BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Wakil Rakyat yang Subversif

Wakil Rakyat yang Subversif

Written By gusdurian on Sabtu, 20 Desember 2008 | 10.01

Wakil Rakyat yang Subversif
Bagong Suyanto
Dosen FISIP Universitas Airlangga
Memasuki tahun 2009 nanti, pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat yang bakal duduk di parlemen akan segera dimulai. Tetapi mencari figur calon anggota legislatif yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan publik sesungguhnya bukanlah hal yang mudah. Dalam pelaksanaan pemilihan umum, yang perlu diperhatikan bukan sekadar bagaimana memastikan mekanisme pemilihan yang demokratis dan partisipatif. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana rakyat dapat memilih dengan tepat wakil mereka yang peka terhadap kebutuhan publik, benar-benar obyektif dalam menjalankan amanah rakyat, dan mampu menangkap aspirasi rakyat serta memiliki kompetensi memformulasikannya dalam rumusan kebijakan politik yang kontekstual.
Berbeda dengan era di masa lalu, ketika calon anggota legislatif yang populer adalah wakil rakyat yang mampu memerankan diri semata sebagai watchdog yang terus-menerus melakukan kontrol terhadap pihak pemerintah. Di era reformasi seperti sekarang ini, seorang wakil rakyat seyogianya tidak hanya berkutat pada peran kontrol sosial, tapi mereka diharapkan juga mampu memerankan diri sebagai bagian strategis dari proses perencanaan pembangunan, memiliki kepekaan terhadap persoalan di tingkat lokal, dan juga kompetensi dalam mengkalkulasi keserasian antara besaran masalah yang mendesak untuk ditangani dan substansi program serta dukungan dana pembangunan.
Kepekaan, bagi calon wakil rakyat, adalah modal dasar yang dibutuhkan untuk membangun komitmen dan koneksitas dengan problem yang dihadapi konstituen atau bahkan rakyat pada umumnya. Namun, perlu disadari bahwa untuk memastikan sejauh mana komitmen mereka itu benar-benar direalisasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di lapangan, tentu yang dibutuhkan lebih dari sekadar sensitivitas.

Kepekaan terhadap berbagai persoalan kemiskinan, perspektif gender serta hak anak, dan lain sebagainya, bagaimanapun tidak akan dapat diwujudkan jika wakil rakyat yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan memahami akar dan besaran masalah, menentukan skala prioritas, dan kemudian memastikan bahwa substansi program yang dikembangkan pemerintah benar-benar menjawab problem serta kebutuhan publik.
Bila yang dibutuhkan partai politik sekadar mendulang suara, memang barangkali tidak akan terlalu banyak prasyarat yang dituntut bagi calon wakil rakyat yang mereka usung dalam pemilihan legislatif. Seperti biasa terjadi di masa lalu dan dalam batas-batas tertentu juga masih terjadi di era reformasi, memasang sejumlah artis, komedian, penyanyi dangdut, dan figur yang populer tampaknya masih diharapkan akan dapat bermanfaat serta fungsional untuk menarik simpati dan suara publik.
Tetapi, ketika perkembangan masyarakat makin hari makin kritis dan tidak lagi terhegemoni oleh kekuasaan yang pro-status quo, sesungguhnya cara-cara konvensional mencoba mendulang suara dengan sekadar memasang figur yang populer niscaya tidak akan banyak bermanfaat, dan bahkan bukan tidak mungkin kontraproduktif.
Di mata rakyat yang makin kritis, mereka biasanya tidak hanya memiliki kemampuan untuk membanding-bandingkan berbagai macam persoalan, tapi juga dengan cerdik memastikan kompensasi atas suara yang mereka berikan dalam bentuk ikatan atau semacam kontrak politik. Di berbagai daerah, kita tentu telah banyak melihat dan mendengar bahwa, ketika rakyat memberikan suara atau dukungannya kepada kandidat tertentu, di saat yang sama mereka akan menyodorkan kontrak politik sebagai jaminan bahwa aspirasi dan janji-janji calon selama masa kampanye benar-benar akan direalisasi nantinya.
Seorang calon yang telah dipilih ternyata di kemudian hari terbukti hanya menebar janji-janji politik kosong, jangan kaget jika legitimasinya di mata rakyat cepat atau lambat akan berkurang, bahkan bukan tidak mungkin akan dicabut di tengah jalan. Bagi sebagian rakyat yang benar-benar sudah tidak lagi percaya kepada siapa pun figur yang diusung partai politik, bukan tidak mungkin mereka lebih memilih tinggal di rumah ketika hari pencoblosan tiba: menjadi golput dengan didukung kesadaran penuh bahwa pemilu, pilkada, atau pemilihan legislatif di mata mereka hanyalah pentas drama yang sama sekali tidak serius.

Di berbagai daerah, kita bisa melihat bahwa yang namanya calon wakil rakyat, calon wali kota atau bupati, juga calon gubernur, tidak sekali-dua kali dihadapkan pada pilihan: bersedia menandatangani kontrak politik atau berisiko kehilangan dukungan kelompok masyarakat tertentu. Pilihan dilematis seperti ini tidak terhindarkan, karena masyarakat yang secara politis kritis itu tidak lagi ingin hanya menjadi korban janji politik kosong para calon wakil rakyat atau pimpinan daerah yang ternyata cuma berjanji gombal.
Benar bahwa pada batas-batas tertentu masih ada sebagian masyarakat yang secara politis parochial: memilih wakil rakyat semata karena popularitas, karisma, kesamaan ideologi, agama, dan ikatan-ikatan yang sifatnya primordial. Tetapi, ketika masyarakat makin kritis, tentu mereka tidak lagi manjur hanya dinina-bobokan dengan janji-janji kosong, atau sekadar mengandalkan pada karisma orang per orang. Bagi warga masyarakat yang kritis seperti ini, dalam pelaksanaan pemilihan anggota legislatif di tahun 2009, tiga hal yang terpenting adalah:
Pertama, siapa pun yang mencalonkan diri sebagai kandidat wakil rakyat harus memiliki sikap subversif, berani melawan arus, dan benar-benar melepaskan diri dari pola dan paradigma pembangunan masa lalu yang cenderung menafikan arti penting posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Model-model pembangunan yang cenderung menempatkan rakyat (kecil dan miskin) sebagai terdakwa, di era reformasi seperti sekarang ini, sudah niscaya tidak lagi dapat dibenarkan, dan sebagai gantinya harus ada kesediaan dari para calon wakil rakyat untuk memahami mereka sebagai korban situasi yang tidak sekadar butuh simpati, tapi juga empati yang dalam.
Kedua, siapa pun yang menjadi kandidat wakil rakyat tak hanya harus populis, tapi juga harus sensitif terhadap isu-isu sosial-politik lokal yang sifatnya kontekstual. Artinya, besaran masalah dan situasi problematik yang terjadi di tingkat lokal benar-benar harus mereka pahami, dan kredibilitas calon itu sudah tentu pada seberapa jauh ia mampu menawarkan program (solusi) untuk menjawab situasi problematik yang terjadi dan tengah dihadapi masyarakat di tingkat lokal.

Ketiga, siapa pun yang berhasrat duduk di kursi parlemen tak hanya harus mampu menghilangkan bias kepentingan atau pertimbangan subyektifnya, tapi juga harus menguasai metodologi dan proses perencanaan program pembangunan yang obyektif, akurat, dan akuntabel. Artinya, seorang calon wakil rakyat tidak cukup hanya bersikap netral dan mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan diri atau kepentingan kelompoknya sendiri secara sempit. Lebih dari itu, yang tak kalah penting adalah bagaimana mereka memiliki kemampuan mengidentifikasi akar permasalahan, tidak bersyak-wasangka, mampu menakar dengan akurat besaran masalahnya, dan kemudian menguji dan mempertanggungjawabkan setiap keputusan politik yang dihasilkan kepada publik.
Di mata sebagian orang, pemilihan dan proses sirkulasi elite terkadang disebut sebagai pesta demokrasi. Tetapi perlu disadari bahwa memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk di parlemen bukanlah sekadar perilaku euforia politik atau pesta dalam arti harfiah, melainkan merupakan bagian dari proses untuk memastikan bahwa pembangunan dan partisipasi politik benar-benar dapat berjalan beriringan, dan bahkan saling melengkapi.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/20/Opini/krn.20081220.151533.id.html
Share this article :

0 komentar: