BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » CYRILLUS HARINOWO : Rawabokor

CYRILLUS HARINOWO : Rawabokor

Written By gusdurian on Selasa, 20 Januari 2009 | 11.58

RAWABOKORadalah daerah yang dilalui oleh jalan alternatif ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, dari arah Kalideres. Dulu daerah ini merupakan tempat lalu lintas yang ramai menuju ke arah Bandara Soekarno-Hatta.


Setelah sepuluh tahun saya tidak pernah melewatinya,tampaknya menarik untuk melihat perkembangannya.Yang sangat kontras adalah perbedaan signifikan antara perkembangan di daerah Tangerang dan di daerah DKI yang terlewati jalan tersebut. Daerah Tangerang menampakkan diri sebagai wilayah yang lebih berkembang,dengan jalanan yang lebih mulus dan lebih lebar,bahkan dengan pengaturan satu arah yang membantu kelancaran lalu lintas.

Tangerang memang beberapa tahun terakhir ini menampakkan diri sebagai daerah yang berdandan kian rapi. Jika kita tinggal di Jakarta Barat dan ingin mencari jalan alternatif ke Bandara Cengkareng, rute melalui Cikokol dan menembus pintu belakang Bandara merupakan alternatif yang baik.Jalannya lebar,halus,dan tidak terlalu padat.Dari tempat saya tinggal,umumnya dapat ditempuh kurang dari 1 jam.

Jika saya menggunakan jalan tol Tomang, kemudian masuk jalan tol ke arah bandara,maka pencapaian waktunya sangat tidak bisa ditebak sehingga biasanya harus disiapkan waktu cadangan sekitar setengah sampai satu jam. Dalam pengembangan daerah perkampungan,kita bisa menyaksikan pesatnya perkembangan wilayah Tangerang tersebut.

Gang-gang kecil di desa-desa bahkan sudah dibangun jalan dengan konblok.Jalan yang lebih besar diaspal atau dibuat dengan beton, seperti daerah Gondrong– Petir menuju Modern Land.Bahkan Jalan Raya Serpong BSD pun terus dijaga kualitasnya, dengan pengaspalan ulang jika diperlukan.Perkembangan ini sungguh mengingatkan saya pada DKI di zaman Ali Sadikin dengan proyek MH Thamrin.Terasa sangat dinamis.

Komitmen Membangun Kota

Membandingkan DKI dengan Tangerang merupakan suatu hal yang penting. Perbandingan ini menjadi lebih membumi daripada kita membandingkan DKI dengan Kuala Lumpur,Bangkok,atau dengan Beijing.Perbandingan yang terakhir akan membuat kita mengalami frustrasi yang tidak perlu.

Perkembangan prasarana publik yang sangat pesat di Tangerang,bahkan juga Depok,mengingatkan kepada kita semua bahwa kemampuan pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayahnya adalah sangat dimungkinkan. Kedua daerah tersebut memberikan contoh konkret bahwa sumber dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah sangat memadai untuk mengembangkan prasarana publik di daerahnya masing-masing.

Karena itu kita tidak perlu mengada- ada, mencari alasan tentang terjadinya kelambatan pembangunan di daerah dengan alasan tidak adanya anggaran. Perbandingan tersebut memberikan contoh bahwa permasalahannya bukan di situ. Untuk level provinsi,Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kemiripan dengan DKI Jakarta.Melihat pembangunan prasarana publik di DIY, rasanya kita dibuat iri.

Pembangunan prasarana jalan hot mixyang licin di Yogyakarta sudah mencapai ke ujung desa.Tidak hanya di daerah Kota Yogyakarta, tetapi telah mencapai daerah seperti Gunung Kidul yang berpuluh tahun dikategorikan sebagai daerah miskin. Jalan raya dari Wonosari, ibu kota Kabupaten Gunung Kidul, ke kota kecamatannya memiliki kualitas yang sangat baik, bahkan tingkat kehalusannya jauh melebihi kualitas jalan protokol seperti Jalan S Parman maupun Gatot Subroto di Jakarta.

Padahal,kita sangat mengetahui, APBD yang dimiliki DKI adalah sekitar lima belas kali lipat lebih besar dibandingkan APBD DIY. Dari perbandingan tersebut kita sampai pada kesimpulan bahwa ada yang perlu dibenahi dalam pengelolaan pembangunan di DKI.Jumlah anggaran yang besar pada akhirnya bukanlah suatu jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang ada.

Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengelola anggaran dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Di kalangan bawah ada sebuah guyonan bahwa di Yogyakarta pembangunan jalan ”menghasilkan” sebuah sepeda, di daerah lain ”menghasilkan” Kijang. Saya tidak paham apakah untuk daerah DKI anggaran pembangunan jalan itu ”menghasilkan” apa. Yang pasti hasil akhirnya adalah ketersediaan dan kualitas prasarana yang dibangun jauh di bawah apa yang telah dicapai oleh daerah-daerah yang saya sebutkan tadi.

Membangun Secara Incremental

Kita sering terobsesi untuk melakukan pembangunan yang besar-besar supaya dengan segera akan langsung tampak hasilnya.Namun, sebetulnya banyak hal-hal yang bisa dilakukan secara incremental tetapi akan memberikan hasil yang besar.

Suatu contoh konkret adalah Jalan Arjuna, yaitu jalan sisi tol Tomang, baik yang di utara maupun di selatan sisi tol. Jalan tersebut menjadi lintasan penting dari kendaraan yang mengalir dengan sangat padat dari daerah barat seperti Ciledug, Meruya, Joglo, bahkan daerah di Puri Indah.Meski demikian,di jalan tersebut ada suatu daerah yang menyempit karena adanya satu rumah yang menjorok ke jalan. Bottle neck yang sangat dekat dengan Kantor Pelayanan Pajak ini telah terjadibertahun- tahuntanpaada upaya mengatasinya.

Sementara itu, kita dengan mudah menyaksikan pembangunan jalan baru di sisi tol daerah Tangerang di sekitar Alam Sutera. Pembangunan jalan berlangsung cepat dengan penggantian kerugian rumah penduduk yang tergusur tanpa menimbulkan keributan sama sekali. Upaya untuk mengatasi bottle necktersebut jelas tidak akan sebesar membangun jalan raya yang baru. Tetapi jika hal itu dilakukan, maka satu jalur jalan baru seakan terbangun karena hilangnya sumber kemacetan tersebut.

Contoh yang lain ada di Jalan Taliraya dari Slipi ke arah Petamburan. Jalan tersebut berkelok, menimbulkan suatu bottle neckjuga.Suatu cara normalisasi jalan rasanya tidak akan memerlukan biaya besar.Jika ini bisa dilakukan, kemacetan yang rutin terjadi di daerah tersebut mungkin bisa dikurangi. Pemandangan yang sama juga terjadi di daerah Jalan Kiai Mansur, persisnya di daerah sekitar Hotel Sahid.

Pelurusan jalan di daerah itu pada akhirnya akan banyak membantu kelancaran lalu lintas dan pada saat yang sama juga akan memperindah wilayah itu karena memungkinkan dibangunnya daerah bagi pedestrian yang lebih asri. Itu semua saya yakin tidak memerlukan biaya besar.

Perkembangan suatu kota memang pada akhirnya memerlukan komitmen dari pemimpinnya secara total.Kota yang mampu berkembang dengan baik pada akhirnya akan menimbulkan ”legacy” bagi pemimpinnya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Ali Sadikin.(*)

CYRILLUS HARINOWO
Pengamat Ekonomi


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/203843/38/
Share this article :

0 komentar: