BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Barisan Bebek Bonggol Bambu

Barisan Bebek Bonggol Bambu

Written By gusdurian on Selasa, 20 Januari 2009 | 12.03

Barisan Bebek Bonggol Bambu
Mengubah kayu bakar menjadi dolar.
Bila kita melewati Jalan Solo-Yogyakarta di kilometer 26, tepatnya di Desa Jambu Kulon, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, akan tampak berderet-deret barisan bebek di pinggir jalan. Jenis binatang petelur yang belakangan dagingnya disukai warga kota ini tak takut keramaian lalu-lalang kendaraan. Maklum saja, karena bebek-bebek itu memang tak mampu bergerak sendiri.

Itulah patung bebek dari bonggol bambu, yang merupakan hasil tangan terampil warga Penggung, Klaten. Sebagian hasil karya mereka dijajakan di pinggir jalan itu. Kini sedikitnya ada 20 orang perajin bebek bonggol bambu ori atau Bambusa arundinacea di desa itu.

Didik Agung P., 27 tahun, salah satunya, mengaku membuat barang kerajinan dengan modal pas-pasan. Dia mengolah bonggol bambu yang sebelumnya hanya menjadi kayu bakar dan sampah menjadi kerajinan yang menghasilkan fulus. Dia membuat patung bebek, angsa, ayam jago, burung bangau, dan kepala manusia. Atau wayang dan berbagai bentuk lain sesuai dengan pesanan.

Ukurannya bervariasi, yang terkecil setinggi 20 sentimeter, juga ada yang sampai satu meter. Harga jualnya tergantung ukuran dan tingkat kerumitan, dari Rp 7.500 hingga Rp 100 ribu. Di pinggir jalan besar itu, Didik membuat kerajinan bersama enam pegawainya.

Didik sesungguhnya mempunyai rumah di seberang jalan, namun agak masuk ke perkampungan. Strateginya sederhana, agar hasil karyanya terlihat oleh orang yang lalu-lalang. “Ini untuk menarik perhatian pengguna jalan. Kalau di dalam kampung, tak terlihat,” katanya.

Didik, yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama Karanganom, Klaten, belajar membuat patung hanya dari melihat teman-temannya yang bekerja membuat patung. Karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah, Didik bekerja sebagai penambal ban di dekat Terminal Penggung.

Untuk membeli alat pertukangan dan bonggol bambu, Didik menjual alat tambal ban miliknya. Hasilnya dibelikan gergaji sederhana, pahat, dan bor. Kini, setelah sembilan tahun menekuni usahanya, Didik sudah mengganti semua alatnya dengan yang modern, gergaji, ampelas, hingga pasah (penghalus kayu) listrik.

Saat ditemui Tempo di tempat usahanya, Didik bersama lima pegawainya sedang sibuk memilih bonggol atau menggergaji. “Tidak perlu gambar, mereka sudah hafal,” kata Didik. Setiap hari para pekerja itu bisa menyelesaikan sepuluh hingga dua puluh bebek.

Menurut Didik, bonggol bambu yang dipakai harus bambu ori, karena besar, kuat, dan mudah dikerjakan. Bahan baku itu didatangkan dari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiga bulan sekali Didik mengirim berbagai bentuk kerajinan itu ke eksportir dari Klaten untuk beberapa negara, terutama Amerika Serikat dan Jerman. Sekali kirim sekitar 3.000 buah, dengan nilai rata-rata Rp 300 juta.

Dari hasil keringatnya itu, Didik bisa menghidupi istri dan empat anaknya. Tak hanya itu, dia juga bisa memberi lahan pekerjaan bagi saudara dan teman-temannya. Dia membayar karyawannya rata-rata Rp 2.000 per buah. Namun, jika patung yang dibuat rumit dan besar, dia membayar Rp 5.000 per buah.

Kecepatan dan keterampilan para perajin ditunjukkan Suparlan, 26 tahun, salah satu karyawan Didik. Suparlan, yang menekuni pekerjaannya sejak 2002, mengaku sangat senang karena dari hasil bayarannya ia bisa membeli sepeda motor model terbaru secara kredit. Setiap hari dia bisa menyelesaikan 20 patung.

“Sebelumnya saya cuma menganggur, sekarang saya bisa menabung dengan hasil keringat sendiri,” kata Suparlan sambil menghaluskan kepala bebek yang terbuat dari kayu jati. Memang, untuk membuat patung bebek, tidak bisa murni dari bonggol bambu ori. Terutama untuk kepala dan kakinya, diperlukan kayu jati, untuk memudahkan membuat bentuk. Bagian itu disambung dengan paku dan lem kayu.

Meski Didik sudah mempunyai rumah bagus, keluarganya lebih senang menemani Didik yang lebih sering tinggal di pinggir jalan, di rumah gubuk yang sekaligus menjadi tempat mereka berjualan dan berkarya.

Sholihah, 30 tahun, istri Didik, mengatakan sesungguhnya pemerintah Kabupaten Klaten, melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, telah memberikan tempat terpadu untuk berjualan. Pada 2005 telah dibangun 29 kios, tapi mangkrak, meskipun harga sewanya murah. “Kiosnya kecil, terlalu rendah sehingga air hujan menggenang,” kata Sholihah.

Tentu saja Didik hanya satu dari puluhan perajin bonggol bambu desa itu yang tergolong sukses. Sayangnya, mereka bertumbuhan tak terkoordinasi karena belum memiliki paguyuban. Ini pula yang membuat di antara mereka terkesan ada persaingan tak sehat.

Didik berharap, para pedagang besar mau memberi peluang pasar yang lebih luas, sehingga hasil karya perajin bonggol bambu dari Klaten ini tak hanya dinikmati pasar Amerika, Jerman, Bali, Jakarta, dan Yogyakarta. MUH SYAIFULLAH



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/10/Berita_Utama-Jateng/krn.20090110.153333.id.html
Share this article :

1 komentar:

ridwandesign mengatakan...

Ada nomor telp perajin pembuatnya?bs info sy di 08112711020 ya..Trmksh🙏