Seolah sudah menjadi sebuah tradisi bagi republik ini bahwa menjelang Ramadan dan Lebaran, masyarakat semakin disibukkan oleh kegiatan untuk mempersiapkan momen tersebut.
Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas ekonomi secara agregatif dan menimbulkan peningkatan permintaan atas berbagai bahan kebutuhan pokok. Aktivitas distribusi barang dan jasa juga ikut meningkat dan mengakibatkan mobilitas transportasi dan logistik menjadi makin tinggi. Akibatnya permintaan terhadap bahan bakar minyak (BBM) pun semakin meningkat. Pertamina memprediksi,permintaan BBM di masyarakat pada Ramadan dan Lebaran ini akan meningkat 10%.
Hal ini sebenarnya sudah menjadi hal yang lumrah dan dapat diprediksi. Sayangnya, eksternalitas dari kondisi ini, yaitu kenaikan harga BBM dan bahan-bahan pokok lainnya, masih seringkali terjadi dan belum dapat dihindari. Parahnya, pemerintah tidak melihat fenomena ini sebagai bagian dari strategi rutin yang harusnya sudah sistematis. Kenaikan berbagai harga bahan pokok ini menciptakan sebuah kegelisahan sendiri di masyarakat.
Alih-alih mempersiapkan diri menghadapi bulan suci, masyarakat justru lebih suka menimbun berbagai barang kebutuhan pokok yang pada akhirnya hal ini seringkali disalahgunakan oleh para spekulan untuk menaikkan harga bahan-bahan pokok tersebut menjadi lebih tinggi.Akibatnya, kondisi ekonomi rakyat, khususnya rakyat menengah ke bawah yang sebelumnya sudah sulit,menjadi lebih sulit karena daya beli yang semakin rendah. Kenaikan harga BBM menjelang puasa ini berdampak luas.
Pada level mikro,distribusi berbagai barang dan jasa yang pasti disokong oleh ketersediaan bahan bakar menjadi lebih costly mengingat harga BBM yang juga naik. Secara makro, kenaikan berbagai harga bahan kebutuhan pokok ini akan memancing kenaikan inflasi akibat bertambahnya uang yang beredar di masyarakat.Dalam skala yang lebih luas, perekonomian menjadi tidak stabil. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kenaikan harga BBM ini menjelang Ramadan dan Lebaran.Pertama,kenaikan permintaan dari masyarakat yang direspons oleh para agen untuk menimbun stok BBM yang ada.
Para agen ini biasanya baru menjual ke masyarakat ketika harga mulai merangkak naik. Kedua, kenaikan permintaan PLN atas BBM untuk sektor listrik seiring dengan peningkatan permintaan energi menjelang Ramadan. Ketiga,tradisi mudik Lebaran meningkatkan permintaan pengusaha transportasi atas BBM karena tingginya jumlah permintaan perjalanan oleh masyarakat. Isu kelangkaan BBM menjelang puasa dan Lebaran seringkali digulirkan ke masyarakat oleh berbagai pihak.Padahal sebenarnya isu utama pada kemampuan dan keseriusan pemerintah untuk mengelola supplydan demand energi dari hulu sampai ke hilir dengan seksama.
Persoalan kenaikan BBM ini padahal terjadi hampir setiap tahun, namun mengapa hal ini selalu terulang dan pemerintah terkesan cenderung menganggap hal tersebut sebagai sebuah kewajaran. Begitu harga di masyarakat mulai merangkak naik, pemerintah baru melakukan operasi pasar.Operasi pasar pun memiliki banyak kelemahan, salah satunya tidak dapat mengurai permasalahan sampai ke akarnya. Belakangan ini pemerintah mengklaim bahwa stok untuk energi, khususnya BBM dan listrik, serta bahan makanan selama Ramadan dan Lebaran sudah terpenuhi.
Presiden menyebutkan bahwa rapat terbatas antara dirinya dan anggota kabinet seringkali dilakukan untuk menghindari kelangkaan bahan kebutuhan pokok.Seolah terjadi kesesatan dalam berpikir, pemerintah hanya menganggap persoalan energi sebagai persoalan sederhana yang dapat diatasi oleh tindakan mendadak dan buruburu pemerintah.Padahal jelas, lebih dari itu semua,energi adalah persoalan yang kompleks.
Energi memengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti yang dikemukakan oleh Demirbas, “Energy affects all aspects of modern life.The demand for energy is increasing at an exponential rate due to the significant growth of the world population”. Seperti yang dikemukakan oleh Demirbas, energi memengaruhi seluruh aspek dalam kehidupan modern ini. Karena itu, ketika daya jangkau terhadap energi menjadi menurun oleh sebab apa pun, banyak aspek dalam kehidupan pun akan ikut terganggu.
Brenda Shaffer pernah menyebutkan, “Modern life – from the production of goods and the means of travel and entertainment to the methods of wagging war – is heavily dependent on access to energy”.Tanpa akses terhadap energi, kehidupan akan sulit berjalan secara baik karena kelumpuhan yang akan terjadi pada berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Fenomena kenaikan harga BBM yang terjadi selama Ramadan dan Lebaran ini mungkin dapat mencerminkan hal tersebut. Akibat tidak berjalannya sistem pengawasan oleh pemerintah terhadap sistem energi di hulu dan hilir,stok energi yang sejatinya ada dan mencukupi menjadi langka dan sulit diakses oleh masyarakat. Karena itu, tidak salah ketika ada yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah saat ini untuk menanggulangi kenaikan harga BBM, kelangkaan BBM, dan isu lain terkait energi belum cukup serius dan menyeluruh.
Rapat terbatas dan operasi pasar tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini. Pemerintah perlu melakukan suatu hal yang berani dan tegas. Sistem pengelolaan energi Indonesia harus kembali ditata secara rapi.Kelembagaan energi harus kembali difungsikan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Dalam fenomena kenaikan harga BBM menjelang Ramadan dan Lebaran ini, peran Pertamina dan BPH Migas sebagai lembaga yang mengatur distribusi minyak dan gas kepada masyarakat sebenarnya cukup signifikan.
Jika sampai terjadi penimbunan secara besar-besaran oleh beberapa pihak dengan tujuan untuk mencari keuntungan, BPH Migas-lah yang paling bertanggung jawab. Lebih daripada itu semua, pemerintah harus menata kembali berbagai kebijakan energi yang ada. Pada akhirnya, persoalan kenaikan dan kelangkaan energi yang terjadi di Indonesia dan di berbagai belahan bumi yang lain pada era modern ini sebenarnya tidak terlepas dari ketidakefektifan kebijakan yang ada untuk menciptakan ketahanan energi dan mengurai permasalahan energi.
Karena itu, politik energi sebagai sebuah mekanisme dalam menciptakan kebijakan energi harus menjadi sebuah hal yang sakral dan tidak dianggap mainmain.
DEWI ARYANI
Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/512184/
Latest Post
Ukhuwah Antarsesama
IBADAH puasa Ramadan tahun ini diawali dengan ramainya pemberitaan media massa soal perbedaan antarumat Islam dalam menetapkan awal bulan Ramadan.
Seperti diketahui, Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal dengan metode hisab menetapkan awal Ramadan jatuh pada 20 Juli. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) yang menetapkan awal Ramadan dengan metode hisab dan rukyat hilal harus menunggu hasil rukyat yang digelar banyak daerah di Indonesia. Metode ini juga lazim digunakan di beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Perbedaan metode dalam penetapan 1 Ramadan itu tidak hanya menciptakan kebingungan di antara masyarakat, tapi juga berpotensi membelah umat karena ibadah puasa tidak bisa dijalankan secara serentak se-Indonesia.
Masalah perbedaan penentuan awal Ramadan sebenarnya sudah sejak lama terjadi di kalangan umat Islam, tidak hanya di Indonesia,tapi juga di dunia.Hal yang sama juga kerap terjadi pada penentuan 1 Syawal sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan situasi dan kondisi seperti ini. Karena itulah,perbedaan dalam menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, dan jangan sampai mengganggu ukhuwah islamiyah di antara umat Islam di Indonesia.
Apalagi, dalam ajaran Islam disebutkan bahwa perbedaan itu rahmat. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin mengakui ada perbedaan karena Islam memandang perbedaan sebagai sunnatullah, yang berfungsi sebagai pengujian Allah pada manusia untuk kemajuan umat manusia. Masalah perbedaan telah banyak diabadikan dalam Alquran di antaranya firman Allah dalam Surah ar-Rum ayat 22 yang maknanya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitnya. Sungguh pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Juga firman Allah dalam Surah al-Hujarat ayat 13 yang maknanya: “Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dalam Alquran juga banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih sayang antara lain Surah al-Hujarat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya: “Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya Kamu mendapat rahmat”.
Terkait itu, benang merah yang bisa ditarik dari ayat ini adalah mewujudkan perdamaian yang berarti semua orang harus merasa bersaudara.Dalam konteks ini,ada tiga macam persaudaraan (ukhuwwah). Pertama, ukhuwwah islamiyyah yang berarti persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Kedua, ukhuwwah wathaniyyah yang berarti persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan.
Ketiga,ukhuwwah basyariyyahyang berarti persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan. Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut posisinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan lil alamin akan terealisasikan.●
KHOFIFAH INDAR PARAWANSA
Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/512396/
Hikmah Ramadan Negara yang Membunuh Rakyatnya
Hikmah Ramadan Negara yang Membunuh Rakyatnya
M Bashori Muchsin Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
BENARKAH negara bisa membunuh dan membantai rakyat nya? Kalau bisa, kapankah suatu negara bisa dikategorikan sebagai `kriminal' keji atau pembunuh atas rakyatnya? Dengan modus apakah negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya?
Kranenburg, pakar di bidang politik ketatanegaraan dan penganut teori negara kesejahteraan, menyatakan tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteraan yang dimaksudkannya itu meliputi berbagai bidang yang luas dengan berlandaskan kesederajatan.
Kalau suatu negara sampai tidak berusaha maksimal menyejahterakan rakyatnya, negara itu layak dikategorikan melakukan kejahatan bertajuk kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), manakala akibat ketidakseriusan atau pengabaiannya itu, banyak rakyat yang kehilangan (tercerabut) hak keberlanjutan hidupnya.
Banyak cara yang dibuat elemen negara untuk membunuh rakyat. Membunuh seseorang atau sejumlah orang dari rakyat tidak selalu dengan cara langsung seperti mencekik atau menusuk dengan senjata.
Caranya bisa melalui kebijakan represi yang bercorak dehumanisasi, menghambat dan menyumbat mengalirnya sumber daya strategis bangsa yang bermaksud mengairi (memenuhi) dan menyejahterakan atau menjaga keberlangsungan hidupnya, minimal dari ranah pemenuhan hak pangan atau kebutuhan ekonomi sehariharinya.
Apologi yang salah Di negeri ini, pola pembunuhan rakyat sudah demikian sering dilakukan negara. Memang banyak elemen negara yang menolak atau tidak mau digolongkan sebagai pembunuh warga (rakyat). Mereka berapologi tangan mereka tetap bersih dari lumuran darah rakyat. Mereka bahkan menyebut diri sebagai kelompok strategis yang bertanggung jawab yang sudah menunjukkan perannya sebagai abdi negara yang mengabdi total pada rakyat.
Apologi itu jelas salah karena praktik pengabaian, pembiaran, dan bahkan pengkleptokrasian yang dilakukan sejumlah elite negara telah mengakibatkan kemiskinan di berbagai pelosok Tanah Air. Mereka menjadi korban ‘pembunuhan’ yang dilakukan elite negara yang bermental serakah atau yang sibuk me ngumpulkan dan menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya.
Dalam ulasan tajuk Media Indonesia (7 Juli 2012) disebutkan, kemiskinan punya dampak begitu mengerikan.
Tidak hanya bisa memicu manusia menjadi maling demi menyambung hidup, kemiskinan ternyata juga mampu mendorong seseorang bunuh diri untuk mengakhiri hidup.
Misalnya lantaran tak kuasa menahan impitan ekonomi, Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor. Tragisnya lagi, janda asal Serang, itu tidak bunuh diri sendirian, tetapi mengajak mati buah hatinya (Salman) yang berumur tiga tahun.
Nasib Markiah sungguh memilukan. Ia bukan orang pertama yang bunuh diri karena miskin. Pada 11 Agustus
2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa membakar diri bersama dua anaknya. Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya tewas setelah gantung diri di Riau.
Jauh sebelumnya, seorang ibu dan empat anaknya di Malang mengambil jalan pintas dengan menenggak racun po tasium. Ia memilih mati.
Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera dirinya.
Pemerintah lebih sering atau selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan.
Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang. Pemerintah memang berhak terpukau oleh angka-angka yang resmi dirilis BPK ini, tetapi fakta menunjukkan kondisi riilnya bersifat paradoksal. Angka jauh dari mencerminkan fakta.
Momentum sakral Pengabaian, pembiaran, hingga pengkleptokrasian yangdilakukan (elemen) negara itu memang merupakan rangkaian bentuk pembunuhan yang menimpa rakyat.
Kasus bunuh diri tidak sebatas dibaca sebagai eksaminasi moral dan ketauhidan manu
sia yang bunuh diri, tetapi sebagai eksaminasi moral dan keimanan setiap pemimpinnya, yang masih gagal menjalankan peran kepemimpinan yang `menghidupkan', menyelamatkan, dan menyejahterakan rakyatnya.
Kehadiran Ramadan sejati nya merupakan momen tum menyakralkan peran kepemimpinan elemen negara dalam relasinya dengan rakyat. Di bu lan ini, idealnya para pemimpin mencari se gala jenis baksil yang selama ini menyerang dan membunuh rakyat mereka.
Pemimpin kita sela ma ini memang hanya fasih berucap, ber silat lidah, berkilah, dan bermain-main apologi demi mem benarkan atau me nahbiskan dirinya, se mentara kemaslahatan masyarakat tidak dicin tainya. Komunitas elite itu merupakan deskripsi sosok pemimpin yang tidak berbeda dengan pengkhianat dan `pen jagal' hak-hak masya rakat. Mereka tidak benar-benar `berpua sa' dari ketidakadilan struktural atau praktik praktik yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan.
Mereka itu gemar jadi `pengutip' atau pemalak atas hak-hak orang kecil, menyalahalamatkan atau ‘menyunat’ bantuan operasional sekolah, membengkakkan harga raskin, membuat biaya birokrasi mahal, menjarah bantuan bencana alam, atau berbagai kepentingan masyarakat dikonversi (dirampok) supaya jadi hak pribadi, partai politik, dan kroni.
Pemimpin negeri ini hanya memperlakukan diri dan kelompoknya jauh melebihi kepentingan riil masyarakat.
Syahwat memiliki, merampas, menjarah, dan menguasai dibiarkannya menjadi kekuatan yang mendorong dan menentukan gerak liberal dan serbapermisif (het doel heiling de middelen) yang melahirkan berbagai bentuk keprihatinan di berbagai bidang kehidupan fundamental.
Bagaimana bisa dikatakan hati pemimpin negeri ini bersinarkan cahaya cinta pada masyarakat dan ‘berpuasa’ kalau masyarakat atau tetangga yang lokasinya hanya beberapa meter dari kantor pemerintahan daerah saja dibiarkan tidak terurus sehingga mereka terpaksa mengambil profesi menjadi pengemis instan? Komunitas elite yang menyebut diri sebagai pemimpin Indonesia sangat pintar menabur janji atau mengobral pernyataan yang membius dan menyesatkan masyarakat, yang menggiring masyarakat meyakini atau memercayainya.
Sayangnya, janji itu tidak pernah mereka buktikan dalam kinerja atau dinihilkan dari komitmen struktural me
reka. Padahal, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan, “Keadilan (kecintaan) seorang pemimpin lebih utama seribu kali jika dibandingkan dengan ibadah ahli ibadah.” Selama ini, masyarakat lebih sering mendapatkan kosakata yang tersusun menarik di atas kertas atau melalui pidatopidato bombastis ketika kampanye, kunjungan kerja, dan pertemuan-pertemuan resmi para pemimpin, yang tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan riil masyarakat.
Bunuh diri yang dijadikan opsi sejumlah orang akibat kemiskinan berlarut yang menimpa mereka merupakan bukti bahwa pemimpin kita belum ‘berpuasa sejati’ dari syahwat memburu kemapanan dan kenyamanan eksklusif kekuasaan. Mereka masih lebih menahbiskan kecintaan pada dirinya sendiri, kroni, dan partainya jika dibandingkan dengan memikirkan kepentingan riil rakyatnya.
Mereka sebenarnya masih ingin menikmati hidup lebih lama di Bumi Pertiwi ini, tetapi akibat pemimpinnya yang bermental menihilkan komitmen kerakyatan atau tidak ‘memuasakan’ egoisme dan ambisi pribadi dan kelompok eksklusifnya, baginya, melanjutkan hidup di antara hati pemimpin yang sudah tuli tidak ada artinya lagi.
Kalau penguasa kita benarbenar sudah berpuasa sejati seperti yang didoktrinkan Nabi Muhammad, tentulah penguasa itu meneladaninya, seperti sabdanya, “Tempat terbaikku ialah orang-orang kecil dan orang-orang yang kalah.” Itu berarti setiap pemimpin yang berpuasa berkewajiban menjadikan ‘orang-orang kecil dan orang-orang yang kalah’ sebagai pembuktian amanat kerakyatan mereka dan bukan menjadikan hak-hak publik (orang kecil) sebagai objek pengabaian, pereduksian, dan pengkleptokrasian mereka.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/07/20/ArticleHtmls/Hikmah-Ramadan-Negara-yang-Membunuh-Rakyatnya-20072012020021.shtml?Mode=1
Pembelajaran Hidup dalam Puasa
PUASA, shiyam atau shaum, berarti berpantang menahan diri dari makan, minum,dan hubungan seks suami-istri di siang hari, menahan diri tidak berkata kotor,caci maki,dan marah selama menjalani ibadah puasa.
Maksud ibadah puasa ialah agar tindakan manusia menjadi lebih santun dan manusiawi di sepanjang hidupnya. Ibadah puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus, tidak makan, dan minum sehari penuh selama satu bulan. Puasa merupakan pembelajaran penderitaan dan kesabaran, selain empati kemanusiaan universal.Ibadah ini lebih bermakna jika diikuti aksi kemanusiaan penyeimbang kesenjangan sosial-ekonomi sebagai fondasi kehidupan berbangsa.
Itulah maksud pahala memberi takjil (berbuka) kepada mereka yang berpuasa dan membayar fitrah bagi fakir-miskin saat 1 Syawal tiba. Ironinya, gerakan kemanusiaan menjadi mati suri ketika ibadah puasa dan korban menjadi sebuah rutinitas. Puasa mesti menumbuhkan empati kemanusiaan atas mereka yang menderita kekurangan makanan dan minuman akibat kemiskinan,ketabahan menghadapi cobaan hidup,tolong- menolong, jujur, dan disiplin diri. Pemihakan kemanusiaan adalah bukti otentik kesetiaan pengabdian (iman) pada Tuhan.
Banyak orang berpuasa gagal memperoleh hikmah kearifan,sekadar lapar dan haus sepanjang hari akibat tidak menangkap makna kemanusiaan universalnya.Rasul mengingatkan: “Kam min sha-imin laisa lahu min shaumihi illa alju-’ I wa al-‘athasu”(Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapat apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga).
Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah: “Kullu hasanatin bi’asyri amtsa-liha ila sab’a miati dhi’fin illa al-shiya-m fa innahu li- wa ana- ajzihi”(Setiap amal kebajikan akan mendapat balasan lipat sepuluh sampai tujuh ratus kali, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu adalah hak-Ku.Dan Aku akan membalas puasa itu). Hadits Qudsi dari Abu Hurairah: “Kullu ‘amali ibni adam lahu,illa al-shiya-m fa innahu li- wa ana ijziya bihi,al-shiya-mu junnah“.
Artinya, semua amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa.Amalan puasa itu untuk-Ku,Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.(HR Bukhari dan Muslim) Siapa menjalani puasa berdasar iman dan kesadaran tinggi, dosa-dosa yang telah lalu terhapus. Jika puasa dijalani secara benar,orang tidak lagi berbuat dosa sesudah Ramadan usai. Hadits Abu Said al-Khudri: “Tidaklah seorang berpuasa sehari di jalan Allah kecuali Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (Bukhari dan Muslim).
Karena itu,saat Ramadan tiba,pintu surga dibuka,ditutup pintu neraka,syaitan dipasung,pintu rahmat dibuka lebar. (HR Muslim). Sebaliknya, kegagalan menangkap makna puasa membuat perilaku korup tetap membesar. Bagi yang tidak mampu secara fisik menjalani puasa (sakit, pekerja berat) boleh tidak berpuasa seperti pekerja tambang, sopir bis, nelayan, petani, atau tukang becak.
Sebagian ulama membolehkan pekerja berat tidak berpuasa tanpa membayar fidyah dan tanpa qada (mengganti puasa di hari lain) karena digolongkan sebagai orang yang tidak mampu berpuasa. Sebagian lain berpendapat boleh tidak berpuasa tanpa membayar fidyah dan qada jika tergolong miskin.
Sementara pejabat kantoran yang naik mobil berpendingin dengan sopir pribadi mesti berbuat lebih dari sekadar tidak makanminum, hubungan seks suami-istri siang hari, tidak berkata jorok,serta marah.Semoga beroleh berkah puasa (Lihat buku Puasa,Jihad Melawan Kemiskinan,2012). ABDUL MUNIR MULKHAN Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/512685/
Kiai Sarungan Itu Pintar
Sabtu, 14 Juli 2012 lalu, dalam penerbangan dari Bandar Lampung ke Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan Erwin M Singajuru, seorang anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Di antara begitu banyak masalah yang kami bicarakan, Erwin menceritakan kesannya kiai-kiai pondok pesantren itu banyak yang pandai. Sebagai anggota DPR, saat reses bulan lalu Erwin kebagian tugas untuk melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Jawa Timur dengan target konstituen para pimpinan pondok pesantren. Yang dibicarakan adalah masalah pendidikan agama, termasuk pendidikan di pondok pesantren.
Menurut Erwin, dirinya sangat terkesan dengan para kiai yang ditemuinya karena ternyata para kiai itu pandaipandai dan sangat paham atas perkembangan sosial dan politik nasional.Meski datang dengan hanya memakai sarung dan baju sederhana, ternyata para kiai itu pandai-pandai,well informed,dan visioner. Kata Erwin, para kiai itu bukan hanya nyambung dalam arti mendengar dengan baik tentang berbagai persoalan bangsa dan negara, tetapi juga sangat lihai menganalisis informasi yang diserapnya dengan berbagai teori yang biasanya disitirolehakademisiataupengamat. Mereka tahu persoalan bangsa dan berbagai kunci masalahnya.
“ Saya tak menyangka, kiai-kiai itu ternyata pandaipandai. Mereka itu ternyata bisa menjadi narasumber atas berbagai persoalan dan solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Seharusnya mereka itu cocok menjadi anggota DPR atau menteri,” kata Erwin memuji- muji. Saya yakin Erwin melontarkan pujian itu bukan karena dia berbicara dengan saya yang notabene lulusan pondok pesantren dan sampai sekarang bolak-balik keluar dan masuk pondok pesantren.
Kesan itu murni muncul dari hatinya setelah bertemu beberapa kiai yang ternyata melek informasi, mempunyai visi, dan kepedulian yang tinggi terhadap persoalan bangsa. Saya katakan kepada Erwin bahwa pimpinan pondok pesantren itu, meskipun selalu memakai sarung dan pernah diejek sebagai “kaum sarungan yang ndeso”, adalah orangorang yang pandai. Sekarang ini bahkan banyak pengasuh pondok pesantren yang lulusan perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri.
Luar negeri tempat mereka belajar pun bukan hanya Mesir atau Timur Tengah,melainkan juga Eropa, Amerika,dan Australia.Dalam kesehariannya mereka masih banyak yang tetap saja nyaman memakai sarung dengan leher dan bahu yang kadangkala dililiti sorban. Mereka juga sangat familier dengan information technology (IT). Di pondok pesantren sekarang ini sudah ada laboratorium komputer, laboratorium bahasa,dan berbagai laboratorium lain.Banyak kiai yang bisa berasyik-asyik dengan Twitter, Facebook, atau iPad.
Kalau kita menjelajah dunia maya, banyaklah nama-nama orang beken dari pondok pesantren yang ikut meramaikan jejaring sosial dengan IT modern. Yang sangat penting, hampir semua kiai mempunyai sikap dan visi nasionalisme yang berwatak inklusif yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita. Mereka toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli terhadap kekuatan dan keutuhan bangsa. Mereka mengajarkan dan menghayati cara toleran dalam kebersamaan di bawah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Mereka mau mempertaruhkan apa pun demi bangsa dan negara Indonesia.Mereka sungguh-sungguh telah ikut membangun dan mengawal Indonesia dengan ideologi dan konstitusinya.
Dalam tilas sejarah kita para kiai dengan pondok pesantrennya telah ikut berjuang mendirikan negara Indonesia dengan paham kebangsaan yang religius. Bagi mereka, kemerdekaan harus diraih karena kemerdekaan itulah pintu gerbang kesejahteraan rakyat yang harus mereka bangun dan perjuangkan. Sesudah Indonesia merdeka, mereka mengajarkan santrisantrinya untuk tidak berlaku ekstrem dan sewenang-wenang terhadap kelompok lain.
Kata mereka, memilih keyakinan dan agama itu adalah urusan masing-masing orang,perbedaan etnis dan daerah itu tak boleh menjadi penyebab perpecahan. Kepada santri-santrinya, mereka mengajarkan bahwa,“Kalau Tuhan menghendaki umat manusia itu menyatu dalam satu paham dan golongan,tentu Tuhan bisa melakukannya, tetapi Tuhan sengaja menciptakan perbedaan agar bisa saling berlomba dalam meraih kemajuan.” Dikuatkannya semboyan, hubbul wathon minal iman, cinta tanah air itu sebagian dari iman.
Diajarkannya sabda Nabi bahwa perbedaan antarumat itu rahmat karena dengan perbedaan- perbedaan itulah kemajuan dan kesejahteraan bisa dicapai. Pada saat Indonesia yang sudah merdeka menghadapi ancaman atas keutuhan teritorial dan ideologinya para kiai selalu ikut turun tangan untuk mengatasinya. Sayangnya, banyak para kiai itu yang setelah ikut menyelesaikan persoalan terus balik badan kembali ke pondok dan tak mau ikut-ikut mengurus siapa yang harus menjadi apa.
Mereka terlalu tawadu untuk misalnya berebutan jabatan atau terlibat dalam konflik politik. Akibatnya setelah satu babak persoalan bisa diselesaikan biasanya muncul problem baru karena follow up dari hasil penyelesaian itu oleh para kiai tak lagi diikuti, diserahkan kepada orang lain untuk mengelolanya. Mungkin soal mendinamisasi sikap tawadu inilah yang sekarang perlu dilakukan oleh para kiai yang pandai dan santun itu.Kalau sikap tawadu tidak didinamisasi, ya sejarah munculnya kebobrokan oleh kaum korup akan terulang terus.●
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/512800/
Langganan:
Postingan (Atom)