BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Thomas Koten : Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi

Thomas Koten : Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi

Written By gusdurian on Sabtu, 20 Desember 2008 | 10.37

Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi
DEMOKRASI adalah suatu tata aturan kehidupan bermasyarakat yang diresapi karakter dan semangat penghormatan terhadap semua anggota masyarakat dalam keanekaragaman. Karena itulah, dalam kehidupan demokrasi dan dalam revitalisasi kehidupan bermasyarakat; komunikasi, kebebasan, saling menghargai, memiliki peran sentral. John Dewey, filsuf pendidikan, mengatakan berkembangnya demokrasi adalah berkembangnya sosiabilitas. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang bisa mewujudkan sosiabilitasnya. Di dalamnya, komunikasi adalah suatu proses berbagi pengalaman sampai pengalaman-pengalaman itu menjadi milik bersama. Komunikasi yang demokratis mengantarkan orang kepada tercapainya kesepakatan-kesepakatan bersama tentang tujuan hidup bersama. Oleh karena itu, tatkala pintu komunikasi ditutup, demokrasi menjadi mandul. Mandulnya demokrasi menyembulkan aneka perilaku masyarakat bangsa yang egoistik. Dan ketidakmampuan suatu bangsa dalam membangun sebuah 'tindak komunikatif' bersama menyebabkan pintu komunikasi tertutup rapat dan saluran penyampaian pesan tersumbat, anggota masyarakat pun menjadi semakin egoistik--berkomunikasi dengan dirinya sendiri--politics of monologism. Oleh karena itu, demokrasi yang menjadi pijar kehidupan berbangsa harus terus-menerus dikembangkan agar perilaku masyarakat yang egoistik dapat mencair dan berbuahkan perilaku toleransi. Akan tetapi, apa yang kita lihat di tengah gebyar demokrasi yang ditandai terbangunnya sistem politik multipartai? Menuju demokrasi uang Perkembangan demokrasi yang ditandai sistem politik multipartai memang membuat denyut kehidupan sosial masyarakat bertambah gairah. Kritik dan kontrol publik begitu semarak. Akan tetapi, apakah perilaku masyarakat yang egoistik mencair dan berubah menjadi masyarakat yang bersosial tinggi? Jawabannya, tidak! Demokrasi yang terus berkembang telah menyediakan ruang-ruang sosial dengan warna kehidupan yang baru pula. Demokrasi dengan landasan kebebasan telah mengerucutkan perilaku egoistik yang kemudian secara internal komponen bangsa melalui hasrat kelompok
(collective desire) membangun ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kotak-kotak, pagar-pagar eksklusivisme yang di dalamnya setiap komponen bangsa mencari keuntungan diri. Partai-partai politik bukan terutama didirikan untuk memberikan pendidikan politik demokratik dan dengan tulus memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan demi memenuhi hasrat pribadi yang ambisius dalam meraih kekuasaan. Meraih keuntungan diri dalam kehidupan bersama di bidang sosial, ekonomi, dan politik, yang menggiring pada fundamentalisme, menurut Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of Others, tidak lain sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intolerasi dan eksklusivisme. Praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme begitu menggejala dalam kehidupan komunitas bermasyarakat dapat membuat tata pergaulan sosial diukur dalam kadar material. Dalam kadar itu, seperti kata Diamond (1995), kehidupan politik demokratik hanya sebagai ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatan produktif. Kekuatan uanglah yang bermain di ladang demokrasi. Kekuatan uang yang dimotori semangat kapitalis telah melumpuhkan kekuatan lain. Akibatnya, demokrasi menjadi demokrasi uang. Sebab, uanglah yang menjadi penentu jalannya demokrasi. Orang-orang yang berkantung tebal adalah pemilih demokrasi. Merekalah penguasa lahan-lahan komunikasi publik, termasuk menyitir kebebasan pers. Keseimbangan dalam kehidupan demokrasi tidak tercipta. Karena persaingan dalam gerbong demokrasi tidak seimbang (unequal opportunity). Segala kebijakan politik yang dikatakan demokratis pun akhirnya diukur dengan uang. Karena kekuatan uang dapat membeli keputusan-keputusan politis. Negosiasi politik seputar pembuatan peraturan dan perundang-undangan akan sangat ditentukan negosiasi uang. Misalnya, berapa nilai uang harus dibayarkan kepada DPR jika dewan menghasilkan suatu produk undang-undang.
Dengan kata lain, semua urusan politik, dalam atas nama demokrasi selalu dilihat sebagai commercial goods dan bisa diperjualbelikan. Koalisi antarparpol juga bukan dibangun atas landasan kesamaan ideologi, melainkan lebih kepada kesamaan dalam mencari keuntungan uang. Akibatnya, kekuasaan pun dibeli dengan uang. Tidak mengherankan banyak pengusaha yang kini jadi politisi dan banyak kursi kekuasaan politik dikuasai para pengusaha yang memiliki uang. Hubungan antara politik, kekuasaan, dan uang semakin intim. Dalam kehidupan politik dan dalam peraihan kekuasaan, terjadi adagium, "Ada uang abang disayang dan tidak ada uang abang ditendang." Di sini demokrasi bukan lagi menjadi gelanggang fair nan suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi strategis untuk bisa menjelmakan ideal-ideal politiknya yang menyejahterakan rakyat, melainkan sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di semua lini kehidupan bangsa dan negara, dus sebagai areal para calo dan penjudi politik mencari peruntungan diri. Moralitas demokrasi Tatkala perkembangan demokrasi ditentukan kekuatan uang dan kekuasaan pun dapat dibeli dengan uang, maka dalam kehidupan politik secara keseluruhan berkembang menjadi politik Machiavelian dan perilaku dalam mengeruk uang negara pun persis seperti Robinhood dalam legenda rakyat Inggris. Bedanya, kalau Robinhood merasakan secara langsung kesengsaraan rakyat karena ia berbaur langsung dengan masyarakat, tetapi elite kita menggunakan harta yang dikeruknya demi hidup bermewah-mewah. Jika fenomena itu dibiarkan, mimpi rakyat agar di balik gebyarnya demokrasi itu negara dapat mewujudkan mimpi-mimpi kesejahteraannya tidak akan pernah terwujud. Dalam kehidupan demokrasi seperti ini, rakyat hanya dijadikan sebagai penonton demokrasi atau setia untuk digiring dalam pertarungan politik perebutan kekuasaan yang sudah disitir para pemilik uang. Maka, tidak ada jalan lain, demokrasi yang berintegritas moral harus segera dibangun dan dikembangkan. Untuk itu, kontrol dan kritik publik harus terus-menerus dibangun. Dalam hal mana, demokrasi mewajibkan praktik deliberasi, yakni keterlibatan dan kemampuan rakyat dalam mengawasi dan mengontrol setiap keputusan negara. Demokrasi yang berintegritas moral pun hanya dapat dibangun politisi-politisi yang bermoral. Politisi yang bermoral akan terus mengawal demokrasi agar dapat bermuara pada masalah moralitas.
Integritas moral, tulis Matthew Collins (2003), berarti terciptanya kesatuan yang kental antara nurani yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik, dan kepatuhan pada hukum moral. Integritas moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up uang. Oleh Thomas Koten, Direktur Social Development Center

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTEzMTg=
Share this article :

0 komentar: