BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Surplus Beras tapi Tetap Miskin

Surplus Beras tapi Tetap Miskin

Written By gusdurian on Jumat, 26 Desember 2008 | 13.07

Surplus Beras tapi Tetap Miskin
Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Menutup akhir tahun 2008, muncul berita gembira: lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya Indonesia kembali bisa surplus beras. Pencapaian ini, seperti klaim Presiden Yudhoyono, cukup membanggakan. Berbeda dengan swasembada beras 1984 yang masih disertai impor beras 414.300 ton, prestasi kali ini bahkan memungkinkan Indonesia mengekspor beras. Presiden merujuk pada Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik: produksi padi tahun ini diperkirakan mencapai 60,28 juta ton gabah kering giling (GKG), setara dengan 35,26 juta ton beras. Dengan tingkat konsumsi sekitar 32 juta ton, berarti ada surplus 3 juta ton.
Pemerintah telah menetapkan, ekspor akan dilakukan jika surplus bisa mencapai 3 juta ton beras. Dengan harga rata-rata beras kualitas patah 25 persen saat ini mencapai US$ 464 per ton free on board (FOB), berarti harga beras di pasar dunia setara dengan Rp 5.104 per kilogram, lebih tinggi ketimbang harga pembelian pemerintah (Rp 4.300 per kg). Harga beras dunia yang masih tinggi itu memungkinkan Indonesia meraih surplus ekonomi dari ekspor beras. Jika itu terlaksana, ini sebuah prestasi yang membanggakan, terutama bagi petani.
Sebenarnya, sejumlah pihak ragu pada klaim surplus beras tersebut. Alasannya amat masuk akal: luas lahan dan produksi dilaporkan terus mengalami kenaikan, padahal konversi lahan dengan tingkat masif jalan terus dan pencetakan lahan atau sawah baru amat lambat. Di sisi lain, produktivitas sawah, terutama di Jawa, sudah melandai, bahkan leveling off, karena lahan letih dan terdegradasi kualitasnya. Pencatatan data atau statistik beras/padi kita juga lemah karena data tidak dikumpulkan berdasarkan survei statistik, melainkan lewat pendekatan administratif yang tidak reliable dan besar peluangnya untuk salah.
Terlepas dari keraguan terhadap klaim surplus beras, dari sisi petani sebetulnya prestasi itu tidak membawa dampak ikutan (contagion effect) apa-apa. Mari kita utak-atik angka! Dengan tingkat pertumbuhan rumah tangga petani 2,2 persen per tahun (Sensus Pertanian 2003), saat ini diperkirakan jumlah rumah tangga petani mencapai 28 juta. Dengan asumsi satu keluarga terdiri atas empat orang, berarti jumlah petani mencapai 112 juta jiwa atau 48,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Apabila 60,28 juta ton padi dibagi jumlah petani, masing-masing kepala kebagian 538 kg per tahun. Jika dikalikan dengan harga gabah Rp 2.840 per kg, pendapatan petani Rp 1,527 juta per kepala per tahun atau Rp 4.365 per hari.
Ironisnya, dari tahun ke tahun kemiskinan yang menjerat petani padi ini tidak tersentuh. Menurut survei Patanas terakhir (2006), pendapatan per kapita per hari petani padi Rp 3.065-8.466 (kurang dari US$ 1). Dengan mengacu pada kriteria kemiskinan Bank Dunia (orang dikategorikan miskin bila pendapatan per kapita per hari kurang dari US$ 2), dapat diketahui betapa miskinnya petani kita. Ini juga bukan hal baru. Survei Patanas tahun 2000 sudah menggambarkan betapa ekonomi petani padi berada di tubir jurang: lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga tani disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Secara evolutif, sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot: dari 36,2 persen pada 1980-an, tinggal 13,6 persen.
Dalam kategori seperti itu sebenarnya bisa dikatakan tidak ada lagi "warga tani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Jika kemudian pertanian pangan, terutama padi, tak lagi menarik bagi lulusan terdidik, itu adalah dampak ikutan yang logis. Pertanian padi akhirnya identik dengan miskin, udik, dan gurem. Salah satu penyebab hal ini adalah dominannya petani dengan kepemilikan lahan sempit/gurem. Hasil penelitian Departemen Pertanian (2000) menunjukkan, 88 persen rumah tangga petani cuma menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Pada 1995 jumlah petani di Jawa yang “tuna-tanah” sebanyak 48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen pada 1999. Meski tidak separah di Jawa, di luar Jawa terjadi kecenderungan yang sama. Pada 1995 jumlah petani tuna-tanah 12,7 persen, meningkat menjadi 18,7 persen pada 1999.
Sejak 2001, insentif harga mendominasi kebijakan perberasan. Dengan mengutak-atik harga, penguasa yakin kesejahteraan petani bisa didongkrak. Bagi penguasa, beleid harga gampang diukur (tangible) dan berdampak seketika: penguasa akan meraih simpati. Padahal, insentif nonharga (non-price factor) lebih mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan dan sekaligus membangun daya saing industri. Tanpa insentif non-harga, mustahil kebijakan harga bisa berhasil. Insentif non-harga diperlukan agar ada ruang bagi petani untuk merespons kebijakan harga (price creates it own supply). Insentif itu terkait erat dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan memberi prioritas kegiatan dan dana guna menekan konversi lahan, kehilangan hasil pascapanen, penggunaan teknologi kapital intensif pada kegiatan panen dan pengolahan lahan, perbaikan kualitas lahan serta irigasi, modernisasi penggilingan padi, riset, dan reforma agraria. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare, kini naik menjadi 145 ribu hektare per tahun. Bersama fragmentasi lahan, konversi membuat usaha tani kian gurem dan jauh dari skala yang efisien. Reforma agraria tak bisa ditawar agar usaha tani mencapai skala ekonomi.
Tingkat kehilangan hasil panen padi kita masih tinggi: 20,42 persen, setara dengan 6,2 juta ton beras per tahun. Dengan harga beras Rp 4.000 per kg, nilai kehilangan itu setara dengan Rp 24,8 triliun. Rendemen padi kita merosot: dari 70 persen pada 1950-an jadi 62 persen pada 1999. Padahal, tiap penurunan rendemen 1 persen, kita kehilangan beras 0,5 juta ton (Amang dan Sawit, 2001). Penurunan rendemen terjadi karena kehilangan hasil saat penggilingan gabah jadi beras dan akibat pemupukan yang tidak berimbang. Rendemen bisa didongkrak lewat program revitalisasi industri penggilingan padi dan massalisasi pemupukan berimbang.
Infrastruktur irigasi banyak yang rusak. Waduk-waduk besar di Jawa--Jatiluhur, Kedungombo, Gajah Mungkur, dan Bengawan Solo--kian kritis. Sekitar 25 persen jaringan irigasi tak berfungsi dan 35 persen rusak parah. Bagaimana mungkin bisa menanam kalau air tidak tersedia? Temuan varietas unggul baru mandek. Sampai kini sebagian besar petani masih bergantung pada varietas IR-64 hasil rekayasa 1986. Padahal tingkat produksi varietas ini sudah meluruh: dari 8 ton menjadi 6 ton gabah per hektare. Tampak jelas, jalan lempang menyejahterakan petani justru terbentang luas di insentif nonharga, bukan beleid harga. Masalahnya, karena hasilnya tidak seketika, penguasa justru menghindari pendekatan ini.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/26/Opini/krn.20081226.152003.id.html
Share this article :

0 komentar: