BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Benarkah Gaji PNS Kecil?

Benarkah Gaji PNS Kecil?

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 10.58

Benarkah Gaji PNS Kecil?


Oleh Ronny Prabowo

MULAI awal tahun 2009, gaji pegawai negeri sipil (PNS) naik rata-rata 15 persen. Salah satu tujuan kenaikan gaji ini adalah sebagai salah satu upaya untuk mereformasi birokrasi. Pendapatan PNS sering dianggap terlalu kecil, sehingga birokrasi kita menjadi sarang korupsi, serta selalu identik dengan ketidakdisiplinan, inefisiensi, dan kurang berinisiatif.

Dengan kata lain, kenaikan gaji yang secara berturut-turut dalam beberapa tahun terakhir ini mengasumsikan segala ketidakberesan (utamanya korupsi) birokrasi Indonesia disebabkan oleh kebutuhan (by need). Maka, menaikkan gaji PNS dianggap mampu mengurangi —syukur bisa hilang— ketidakberesan tersebut. Tulisan ini mencoba mengkritisi dua asumsi kenaikan gaji PNS tersebut.

Betulkah gaji PNS kecil? Pernyataan semacam ini sudah sering kita dengar sejak lama. Pada era Orde Baru, gaji PNS memang kecil karena pemerintah merekrut pegawai negeri dalam jumlah besar, untuk mengamankan kepentingan politisnya. Dengan kemampuan keuangan negara yang relatif terbatas, gaji PNS tidak bisa tinggi. Begitulah pendapat umum yang berlaku.

Meski demikian, animo masyarakat untuk menjadi PNS sejak dulu tetap tinggi. Terlepas dari faktor historis dan budaya masyarakat Indonesia yang feodal dan menghindari risiko (risk-averse), sehingga membuat PNS menjadi pilihan menarik, pasti ada suatu insentif yang sangat besar yang membuat PNS begitu diminati.

Filmer dan Lindauer (2001) bahkan menemukan, pada akhir era Orde Baru sekalipun, gaji rata-rata PNS tidak lebih rendah daripada gaji pekerja swasta. Hanya gaji PNS lulusan SMA dan perguruan tinggi yang lebih rendah dibandingkan level sejenis di sektor swasta. Perbedaan itu pun tidaklah sebesar yang digembar-gemborkan.

Keduanya juga menyatakan, meski secara nominal gaji PNS pernah lebih kecil daripada gaji pegawai swasta pada pertengahan era Orde Baru, secara riil pendapatan pegawai negeri tetap lebih tinggi. Sebab, banyak sabetan (pendapatan sampingan—Pen) yang didapatkan PNS, baik secara legal (tapi membebani anggaran, seperti uang hadir rapat dan honor proyek) maupun secara ilegal (korupsi dan suap).

Pendapatan sampingan tersebut seringkali jauh lebih tinggi daripada gaji resmi PNS. Belum lagi PNS menikmati tuntutan kerja dan risiko pemecatan yang lebih rendah dan imbalan pensiun yang lebih pasti dibandingkan dengan pegawai swasta.

Skenario Besar

Sejak awal era reformasi, gaji PNS berkali-kali dinaikkan secara signifikan sebagai bagian dari skenario besar reformasi birokrasi. Dengan menaikkan gaji PNS, asumsi rencana besar itu adalah: birokrasi makin efisien, korupsi berkurang drastis.

Laporan Bank Dunia 2003 memperingatkan kita agar berhati-hati dalam menganut asumsi ini. Kenaikan gaji tidak akan meningkatkan kinerja birokrasi dan mengurangi korupsi (dalam arti luas, termasuk kebiasaan membolos). Penelitian itu menemukan bahwa sistem reward and punishment yang efektif sama pentingnya dengan kenaikan gaji.

Tanpa adanya sistem yang efektif, kenaikan gaji berapa pun tidak akan mengurangi korupsi birokrasi. Dengan kata lain, orang malas dan korup akan terus malas dan melakukan korupsi, selama tidak ada sistem yang bisa mendeteksi dan menghukum perilaku menyimpang tersebut; berapa pun besar gaji yang ia terima.

Gaji yang tinggi hanyalah necessary condition bagi terciptanya birokrasi yang bersih dan berwibawa. Sistem yang efektif dan efisien menghukum ketidakdisiplinan, sekaligus menghargai prestasi, akan menjadi sufficient condition dari gaji tinggi tersebut.

Temuan uang suap yang bertebaran di kantor Bea Cukai Tanjung Priok oleh KPK, beberapa waktu lalu, membuktikan remunerasi yang (sangat) tinggi kepada pegawai Dirjen Bea Cukai tidak efektif mengurangi korupsi. Kinerja birokrasi kita secara umum juga tidak membaik, meski sudah terjadi kenaikan gaji berkali-kali.

Kenaikan gaji PNS yang beruntun justru memberi efek bumerang, khususnya untuk pemerintah daerah dengan kemampuan keuangan terbatas. Berdasarkan temuan hasil penelitian penulis, pengeluaran yang terkait dengan PNS (gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan) dalam tahun anggaran 2005-2006 menyedot lebih dari 50 persen pengeluaran seluruh kota/ kabupaten di Jawa Tengah.

Ini belum termasuk honor proyek yang sangat mungkin akan dikapitalisasi menjadi aktiva oleh akuntansi pemerintahan yang sudah mengarah ke dasar akrual. Kenaikan gaji PNS yang beruntun pada 2007 sampai 2009 mengakibatkan komponen pegawai mengalami pembengkakan yang luar biasa. Bahkan, Pemkab Sukoharjo dikabarkan tidak mampu membiayai anggaran pembangunan, karena pendapatannya habis tersedot untuk anggaran rutin (sebagian besar untuk belanja pegawai).

Ini berarti kebijakan kenaikan gaji PNS yang beruntun ini sangat bias Jakarta. Pembuat kebijakan hanya mempertimbangkan kemampuan pemerintah pusat dan Provinsi DKI Jakarta, tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Selain itu, biaya hidup Jakarta dipakai sebagai acuan.

Mungkin gaji PNS harus ”bersaing” dengan biaya hidup Jakarta, tetapi sudah sangat mencukupi (bahkan berlebih) untuk biaya hidup di daerah. Selain itu, fenomena Pemkab Sukoharjo ini menunjukkan kebijakan kenaikan gaji itu hanya mempertimbangkan efektivitas program reformasi birokrasi, tanpa mempertimbangkan efisiensi program tersebut.

Apa Selanjutnya?

Keputusan sudah dibuat: gaji PNS naik lagi tahun ini. Kita berharap kenaikan ini diikuti dengan efisiensi birokrasi, seperti negative growth policy, agar pajak yang dibayarkan masyarakat tidak habis untuk urusan rutin saja.

Selain itu, penegakan disiplin PNS harus lebih ditingkatkan, seperti legislasi RUU Tipikor, revisi PP No 30/1980 yang masih terlalu lunak dan longgar, penguatan peran lembaga pengawas negara, serta perluasan partisipasi masyarakat dalam pengawasan kinerja birokrasi.

Yang lebih penting lagi, pelaksanaan segala macam peraturan tersebut haruslah tanpa pandang bulu dan bersih dari intervensi politik.

Perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya plafon gaji yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah (untuk pegawai pemda), agar APBD tidak habis hanya untuk PNS.

Selain itu, dalam jangka panjang, pemerintah harus menghapus kesempatan PNS untuk memeroleh pendapatan sampingan (seperti honor proyek dan uang rapat), yang meski legal namun membuat anggaran pembangunan menjadi tidak efisien karena menciptakan mentalitas proyek. (32)

—Ronny Prabowo, dosen Fakultas Ekonomi UKSW Salatiga.

http://suaramerdeka.com/
Share this article :

0 komentar: