BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ahmad Tohari : Bangkit, Apanya Yang Bangkit?

Ahmad Tohari : Bangkit, Apanya Yang Bangkit?

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Januari 2009 | 09.58

Refleksi Harlah NU

Bangkit, Apanya Yang Bangkit?

Oleh Ahmad Tohari *

Kang, satu tahun lagi muktamar NU pada Januari 2010. Mbok sampeyan mulai membuat pemanasan dengan menulis di Japos. Intinya, NU musti berubah, khusyuk melayani umat ketimbang jadi alat ambisi politik para petingginya. Memalukan! Terima kasih.

Itu pesan singkat yang saya terima kemarin dari seorang teman. Ketika itu, saya sedang merasa amat masygul karena mendengar ada bacok-bacokan antarsesama warga NU di Madura. Gara-garanya adalah ekses perebutan kursi kekuasaan di Jawa Timur antara Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf, ya, sama-sama petinggi NU. Saya dengar ketua umum PB NU menjenguk korban bacok-bacokan itu. Namun, saya tidak yakin apakah dia datang dengan hati nurani atau hanya dengan raga belaka.

Dengan mengutip sepenuh SMS itu, sesungguhnya saya tidak perlu menulis lebih lanjut. Sebab, pesan itu sudah amat jelas: bila kita benar-benar setia kepada cita-cita awal, NU harus segera putar haluan. Tinggalkan penghambaan kepada kepentingan politik dan kekuasaan para petingginya.

Cukup sudah umat menjadi korban. Kembalikan NU ke jalan yang benar, yakni jalan berbakti dengan sungguh-sungguh kepada umat, bukan kepada siapa pun selainnya.

Ini peringatan blak-blakan model Jawa Timuran yang hanya bisa disampaikan oleh arek yang bebas kepentingan dan tidak takut akan ''kutukan'' para petinggi NU, baik yang ada dalam struktur maupun di luarnya, karena mereka telah menjadikan umat sebagai modal meraih kekuasaan. Peringatan ini juga terasa lahir karena kecenderungan pemanfaatan kepatuhan umat oleh petinggi NU sudah sampai ke taraf yang memalukan.

Kehilangan Orientasi

Di Indonesia, masyarakat NU dikenal punya dalil bagus sekali sebagai prinsip dasar perjuangan mereka. Dalil tersebut berbunyi almuhafadhoti 'alal qodimisholih wal ahdu bil jadidil ashlah. Atau, mempertahankan hal-hal lama yang baik dan menerima hal-hal baru yang lebih baik. Ini prinsip dasar perjuangan yang hebat. Di dalamnya jelas terkandung sifat cerdas, visioner, dan inovatif.

Tidaklah suatu kaum memilih prinsip dasar perjuangan seperti itu bila pada mereka tidak ada kemampuan analisis sosial keagamaan yang canggih serta tanggung jawab yang besar terhadap umat di dunia dan akhirat; jelasnya tidak punya wawasan ke depan yang amat cerdas.

Karena memiliki prinsip perjuangan itu, maka orang membayangkan masyarakat NU hidup dalam kondisi maju dan sejahtera. Mereka berada di barisan depan dan menjadi teladan di segala bidang; ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan tentu saja akhlak serta moralitas sosial. Perkiraan demikian tidak mengada-ada. Sebab, dengan prinsip perjuangan itu, siapa saja jelas bisa menjadi yang terbaik dan terdepan.

Tapi, bagaimana nyatanya? Petinggi NU membanggakan kaumnya sebagai nahdliyin, kaum yang bangkit. Tapi, apanya yang bangkit? Mayoritas warga NU malah tertinggal dalam segala hal. Kebanyakan mereka miskin, kurang terdidik, jumud, dan yang kelewatan, ada juga yang suka bacok-bacokan.

Kenyataan yang pahit itu seharusnya cukup untuk menyadarkan para pengurus NU dari tingkat terbawah hingga yang tertinggi untuk segera banting stir. Jangan kehilangan orientasi perjuangan karena menggejalanya keningratan baru yang berkembang sekarang ini dalam sisi struktural maupun kultural NU adalah jahiliah yang nyata.

Dan salah satu manifestasi keningratan baru itu muncul sebagai gejala yang menguat akhir-akhir ini, yakni pengabdian kepada para petinggi NU dengan mengorbankan umat.

NU untuk Siapa?

Pertanyaan ini pernah muncul dalam pertemuan para kiai di Cilacap ketika mereka membahas isu APBD yang pro umat. Jawaban yang disepakati atas pertanyaan itu adalah, NU dipersembahkan sebagai bakti kepada Allah. Namun, jawaban itu dikritisi dengan pertanyaan lanjutan: bagaimana konkretnya?

Saat itu, Rais Syuriyah PC NU Cilacap Kiai Su'ada mengatakan, ada kaum yang secara simbolis menjadi alamat Allah. Kaum itu adalah para tetangga yang sakit, baik sakit jasmani, sakit mental, sakit sosial-ekonomi, dan seterusnya.

Barang siapa tidak menjenguk (membantu, menolong, berpihak kepada) mereka berarti orang tersebut tidak menjenguk Allah. Dan neraka adalah imbalan yang adil bagi siapa yang tidak mau menjenguk tetangga yang sakit itu. Kemudian, Kiai Su'ada membacakan sebuah hadis qudsi yang panjang. Jadi, konkretnya, demi Allah, NU untuk umat, bukan untuk para petinggi.

Rasanya, tak seorang pun pengurus NU yang tidak percaya akan kebenaran dan kandungan hadis qudsi yang dimaksud. Artinya, tak ada seorang juga di antara mereka yang mau masuk neraka karena mengabaikan para tetangga yang sakit alias umat yang masih miskin dan serbakurang itu.

Bila benar demikian, perahu NU yang besar ini seharusnya berisi muatan program-program untuk perbaikan kehidupan umat. Wujudnya bisa berupa perbaikan mutu dan sarana pendidikan, pelatihan peningkatan perekonomian dan kesehatan keluarga, dan peningkatan kualitas sumber daya insani secara umum. Hal-hal itulah yang sudah lama menjadi kebutuhan nyata umat, dan seharusnya ke sanalah kemudi kapal besar NU diarahkan.

Berpolitik adalah hak setiap orang, termasuk warga NU. Namun, seorang petinggi NU yang bermental ksatria hanya akan memasuki dunia politik dalam kapasitas sebagai pribadi seorang warga negara. Dia tidak akan menggunakan struktur NU dengan cara apa pun untuk kepentingan pribadinya. Dan, sebenarnya dia tidak usah khawatir. Kalau dia memang bermutu dan pantas dipercaya, tentu orang NU akan memilihnya juga; memilih karena mutu, bukan karena ke-NU-annya. Demikian idealnya.

Sayang, kondisi ideal itu belum dibangun, dan para pengurus NU harus memulainya sekarang. Mumpung kapal besar NU baru oleng, belum sama sekali tenggelam oleh gelombang sejarah karena nakhoda dan awaknya tidak lagi mengutamakan keselamatan penumpang.

* Ahmad Tohari, budayawan tinggal di Banyumas, Jawa Tengah

http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: