BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Tari Saman atau Saman Gayo?

Written By gusdurian on Kamis, 22 Desember 2011 | 19.25

Tari Saman atau Saman Gayo?
Yusradi Usman al-Gayoni Pemerhati budaya

Dalam masyarakat Gayo sendiri, alih budaya lebih sering dilakukan secara lisan daripada tulisan."

SIDANG ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Dunia Tak Benda United Nations Educational, Scientifi c and Cultural Organization (UNESCO) di Nusa Dua, Bali, Kamis, 24 November 2011, akhirnya menetapkan Tari Saman sebagai warisan budaya dunia tak benda dari Indonesia.
Sebagai warga negara Indonesia, khususnya masyarakat Gayo dan Aceh, kita patut bersyukur dan berbangga hati atas penetapan tersebut. Di sisi lain, pengakuan itu menjadi tantangan awal dalam melestarikan Tari Saman. Selama ini, terdapat salah pemahaman dan salah mempraktikkan Saman yang dapat ‘mengancam’ keberadaannya. Dengan demikian, pengukuhan Tari Saman menjadi momentum yang tepat untuk meluruskan, menyosialisasikan, mempertahankan, dan melestarikan tarian ini.

Saman Gayo?
Sejak ditetapkan, istilah `Saman Gayo' semakin menguat ke permukaan publik. Dari garis sejarah, tarian ini memang berasal dari Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Hasil verifikasi UNESCO membuktikan Saman berasal dari Gayo Lues ‘Negeri Seribu Bukit’. Di Gayo Lues, Saman sudah menjadi bagian hidup. Maka itu, kemudian ada pelbagai bentuk Saman, seperti Saman Jejunten, Saman Ngerje, Saman Enjik, Saman Bepukes, Saman Festival, dan Bejamu Saman. Ada pula yang sampai ‘dipertandingkan’, yaitu Saman Serlo Sara Ingi (Saman yang dipertandingkan selama sehari semalam) dan Saman Roa Lo Roa Ingi (Saman yang dipertandingkan selama dua hari dua malam). Lebih dari itu, ini dapat ditarikan khalayak, mulai masyarakat grass root sampai pejabat (berkedudukan sosial lebih). Juga, dari anak-anak, remaja, dewasa sampai orang tua yang sudah renta.
Yang jadi persoalan ialah kata ‘Gayo’ setelah Saman. Apakah penambahan itu perlu? Tambahan kata Gayo melogikakan sesuatu yang ganda dan bermakna jamak. Artinya, ada bentuk Tari Saman yang lain.

Padahal, Saman cuma satu, yaitu Saman yang berasal dari Tanoh Gayo, Kabupaten Gayo Lues. Bila melihat pertalian his

tori, sosiokultural, religiositas, ekologi (ekologi bahasa), dan semiotika yang dikandunginya serta bukti indikasi geografi s, Tari Tangan Seribu (sebutan dari Ibu Tien Soeharto alm) ini cukup ditulis dengan Tari Saman, tanpa melekatkan kata Gayo. Kalau ditulis Tari Saman Gayo, berarti, kita—masyarakat Indonesia—ikut membenarkan salah pemahaman tadi. Dalam arti, mengakui dan melegitimasi dua atau lebih Saman sekaligus. Blessing in disguise Memang, dalam perkembangannya di luar Gayo Lues dan daerah Gayo lainnya, seperti di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Lokop-Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (Aceh Tamiang), Bener Meriah, dan Lhok Gayo (Aceh Barat Daya)--khususnya di pesisir Aceh, pelbagai daerah di Indonesia, dan di belahan dunia lain--Tari Saman sering kali dilakukan perempuan, bercampur laki-laki dengan perempuan, memakai instrumen, penarinya berjumlah genap, tidak berkerawang (berpakaian adat Gayo), dan tidak berlirikkan bahasa Gayo dalam mengungkapkan lagu-lagunya.
Selain itu, gerakan-gerakannya pun jauh dari bentuk aslinya.

Tari yang sering ditampilkan itu disebut Ratoh Duek, jenis tari lainnya di Aceh.

Namun, ada ‘untung-ruginya’ dari kesalahan tersebut.

Bagaimanapun, Tari Saman dalam posisi yang dirugikan.

Sebab, yang ditarikan bukan Tari Saman, tetapi disebut Tari Saman. Lebih-lebih, saat yang menarikannya perempuan

atau bercampur laki-laki dengan perempuan, hal itu pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai adat istiadat masyarakat Gayo. Juga, dengan ajaran agama Islam yang dianut secara fanatik oleh masyarakat Gayo dan Aceh. Dengan begitu, penarian seperti itu ‘haram hukumnya’. Sebaliknya, Ratoh Duek pun merasa rugi, tetapi tetap diuntungkan berupa ‘keuntungan ekonomi’. Sebenarnya di situlah akar persoalannya sehingga sampai terjadi salah pemahaman tadi.
Akan tetapi, bila dikaji lebih bijak, kondisi demikian mendatangkan blessing in disguise. Pada akhirnya, Tari Saman semakin dikenal luas dan mendunia, walaupun muncul kerancuan, kebingungan, dan ‘kesesatan’ pada saat yang bersamaan. Pada akhirnya, UNESCO pun turun langsung melakukan verifi kasi ke Gayo Lues pada 2010. Alhasil, Saman ditetapkan sebagai warisan bu

daya dunia tak benda beberapa waktu yang lalu. Meluruskan Saman Pastinya, pengakuan UNESCO bukanlah tujuan dan target akhir. Sebaliknya, itu menjadi langkah awal dalam penyelamatan dan pelestarian tarian ini. Salah satunya dengan meluruskan salah pemahaman dan salah mempraktikkan itu, yaitu memberikan informasi dan menarikan Saman dengan benar dan baik. Termasuk, perdebatan perihal boleh tidaknya Saman ditarikan perempuan atau bercampur keduanya.
Sebab, hal itu berhubungan dengan kreativitas penyuka dan keberterimaan publik terhadap Tari Saman, apalagi di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya yang merupakan kota urban. Bila dimaklumi, kalaupun diakui UNESCO sudah barang tentu itu melanggar dan ikut mengerdilkan nilainilai yang dikandungi Saman dan adat istiadat serta budaya masyarakat Gayo. Lebih dari itu, persoalan yang sensitif tersebut akan menjadi perde

batan panjang. Oleh sebab itu, perlu penyelesaian yang arif dengan tetap memperhatikan, menghormati, dan menghargai masyarakat Gayo.
Di luar itu, persoalan yang substansial terletak pada masalah minimnya dokumentasi dan publikasi Saman. Kedua persoalan tersebut tidak sebatas pada Saman, tetapi juga menyangkut Gayo secara keseluruhan. Karena itu, salah pemahaman dan salah mempraktikkan tadi bisa saja terjadi akibat kelemahan orang Gayo ‘kurang menulis’. Dalam masyarakat Gayo sendiri, alih budaya lebih sering dilakukan secara lisan daripada tulisan.

Pun demikian, sejauh ini, sudah ada beberapa buku khusus yang mengulas Saman dan ditulis putra Gayo Lues. Di samping itu, semangat dan usaha ke arah itu—dokumentasi dan publikasi—semakin tumbuh dan berkembang saat ini, khususnya pada generasi muda Gayo. Namun, upaya-upaya tersebut mesti terus digalakkan. Apalagi, ini menyangkut Tari Saman. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang sudah dipaparkan tidak akan terjadi lagi pada masa-masa mendatang. Semoga!
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/23/ArticleHtmls/Tari-Saman-atau-Saman-Gayo-23122011026021.shtml?Mode=1

Pricing for Profit

Pricing for Profit
Friday, 23 December 2011
Kita semua menyadari bahwa penetapan harga jual produk kita sangatlah crucial oleh karena terlalu rendah mengurangi keuntungan– padahal dari harga juallah perusahaan memperolehnya– sebaliknya jika terlalu tinggi, tidak dapat bersaing dan akan kehilangan kesempatan menjual; alhasil rugi karena tidak ada penjualan sementara biaya tetap berjalan.


Penetapan harga yang tepat bukan saja akan meningkatkan penjualan akan tetapi juga meningkatkan keuntungan dengan naiknya penjualan. Dalam praktiknya, ada perusahaan yang menetapkan harga dengan berorientasi pasar untuk dapat bersaing secara efektif, dan dengan demikian akan menguasai pangsa pasar. Barulah setelahnya menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan yang layak.Tentu dengan dukungan iklan dan promosi lainnya baik above-thelinemaupun below-the-line. Pihak produksi dituntut untuk dapat memproduksi produk terkait dengan biaya serendahrendahnya.

Kadang disadari atau tidak disadari, mutu dikorbankan, yang dapat berakibat fatal. Pada bagian lain ada perusahaan yang berorientasi semata- mata cost, dan harga ditetapkan dengan mark-up untuk mengakomodasi ke-untungan yang diinginkan. Kategori dan jenis produk yang berlainan akan memilih salah satu dari keduanya; contohnya untuk produk consumer yang mass-production sangat berorientasi kompetisi pasar, sementara produk fashion, gengsi atau produk eksklusif lebih cenderung berorientasi cost plus dengan tingkat keuntungan setinggi mungkin. Hampir tidak ada atau jarang perusahaan yang berorientasi dua-duanya, karena sulit untuk diterapkan.

Biasanya satu kali harga diset akan sulit untuk mengubahnya dalam waktu dekat karena saat peluncuran produk sangat berkaitan erat dengan kesan pertama dalam benak konsumen. Sementara,tujuan perusahaan dengan harga adalah memperoleh dua-duanya; baik unit penjualan maupun keuntungan, namun dengan penetapan harga yang salah justru bisa berakibat kehilangan dua-duanya. Michael de Kare-Silver, Penulis buku E-shock, profesor tamu di Business School Technology Department, Middlesex University,London,melakukan penggamatan lebih mendalam tentang pricingini.

Menurutnya, penetapan harga terkait dengan tujuan jangka pendek menengah atau jangka panjang. Kemudian keberanian manajemen dalam mengambil keputusan menentukan harga jual juga sangat berperan, hal-hal yang tidak bersifat rasional dan logikal, akan tetapi menggunakan gut, feeling, dan insting. Ada empat pendekatan dalam penetapan harga:

1.Lowest cost/lowest price: biaya produksi yang rendah mendorong untuk menetapkan harga jual yang murah biasanya bertujuan untuk merebut pangsa pasar dalam waktu singkat,

2. Supply and demand management: permintaan atau pemakaian yang tinggi,memberikan kesempatan untuk menetapkan harga jual yang lebih tinggi.

3. Supplier-customer balance of power: setiap pemasok diminta kontribusi untuk menekan biaya produksi sehingga memberikan keuntungan kotor yang lebih tinggi untuk dipergunakan dalam persaingan di pasar. ,

4. Open book and partnership-pricing: antara perusahaan dan para pemasok ada keterbukaan di mana kesepakatan dicapai untuk bahan baku produk tertentu pemasok menurunkan harga namun untuk bahan baku yang lain menaikkan harga sehingga secara keseluruhan mencapai tingkat keuntungan yang diharapkan.

Sedangkan faktor-faktor lain adalah juga melihat faktor eksternal di luar produk dan harga seperti halnya dukungan marketing, promosi, teknologi, inovasi, dan itu biasanya mendorong manajemen untuk menetapkan harga jual, khususnya ketika pertama kali produk diluncurkan. Selanjutnya, Michael juga berpesan, beberapa hal yang terkait dengan penetapan harga:

1.Untuk meningkatkan keuntungan, jangan langsung melakukan pemotongan biaya produksi maupun biaya operasi, tetapi periksa dulu apakah harga produk telah ditinjau dengan benar, jangan sampai peluang tidak dimanfaatkan.

2.Apakah tanggung jawab sudah seimbang antara manufacturing( produksi),marketing (pemasaran) dan sales (penjualan),

3.Periksa peluang setiap lini produk, jangan diambil rata-rata. Ada produk dengan persaingan ketat, umumnya yang sudah masuk generik, sebaliknya ada produk yang monopoli atau eksklusif. Kelengkapan data dan akurasi informasi baik yang bersifat intern maupun yang bersifat eksternal sangat menunjang penetapan harga yang benar.

Pengambilan keputusan bisa menggunakan feeling, tetapi informasi dan data tidak sesekali menggunakan feeling namun memang harus diakui bahwa tidak mudah untuk dapat menetapkan harga yang pas yang pada satu pihak diterima pasar dengan baik, tanpa perusahaan harus berkorban dalam keuntungan; yang menaikkan volume atau unit penjualan dan tidak menyebabkan penurunan. Bagaimanapun anda harus menempuh proses ini. Mudahmudahan uraian di atas tidak menambah kebingungan anda dalam menetapkan harga jual produk Anda.●

DR ELIEZER H HARDJO PHD CM
Anggota Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & Institute of Certified Professional Managers (ICPM)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/454077/