informasi.
Pemampatan ruang-waktu ini jugalah yang nyatanya tak hanya memampatkan
jarak dunia secara geografis, tapi juga dengan telak membuat manusianya
centang perenang tenggelam dalam cepatnya arus informasi itu sendiri
yang datang dan pergi bertubi-tubi.
Lihat saja keseharian kita sekarang, kawan. Setiap pagi, saat kita buka
koran terbaru, di situ akan tercetak belasan, puluhan, bahkan ratusan
informasi terkini tentang bermacam-macam peristiwa dari segala penjuru
dunia saling berdesak-desakan. Juga saat kita buka kotak pesan surel
kita kita, setiap harinya akan ada belasan, puluhan, bahkan ratusan
informasi berdesak-desakan yang secara bersamaan pula minta
diperhatikan.
Esok harinya, semuanya itu telah menghilang dan dengan cepat digantikan
dengan informasi yang lebih baru lagi, dan begitu terus tanpa kita tahu
kapan semuanya berakhir. Dan hebatnya lagi, semua terjadi tanpa perlu
kita bepergian kemana-mana untuk mencari informasi, justru informasi itu
sendirilah yang datang sendiri pada kita.
Kini kita pun bisa mengucapkan selamat datang pada banjir Nuh Abad 21.
Sebuah banjir informasi dimana kita tak hanya akan mengidap obesitas
informasi, tapi juga dibuat mabuk oleh kecepatan informasi itu sendiri.
Inilah zaman dimana pola kehidupan sosial kita telah mencapai apa yang
disebut Jean Baudrillard sebagai pola implosi (implosion), yakni
meledaknya informasi ke arah manusia (sebagai pusat) yang berdiam diri
di tempatnya masing-masing. Sebuah banjir, bahkan boom informasi meledak
tepat di jantung peradaban manusia abad ini.
Yasraf Amir Piliang melukiskan fenomena ini demikian, "di dalam boom
informasi itu, tidak berarti bahwa semua informasi itu berguna dan dapat
meningkatkan kualitas hidup. Kecepatan informasi kadang-kadang tidak
sebanding dengan kemampuan manusia daslam menyerapnya. Informasi datang
begitu cepat dan begitu raksasa, sehingga kadang-kadang terlalu cepat
dan besar untuk dapat diserap oleh pikiran manusia." (2004;65)
Bahaya Laten Internet Bagi Otak
Pada 1970, Pemerintah Amerika Serikat mencanangkan tahun tersebut
sebagai tahun dimulainya Dekade Membaca. Membuat Gedung Putih ikut sibuk
mengalokasikan sejumlah Dana Federal untuk mendukung berbagai usaha yang
dapat mengenalkan warganya mengenal seni membaca sejak dini.
Berbagai klub membaca dan kursus membaca pun jadi marak. Sekolah-sekolah
dan fakultas juga mulai mengadakan pelatihan membaca bagi anak didiknya.
Bahwa yang tengah dilakukan Amerika saat itu adalah mengoptimalkan
kemampuan membaca dengan baik, dan dengannya pengetahuan mereka bakal
terbentuk dengan baik pula.
Tapi kini semuanya mulai berubah. Seiring meningkatnya konsumsi kaum
muda Amerika akan internet, mereka mulai mengkhawatirkan tumbuh-suburnya
benih-benih anti-intelektualism e sebagai akibat dari perkembangan
teknologi internet yang pesat belakangan ini.
Apa pasal? Rupa-rupanya, mereka menyadari bahwa ada yang tengah berubah
dari cara mereka membaca secara tradisional dalam bentuk cetakan, dengan
membaca ketika sedang online di internet.
Adalah Nicholas Carr dalam sebuah artikelnya yang mengaku mulai
kehilangan kemampuannya membaca dengan fokus. Carr yang menengarai hal
tersebut akibat kebiasaannya berseluncur ke berbagai laman, loncat dari
satu halaman ke halaman lainnya, berpindah dari satu tautan ke tautan
berikutnya. Dan setiap Carr mulai membaca sebuah artikel secara online
ia mengaku demikian, "Now my concentration often starts to drift
after two or three pages. I get fidgety, lose the thread, begin looking
for something else to do."
Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan Bruce Friedman, seorang
patologis dari University of Michigan Medical School yang juga pengelola
blog tentang penggunaan komputer di bidang kesehatan.
"I now have almost totally lost the ability to read and absorb a
longish article on the web or in print . . . I can't read War and
Peace
post of more than three or four paragraphs is too much to absorb. I skim
it," terang Friedman yang dikutip juga oleh Carr.
Tak sampai di situ, simak juga penelitian tentang online habits yang
digelar University College London beberapa waktu lalu. Mereka meneliti
tentang kebiasaan pengunjung dua laman populer yang menyediakan akses
infomasi tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis
lainnya.
Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya
melihat-lihat, membaca tak lebih dari dua halaman artikel atau buku,
untuk selanjutnya puindah lagi ke sumber lain. Mereka mungkin bakal
menyimpan file artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka
benar-benar membacanya.
Carr kemudian juga mengutip keresahan Maryanne Wolf, seorang psikolog
dari Tufts University. Gaya membaca online yang mengedepankan etos
kesegeraan dan keefisiensian, menurut Wolf, dikhawatirkan dapat
melemahkan kemampuan seseorang untuk membaca dengan seksama.
Sebab menurutnya, membaca bukanlah kemampuan alamiah manusia. Kita mesti
melatih otak kita untuk menerjemahkan simbol karakter dan huruf yang
kita lihat ke dalam bahasa yang kita pahami. Untuk itu, media dan
teknologi yang kita gunakan ketika membaca, memainkan peran penting
dalam membentuk pola sirkuit syaraf dalam otak kita.
Dari sini ingatan saya pun beralih pada teori komunikasi yang saya
pelajari dalam kelas matakuliah Filsafat Komunikasi semasa kuliah dulu.
Bahwa media komunikasi tak sekedar alat untuk menyampaikan pesan
komunikasi, tapi juga secara kreatif akan membentuk konstruksi realitas
tertentu dalam benak manusia yang menerima dan memaknai pesan tersebut.
Tak heran bila karakter media juga dipandang mampu membentuk proses
berpikir seseorang.
Asumsi inilah yang kemudian bisa kita lekatkan pada internet sebagai
media komunikasi massa online yang punya karakter khas dan berbeda
dengan media komunikasi lainnya. Bahwa jelas sekarang, ditengah-tengah
pujian, pemujaan dan ketergantungan banyak orang akan internet, ternyata
ia menyimpan bahaya latennya sendiri. Internet –dengan segala banjir
Nuh, kecepatan dan obesitas informasinya– lambat laun niscaya
melemahkan konsentrasi otak kita.
Dari sini baru muncul pertanyaan, adakah kita menyadari hal tersebut?
Perlukah saya ulangi lagi pernyataan Pascal 30 tahun silam di sini yang
berkata, "Saat kita membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, kita
tidak akan mengerti apa-apa."
Kata Siapa Google Tak Membuat Kita Bodoh?
Sebelum menutup esai ini, saya ingin mengucapkan selamat bagi anda
kawan-kawan pembaca sekalian yang dengan betahnya (hehehehe... )
mengikuti pembahasan saya dan sampai pada bagian ini. Apalagi bila
kawan-kawan mampu membaca esai ini sambil online dengan intensitas yang
terjaga dengan baik dan mampu memahami konsep-konsep kunci yang telah
saya uraikan di atas.
Kalian tahu, kawan.. kemungkinan besar di masa depan akan sangat jarang
ada pembaca yang mampu menghabiskan berhalaman-halaman tulisan secara
online seperti yang sedang anda lakukan sekarang. Jadi bolehlah saya
sebut anda ini adalah spesies pembaca yang langka dan semakin sedikit
jumlahnya. Soalnya, saya sendiri belum tentu bisa lho membaca online
panjang seperti kalian. Hehehehe..
Tapi asal tahu saja, para penulis pun setali tiga uang. Sudah semakin
sedikit penulis yang bisa menulis esai panjang seperti saya ini. Jadi,
anda bisa bilang juga saya ini termasuk spesies penulis yang langka.
Hehehehe lagi..
Sejak awal saya memang sudah curiga bahwa akan ada banyak pembaca lain
–yang entah di belahan bagian mana sekarang– yang sudah menyerah
di paragraf ketiga ketika membaca esai saya ini.
(Atau bisa saja anda dengan curangnya melewati saja paragraf-paragraf di
atas, dan langung menuju ke bagian ini karena judulnya yang membuat
perhatian anda berhenti, lalu mulai lagi membacanya)
Lagipula bisa dipastikan mereka bakal menganggap esai ini toh tak
terlalu penting untuk dibaca. Paling-paling yang mereka lakukan cuma
sekedar melihat-lihat esai ini saja, mengarahkan halaman di layar
monitornya ke atas ke bawah, pusing karena tumpukan huruf yang
panjangnya ampun-ampun ini, trus geleng-geleng sendiri sambil sambil
berkata, "Busyeeh, ni anak nulis apaan seeh.."
Kalaupun dibaca, kemungkinan besar kebanyakan dari mereka bakal
meninggalkannya setelah paragraf ketiga esai ini, untuk lanjut
berseluncur lagi ke laman-laman lain, berkunjung ke berbagai tautan
menarik, atau sekedar blogwalking- an.
Ya kawan-kawan, inilah paradoksnya banjir Nuh Abad 21 kita sekarang.
Bahwa semakin banyak dari kita yang membutuhkan informasi lewat
internet, semakin banyak pula informasi tak berguna datang menghampiri
kita. Dan kalaupun memang penting, tetap saja kita bakal kesulitan
konsentrasi membacanya.
Dan semakin bergantung pula kebanyakan dari kita pada internet, semakin
berubah saja gaya hidup keseharian kita. Gaya hidup kita ini kelak bakal
berkembang menuju ke gaya hidup real time, yakni pola hidup yang
mengharuskan segala sesuatu dilakukan lewat saluran internet, sebab ia
memenuhi hasrat kita akan kecepatan, kesegeraan, dan keefisiensian.
Yakni gaya hidup real time yang jelas-jelas kian mengabaikan makna
proses.
Saya berani bilang bahwa yang tengah saya sampaikan di sini bukan
sekedar celotehan pinggiran, kawan. Karena baru kemarin siang saya
ketemu dengan orang yang untuk mencari tanggal di kalender saja mesti
melihat di Google dulu.
Mbah Google bagi kawan saya ini, mungkin bukan lagi dimaknai sekedar
program mesin pencari laman yang dikembangkan oleh Larry Page
mahasiswa di Universitas Stanford
lalu.
Nama Google sendiri sejatinya merupakan plesetan dari `googol
yang diikuti oleh seratus nol. Tak heran bila Google baginya, mungkin
saja juga sudah ditarik maknanya ke wilayah teologi, menjadi mbah sakti
yang pintarnya melebihi otak manusia biasa, menjadi sumber pengetahuan
dan kebenaran, bahkan Google sebagai Tuhan Digitalnya hari ini.
Kalaulah benar gurauan Page dan Brin bahwa mereka tengah menyiapkan
Google, menjadi sebuah mesin intelegensia buatan bernama H.A.L yang bisa
ditanamkan di otak manusia, mungkin saja kawan saya itu bakal salah satu
orang yang mencobanya. Dan sudah pasti dia bakal lebih pintar dari saya,
karena otaknya terhubung langsung dengan internet. Canggih khan kawan
saya itu?! Hehehehe…
Atau anda pun berminat mencobanya? Mari kita tunggu kabar terbaru dari
tempat `Tuhan' baru kita itu bersemayam di Googleplex sana.
17 Januari 2009, Baranangsiang, Bogor
*) Esai `Berenang Kita di Google yang Dangkal, Sebuah Curhat
Otokritik' oleh Pry S. Esai ini juga bisa diakses di
http://prys. ilovebogor. com/
Utama: `Dunia Yang Dilipat', Yasraf Amir Piliang, Penerbit
Jalasutra, 2004 & `Is Google Making Us Stupid? What The Internet is
Doing To Our Brains', Nicholas Carr, www.theatlantic. com
0 komentar:
Posting Komentar