Tirulah Gaya Ibu Fatmawati, Mega!
Anton Aliabbas
INILAH.COM, Jakarta - Sejatinya, buku 'Mereka Bicara Mega' hanya berisi pujian terhadap Megawati Soekarnoputri. Tetapi, nyatanya tidak. Gaya berbusana yang kerap tidak mengenakan kerudung dikritik banyak pihak. Mega diminta mengikuti jejak sang Ibunda, Fatmawati, yang selalu mengenakan kerudung dimanapun berada.
Tulisan dalam buku yang diluncurkan 12 Desember lalu di Jakarta ini setidaknya melibatkan 38 tokoh lintas generasi dan latar belakang. Mulai dari politisi, pemuka agama hingga akademisi. Hasilnya, 10 orang ikut menyinggung hal yang sama, penting tidaknya Mega berkerudung.
Amien misalnya terang-terangan menyarankan Mega mengganti penampilannya. Sebab, citra sebagai pemimpin oposisi dirasa masih kurang efektif untuk mendongkrak suara.
"Dari segi penampilan fisik, jika saja Mbak Mega mau mengenakan busana muslimah, saya jamin akan banyak dampak politiknya. Katakanlah bisa membantu meningkatkan peraihan suara dalam pemilu legislatif dan pilpres 2009," tulis Amien.
Dalam testimoni yang bertajuk 'Masih Ada Waktu', Amien mengakui hal yang bersifat simbolik (berbusana muslimah) tidak akan menggeser hal-hal yang bersifat substansial, bila tidak diikuti sikap, tindakan, dan kegiatan keagamaan yang signifikan. Malah bisa jadi kontraproduktif bagi Mega.
"PDIP yang dipimpinnya masih mengulangi kesalahan yang sama. Misalnya masih memasukkan daftar calon anggota legislatif secara tidak roporsional jika ditinjau dari segi representasi keagamaan," kata Amien.
Pengacara Mahendradatta dalam tulisannya 'Bukan Penganut Sekuler' menegaskan bila Mega berkerudung maka pandangan umum kepada putri sulung Bung Karno itu akan meningkat. Tetapi, ia mengingatkan agar Mega tetap tampil sebagai muslimah Indonesia bukan arab. "Kalau busana yang dikenakan tidak pas, malah bisa kehilangan nilai kebangsaan," cetus Mahendradatta.
Sedangkan anggota DPR, Ryass Rasyid mengatakan usul Mega berkerudung hendaknya dipertimbangkan. Karena, Ibu Fatmawati mengenakan kerudung dalam keseharian atau acara kenegaraan.
"Apalagi Bu Mega berasal dari keluarga yang religius. Itu tidak bisa dilepaskan dari sentuhan sang ibunda yang sejauh ini dikenal sangat solehah," ujar Ryaas dalam tulisannya berjudul 'Lebih Pas Tampil Seperti Bu Fat'.
Keyakinan serupa juga dilontarkan mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab. Dalam karyanya berjudul 'Nasionalis Islamis, Alwi mengatakan simbol kerudung memang bukan menjadi keharusan bagi Mega. Sebab, tidak mengenakan kerudung bukan berarti keislamannnya menjadi kurang. Akan tetapi, kerudung tersebut, di mata Alwi, sudah menjadi simbol nasional.
"Jika Bu Mega berkerudung dan tetap dikenakan saat menjadi presiden kelak, tentulah akan menjadi ikon wanita Indonesia abad ini," urai Alwi.
Sementara ulama Lombok, Tuan Guru Haji Hasanain Djuaini, menambahkan usul Mega berkerudung merupakan ide cerdas secara taktis strategis dalam menyambut pesta demokrasi mendatang. Dalam tulisannya berjudul 'Domain Politiknya Jelas, Tuan Guru mengungkapkan selain berpengaruh signifikan bagi syiar Islam, Mega berkerudung bisa menjadi ikon bagi PDIP maupun Baitul Muslimin Indonesia.
"Karena itu, bila sudah tahu cara memenangkan, sementara tidak mau memanfaatkan caranya, maka harus siap-siaplah menerima kekalahan," ujar Tuan Guru.
Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti berargumen, kalaupun Mega mengenakan kerudung, hal itu merupakan hal wajar. Karena secara kultural hal itu sudah menjadi adat kebiasaan di Sumatera, tempat orangtua Mega berasal.
"Kerudung akan lebih menaikkan citra Mega sebagai sosok seorang muslimah," nilai Ikrar.
Isu 'keislaman' memang kerap digunakan musuh politik Mega menjelang masa kampanye. Pada tahun 1999 silam misalnya, ketaatan Mega dikritik seiring dengan beredarnya foto Mega di sebuah pura di Bali. Belum lagi, citra partai sekuler yang juga dilekatkan kepada Moncong Putih sering dihembuskan untuk menjegal Mega.
Berkerudung atau tidak memang tidak terlalu menjadi soal besar. Pilihannya tetap pada pribadi Megawati sendiri. Karena alih-alih berkerudung, pihak yang tidak suka dengan ketua umum PDI Perjuangan ini tetap saja akan menuai cibiran semisal kerudung politis.
Pendapat Ketua PBNU Said Agil Siradj dalam tulisan 'Isak Tangis di Tanah Suci' mungkin ada benarnya. Komitmen dan integritas terhadap bangsa dan imannya lebih penting ketimbang gaya berpakaian. "Sekalipun mengenakan kopyah, pakai jilbab, atau baju gamis, tetapi kalau melakukan perbuatan jahat, anarkis dan suka mencaci maki maka itu bukan islami," tegas Siradj.[L4]
http://inilah.com/berita/politik/2008/12/15/68823/tirulah-gaya-ibu-fatmawati-mega/
Tirulah Gaya Ibu Fatmawati, Mega!
Written By gusdurian on Kamis, 18 Desember 2008 | 11.37
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar