BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pendidikan Terpuruk, Pedulikah Kita?

Pendidikan Terpuruk, Pedulikah Kita?

Written By gusdurian on Sabtu, 20 Desember 2008 | 09.44

Pendidikan Terpuruk, Pedulikah Kita?

Wim Tangkilisan

erdasarkan laporan bidang pendidikan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang dirilis November 2008, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara. Laporan bertajuk "Education for All (EFA) Global Monitoring Report" itu, antara lain menyoroti pendidikan dasar dan kesempatan bagi anak perempuan untuk menikmati pendidikan.
Laporan itu sungguh tidak menggembirakan karena pada 2007, Indonesia menduduki peringkat 62 dari 130 negara, dan pada 2006 justru bertengger di tangga 58. Artinya, selama tiga tahun terakhir pendidikan Indonesia terus terpuruk.
Sejalan dengan laporan badan dunia itu, data pendidikan di Indonesia pada 2008 menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) tingkat SD/MI mencapai 95 persen, sedangkan tingkat SMP/MTs baru mencapai 71,83 persen. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) SMA/MA/SMK 2006 hanya sebesar 55,22 persen dan yang menyedihkan adalah APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70 persen.
Tingkat partisipasi yang secara gradasi terus menurun, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi itu, masih harus dipangkas dengan angka putus sekolah, mulai dari tingkat SD yang mencapai 2,97 persen, SMP 2,42 persen, SMA 3,06 persen, dan pendidikan tinggi 5,9 persen. Beban ekonomi rakyat yang semakin berat dari tahun ke tahun, menjadi faktor utama munculnya kasus putus sekolah. Kenyataan tersebut masih diperparah dengan tingginya jumlah warga negara yang buta huruf. Data yang ada menunjukkan masih ada 15,4 juta penduduk berusia di atas 15 tahun yang menderita buta aksara.
Kondisi itu jauh dari harapan para founding fathers
. Ketika negara ini hendak didirikan, para bapak bangsa telah berpikir bahwa anak-anak negeri harus cerdas. Tak heran bila dalam pembukaan UUD 1945 dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah merdeka lebih dari 63 tahun dan melewati kepemimpinan beberapa rezim, cita-cita luhur pendiri negeri belum sepenuhnya tercapai. Bahkan, kita melihat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa belum dilakukan secara maksimal. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tentu saja dilakukan dengan memajukan dunia pendidikan yang bermuara pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Terkait hal itu, kita masih tetap harus bersedih karena daya saing Indonesia masih sangat rendah, bukan cuma di mata dunia internasional, tapi juga di antara negara-negara ASEAN. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) 2008-2009, daya saing Indonesia hanya mampu menduduki peringkat 55. Peringkat itu berada di bawah beberapa negara ASEAN, seperti Singapura di peringkat 5, Malaysia 21, Thailand 34, dan Brunei Darussalam 39.
Peringkat daya saing Indonesia itu terus merosot sejak krisis ekonomi tahun 1998. Indonesia yang sempat duduk di peringkat ke-37 pada tahun 1999, turun ke posisi 44 pada tahun 2000. Peringkat ini menurun lagi pada tahun 2001 ke urutan 49, dan 69 pada tahun 2002, sebelum akhirnya menduduki peringkat terendah pada tahun 2003 dengan posisi ke-72, kemudian ke posisi 54 pada 2007.
Ada banyak faktor yang membuat daya saing Indonesia dinilai masih rendah, seperti infrastruktur, birokrasi, persoalan energi, penegakan hukum, dan tentu saja kualitas SDM yang terkait dengan kualitas pendidikan.
Menatap ke Depan
Secara umum, pendidikan di Indonesia belum mengalami kemajuan berarti. Potret dunia pendidikan yang memprihatinkan itu harus membuat pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bekerja lebih keras untuk memajukan dunia pendidikan.
Dari gambaran di atas sudah sepantasnya peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, yakni dari Rp 50 triliun pada 2008 menjadi Rp 61 triliun pada 2009 yang dikelola Depdiknas, dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemajuan pendidikan. Terlepas dari masih adanya sejumlah kalangan yang mempersoalkan anggaran sebesar itu sesungguhnya belum mencapai 20 persen APBN sesuai amanat UUD 1945, paling tidak kita melihat ada kesungguhan dan kepedulian pemerintah pimpinan Presiden Yudhoyono meningkatkan anggaran pendidikan. Sekadar informasi, total RAPBN 2009 mencapai Rp 1.000 triliun.

Dengan peningkatan anggaran yang signifikan, Mendiknas Bambang Sudibyo dan jajarannya memiliki kewajiban membuat program-program konkret yang bisa memajukan dunia pendidikan. Sejauh ini kita masih meragukan kemampuan birokrat pendidikan merancang program yang betul-betul efektif. Maklum, Depdiknas masih tercatat sebagai salah satu instansi yang korup. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan ada indikasi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pada 2006 dan 2007. Jauh sebelum ini, memang ada kasus voucher pendidikan dan pungutan liar saat penerimaan siswa baru (PSB) dan kenaikan kelas yang melibatkan oknum guru dan pejabat Dinas Pendidikan.
Kalau birokrat pendidikan kurang mampu merancang program yang efektif, tidak ada salahnya Depdiknas meminta bantuan pakar dan kalangan perguruan tinggi yang concern pada hal tersebut. Kalau perlu, Inspektorat Jenderal Depdiknas, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ikut dilibatkan untuk meminimalisasi peluang korupsi.
Kesejahteraan Guru
Terkait peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan, ada dua hal yang harus diprioritaskan. Pertama, peningkatan kesejahteraan guru dan dosen. Kedua, program buku pelajaran dan text book gratis.
Di hadapan Komisi X DPR beberapa waktu lalu, Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan sebagian anggaran pendidikan dimanfaatkan untuk menaikkan gaji guru dan dosen, termasuk yang telah dinobatkan menjadi guru besar. Kenaikan yang paling mencolok terlihat pada gaji guru besar bergolongan IV/E bersertifikat, yakni dari Rp 5,1 juta menjadi Rp 13,5 juta per bulan. Sedangkan, gaji guru diproyeksikan minimal Rp 2 juta per bulan.
Sayangnya, kenaikan gaji tidak berlaku untuk para tutor atau guru pendidikan nonformal yang mengajar di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang umumnya menyelenggarakan pendidikan kesetaraan. Para guru dan dosen yang tidak berstatus PNS pun mengalami nasib serupa.
Pemerintah, khususnya Depdiknas, seharusnya sadar bahwa guru dan dosen memiliki peran sentral untuk mencerdaskan anak bangsa. Bagaimana mungkin mereka mentransfer ilmu secara baik kalau kehidupannya tidak sejahtera? Yang menyedihkan adalah mereka tak memiliki cukup dana untuk membeli buku atau mengakses internet dalam upaya menambah dan memperkaya wawasannya. Guru dan dosen harus sejahtera!

Sejalan dengan itu, sepantasnya pemerintah memperhatikan keberadaan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) dan eks-Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang menjadi lembaga pencetak tenaga guru. Wujudnya, mahasiswa yang kuliah di sana mendapat keringanan biaya, beasiswa, dan fasilitas memadai. Berbagai insentif bagi guru dan dosen akan membuat profesi ini kembali dilirik, sehingga calon mahasiswa yang kuliah di FKIP dan eks-IKIP, bukanlah mereka yang terbuang dari fakultas favorit lainnya.
Sedangkan untuk buku pelajaran, pemerintah bisa merekrut guru dan dosen yang andal menulis. Hak cipta buku itu dibeli, lalu pemerintah menjalin kerja sama dengan para penerbit untuk memperbanyak buku dan memberikannya secara gratis kepada semua siswa dan mahasiswa.
Di luar pemerintah, kontribusi kalangan swasta pun sangat diharapkan. Belakangan ini, kita melihat sejumlah konglomerat membangun pusat pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Keterlibatan mereka patut diapresiasi, bahkan perlu dipertimbangkan adanya insentif, antara lain berupa pengurangan pajak.
Urusan pendidikan memang tak hanya menjadi domain pemerintah, tetapi juga swasta. Keterlibatan pihak swasta pun diakomodasi dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang baru saja disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang, sehingga jalinan kerja sama untuk membangun dunia pendidikan semakin harmonis. Kepedulian terhadap pembangunan dunia pendidikan harus senantiasa ditumbuhkan agar kualitas sumber daya manusia Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu.
Penulis adalah Pemimpin Umum Suara Pembaruan
Last modified: 19/12/08

http://202.169.46.231/News/2008/12/19/Editor/edit02.htm
Share this article :

0 komentar: