BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kekerasan terhadap Wartawan

Kekerasan terhadap Wartawan

Written By gusdurian on Senin, 22 Oktober 2012 | 12.32

Sekarang jelas era supremasi sipil. Ini era kebebasan pers. Kekerasan dan penganiayaan terhadap wartawan tidak boleh terjadi lagi.'' PROGRAM reformasi yang diterapkan dalam tubuh TNI ternyata belum mampu mengubah mentalitas lama tentara. Di era baru keterbukaan informasi seperti saat ini, upaya membungkam pers dengan kekerasan oleh aparat TNI masih terus berlangsung. Yang terakhir dilakukan aparat TNI-AU saat insiden jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Pekanbaru, Riau (16/10). Aksi kekerasan itu dilakukan secara terbuka oleh sejumlah prajurit TNI-AU terhadap lima wartawan yang meliput insiden tersebut. Seorang perwira berpangkat letnan kolonel bahkan tertangkap kamera tengah mencekik pewarta foto. Sangat ironis, peristiwa terbuka dan kasatmata berupaya ditutup-tutupi oknum TNI-AU dengan cara-cara yang melanggar hukum dan melanggar hak publik untuk mendapatkan informasi. Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Imam n Udara (KSAU) Marsekal Imam Sufaat sempat membenarkan tindakan anak buahnya meng halang-halangi wartawan. Alas annya itu bagian dari prosedur keamanan. Tujuannya demi ke selamatan warga sipil dan yang bersangkutan. “Yang jatuh pe sawat tempur. Kalau ternyata membawa bom lalu kena bom, gimana?“ ujar KSAU. Selain itu, kata Imam Sufaat, sebagai sarana militer, tentu ada unsur yang bersifat raha sia dari pesawat itu. Bukan kecelakaannya yang TNI-AU rahasiakan, melainkan kompo nen dari pesawat yang nahas itu. Kita mengecam habis-habisan kekerasan dan penganiayaan itu. Sangat sulit untuk memahami bagaimana mungkin para perwira TNI yang telah dilatih untuk bertindak profesional di era keterbukaan ini dapat melakukan kekeliruan sangat mendasar dan substansial. Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono memang sudah meminta maaf dan menyatakan tindakan oknum TNI-AU tersebut tidak tepat dan tidak patut. Namun, itu tidak cukup. Melarang wartawan meliput peristiwa, apalagi peristiwa yang terjadi di ruang publik, jelas pelanggaran berat terhadap kebebasan pers. Aparat TNI-AU itu melanggar UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang melindungi pekerjaan wartawan. Tak hanya itu. Aparat TNI-AU tersebut juga telah melanggar Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan. Tindak kekerasan dan penganiayaan oleh oknum TNI-AU tersebut tidak boleh dibiarkan. Itu harus dibawa ke muka hukum sampai tuntas. Hal itu perlu ditegaskan mengingat sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan dipetieskan, dibiarkan tidak tuntas. Salah satunya ialah kasus pemukulan wartawan Tempo TV Syarifah Nur Aida saat meliput sengketa lahan di Bogor, Jawa Barat, tahun lalu. Kasus kekerasan lain yang menyebabkan tewasnya Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual, Maluku, pada 2010 juga menjadi bukti betapa perlindungan dan pembelaan terhadap profesi wartawan masih memprihatinkan. Jangan heran bila indeks kebebasan pers yang dirilis Reporters Without Borders (RWB) menempatkan Indonesia pada posisi 146 dari 179 negara tahun lalu. Padahal tahun sebelumnya, Indonesia berada di rangking 117. Insiden di Pekanbaru harus menjadi pelajaran bagi TNI untuk memperbaiki diri. TNI ternyata masih harus direformasi lebih tegas lagi. Era Orde Baru sudah berakhir. Era tentara berkuasa di semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sudah tamat. Sekarang jelas era supremasi sipil. Ini era kebebasan pers. Kekerasan dan penganiayaan terhadap wartawan tidak boleh terjadi lagi. http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/10/19/ArticleHtmls/EDITORIAL-Kekerasan-terhadap-Wartawan-19102012001028.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: