BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Natal

Natal

Written By gusdurian on Rabu, 24 Desember 2008 | 09.16

Natal
Yesus mungkin tidak benar-benar lahir pada 25 desember, tetapi hari natal, pohon terang dan lagu malam suci memberikan makna kepada mereka yang percaya.
SIAPA sebenarnya yang lahir di Betlehem 25 Desember hampir 2.000 tahun yang lalu itu? Kita tidak tahu. Barangkali tak seorang bayi pun, suci atau tak suci, lahir di hari itu. Sebagian orang yang meneliti perkara ini pernah menyimpulkan bahwa hari kelahiran Yesus ditentukan kemudian dan tidak ada hubungannya dengan catatan dan akurasi sejarah: bahkan tanggal yang sekarang menjadi Hari Natal itu pada mulanya ada kaitannya dengan ritual pra-Kristen di Eropa, demikian juga halnya pohon Natal, dan entah apa lagi.Tapi pentingkah itu semua, barangkali juga tidak. Cerita tentang Tuhan, para nabi, cerita tentang mukjizat, tentang pengorbanan jiwa, cerita tentang pengalaman religius dan hidup sebelum dan sesudah dunia, semua itu terlampau dahsyat untuk para penelaah fakta historis yang ketil dan cerewet. Dengan kata lain, iman adalah satu hal, pengetahuan tentang yang benar dan tidak benar adalah hal lain. Pada mula dan pada akhirnya ini adalah perkara makna, bukan kebenaran. Yesus mungkin tidak benar-benar lahir di tanggal 25 Desember di tahun nol atau satu, tetapi Hari Natal dan pohon terang dan lagu Malam Suci memberikan makna kepada mereka yang percaya, dan, seperti dalam pelbagai cerita yang didengar dan diulang-ulang untuk anak- anak, dengan makna itu keajaiban bisa terjadi.Makna, bukan kebenaran. Soren Kierkegaard, pemikir Kristen dari Denmark yang disebut sebagai salah satu pemula filsafat eksistensialisme itu, pernah mengatakan bahwa agama pada esensinya bukanlah bujukan kebenaran sebuah ajaran, melainkan komitmen kepada suatu pendirian yang pada hakikatnya absurd, bahkan yang melecehkan akal kita. Untuk ada dan berarti, untuk exists, kita harus percaya, kata Kierkegaard, kita harus meloncat dari keraguan kepada iman, dan harus percaya kepada sesuatu yang sebenarnya sungguh repot untuk dipercayai.Bagi sebagian orang, pendirian Kierkegaard teramat keras dan wungkul seperti alam Skandinavia, dan heroik seperti para pelaut Vikings, tetapi pada dasarnya juga posisi seperti itu bisa disebut juga sebagai posisi yang gampangan sama halnya dengan tekad mengenakan kacamata kuda sepanjang perjalanan hidup. Sebab makna yang diberikan agama kepada seseorang sering tidak membutuhkan tekad dan sikap heroik seperti itu. Berjuta- juta orang mendapatkan makna dari agama karena ia menjadi anggota dari sebuah komunitas: suatu pengambilan sikap yang bersahaja, tetapi berarti. Bagaimanapun juga ada dalam setiap agama kecuali barangkali yang dihayati kaum sufi dasar yang kuat mendorong dirinya untuk menjadi sesuatu yang menyemarakkan komunitas, "a celebration of community", untuk meminjam istilah Ernest Gellner, seorang ahli antropologi terkemuka yang banyak menelaah masyarakat Islam di Timur Tengah.Dalam ikut serta menyemarakkan kebersamaan itu memang yang penting bukanlah pengetahuan yang benar tentang suatu doktrin. Makna semata-mata lahir karena orang, di dalam beragama, merasa tenteram, bahkan gembira, dalam ada bersama orang-orang yang seiman. Mereka merasa bisa lebih memahami tentang hidup, tentang yang benar dan tidak benar, yang adil dan tidak adil, dalam ritual yang dijalankan bersama dan itu berarti menuruti tradisi yang tertulis ataupun tak tertulis, turun-menurun dan bukan karena Sabda yang sudah baku dan sejak mula telah selesai.Dalam keadaan itu, mereka umumnya tak merasa perlu mampu membaca Kitab Suci, mereka tidak repot mempersoalkan mana ajaran yang "murni", mereka tidak bersusah payah menaati doktrin yang berada di atas dan terpisah dari jejak sejarah dan budaya bagaikan rumus ilmu pasti dan bahkan tidak perlu mera- sa punya "doktrin". Barangkali, karena itu, mereka juga tidak punya pretensi untuk menjalankan cara yang "benar secara hukum". Agaknya dari sinilah acara seperti Perayaan Natal lahir dan berkembang, dan orang tidak merasa risau bahwa semakin lama semakin pudar "warna lokal" Palestina karena semakin digantikan "warna lokal" Eropa: salju yang tebal, Sang Bunda dan Sang Bayi yang berkulit putih, lagu Jingle Bells....Makna, bukan kebenaran. Yang mencemaskan ialah bahwa sering orang mencampuradukkan antara keduanya. Ketika yang bermakna bagi saya saya anggap sebagai kebenaran, saya pun akan cenderung hendak menjadikannya sebagai doktrin, yang tetap, baku, konsisten, dan universal seakan-akan apa yang spontan dan sebab itu tak bisa dipastikan harus dibasmi, seakan-akan yang "lain" sebab tak cocok dengan doktrin harus dihabisi. Mungkin tampak akan kuat, tetapi mungkin juga seperti bangunan baja yang tanpa kemeriahan, dingin, mati.Goenawan Mohamad

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/01/01/CTP/mbm.19940101.CTP1528.id.html
Share this article :

0 komentar: