BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jika Shaum Kita "Nggak 'Nendang" - Akmal Sjafril

Jika Shaum Kita "Nggak 'Nendang" - Akmal Sjafril

Written By gusdurian on Senin, 22 Agustus 2011 | 05.28


assalaamu’alaikum wr. wb.

“It’s like a finger pointing at the moon,” kata seorang guru Kung Fu pada muridnya. Sang murid yang berusaha mencerna kata-kata itu secara refleks langsung memelototi jari gurunya yang menunjuk ke angkasa. Apa dinyana, ia langsung dihadiahi tamparan keras di kepalanya.

“Do not concentrate on the finger, or you will miss all of the heavenly glory!”

Begitulah cuplikan sebuah adegan dalam film Enter The Dragon, salah satu film yang membuat nama Bruce Lee terpatri dalam sejarah perfilman dan bela diri dunia sekaligus. Adegan itu menunjukkan bagaimana karakter guru Kung Fu yang diperankan oleh Bruce Lee tengah mengajari seorang muridnya bagaimana cara menendang dengan benar. Sesi latihan supersingkat itu (bahkan sesi latihan itu dilakukan di tengah-tengah waktu sang guru menerima tamunya) menunjukkan betapa besar perhatian karakter ini pada hal-hal yang mendetil. Ia hanya menyuruh muridnya menendang tiga kali, mengoreksinya dan memberitahu apa yang benar dan yang salah dari gerakannya. Setelah itu, sang murid kembali untuk berlatih sendiri lagi.

Mungkin sebagian orang tidak mengerti apa korelasi antara jari, bulan dan teknik tendangan yang efektif hanya dengan mengamati petikan dialog singkat di atas. Bahkan mereka yang menonton filmnya secara utuh pun banyak yang belum sempat memahami adegan tersebut ketika film sudah beralih ke adegan berikutnya. Yang ingin ditekankan oleh karakter Lee adalah bahwa tendangan yang dilakukan oleh muridnya itu secara teknis sudah benar, namun kurang mantap, karena tidak ada apa yang disebutnya sebagai ‘emotional content’. Istilah yang satu ini bukan berarti bahwa tendangannya harus emosional atau dilandasi amarah (semua ahli bela diri yang sejati tahu persis bahwa amarah justru merusak konsentrasi dan kualitas gerakan), melainkan haruslah ada kesatuan antara badan dan pikiran. Singkatnya, pikiran dan perasaan terfokus pada satu tujuan. Itulah sebabnya digunakan analogi jari yang menunjuk ke bulan. Tidak ada manfaatnya berkonsentrasi ke jari yang menunjuk, karena yang harusnya menjadi pusat perhatian adalah bulan di langit.

Apa yang dijelaskan di sini juga tidak menunjukkan bahwa Bruce Lee (atau karakter yang diperankannya) tidak peduli dengan detil gerakan. Penekanan pada fokus tujuan diberikan sekurang-kurangnya karena dua hal. Pertama, karena secara teknis tendangan muridnya itu sudah benar dan cukup baik, hanya tinggal dimantapkan saja. Kedua, karena Bruce Lee memiliki prinsip bahwa bela diri yang paling efektif itu adalah yang mengikuti anatomi tubuh manusia. Itulah sebabnya Lee tidak dikenal karena jurus belalang sembah (the praying mantis), cakar harimau (the tiger claw), atau jenis-jenis jurus Kung Fu lainnya yang terinspirasi oleh gerakan hewan (jika tangan manusia berbeda dengan tungkai depan belalang sembah, lantas kenapa manusia harus memukul seperti belalang sembah?). Lee adalah tokoh yang mempopulerkan Wing Chun ke level internasional, sedangkan Wing Chun adalah bela diri yang sepenuhnya menggali teknik-teknik yang dianggap efektif untuk anatomi tubuh manusia. Nah, karena anatomi tubuh manusia toh secara umum sama saja, maka teknik tendangan yang efektif pasti sama saja. Dengan pemahaman tujuan yang baik dan repetisi yang cukup, pasti tekniknya akan sama saja, baik ia orang India, Cina, Amerika, Nigeria, atau Nikaragua. Kalau kakinya sama, maka teknik tendangan samping yang efektif pasti begitu-begitu juga. Itulah sebabnya fokus pada tujuan menjadi demikian penting.

Baik dalam bela diri, olah raga, atau dalam hal-hal lainnya, kita semua tahu bahwa teknik yang benar tidak dapat dicapai hanya dalam satu-dua kali percobaan. Sebab, setiap teknik pada hakikatnya bukanlah gerakan-gerakan parsial dari anggota-anggota tubuh, melainkan hasil dari kerja sama semua bagian itu. Tendangan bukanlah gerakan yang hanya mengandalkan kaki, melainkan keselarasan dengan pinggang, posisi tangan, bahkan juga gerakan bahu. Cara melakukan tembakan dalam basket juga bukan sekedar melempar dengan tangan, karena shoot yang benar melibatkan kolaborasi yang apik antara lutut, siku, bahu, jari-jemari dan seterusnya. Hal ini bisa kita aplikasikan dalam segala hal. Menulis bukan sekedar menceritakan suatu kejadian atau pemikiran, ilmu kedokteran bukan sekedar tahu penyakit dan bisa membuat resep, ekonomi (syariah) bukan sekedar menghitung laba-rugi pribadi, demikian seterusnya. Oleh karena itu, dalam segala hal, jam terbang menjadi penentu. Jam terbanglah yang akan membedakan antara orang yang:
tahu cara yang benar
mampu melakukan dengan benar
terampil melakukan dengan benar
memiliki kearifan terhadap teknik yang benar

Shaum, seperti segala sesuatunya, juga dipengaruhi secara langsung oleh jam terbang. Semua orang maklum jika anak usia 4-5 tahun ikut melaksanakan shaum, kemudian berbuka di waktu Zhuhur dan meneruskan hingga waktu berbuka yang sebenarnya. Hal yang sama juga berlaku bagi para muallaf, karena ini adalah suatu hal yang baru bagi mereka. Tubuh mereka perlu dikondisikan untuk beradaptasi dengan shaum.

Kalau jam terbangnya sudah bertambah tinggi, biasanya sejalan dengan bertambahnya usia, maka hal-hal lainnya mulai menjadi perhatian. Mulai berlatih menjaga emosi, meninggalkan obrolan-obrolan tak bermanfaat dan sebagainya. Lebih baik tidur daripada kelayapan.

Semakin tinggi jam terbangnya, maka tuntutannya pun semakin tinggi. Target-target dibuat. Jumlah tilawah harian mulai dipertanyakan. Shalat Dhuha menjadi ‘menu wajib’. Ibadah-ibadah wajib dimantapkan, ibadah-ibadah Sunnah digetolkan. Pemahaman terhadap ibadah shaum semakin tinggi. Tidak ada lagi yang ingat soal lapar dan haus, bahkan kedua hal itu menjadi tidak relevan lagi. Tidak ada lagi keluhan lemas-lemas atau badan tak bertenaga di bulan Ramadhan, karena tubuh sudah sangat terbiasa, hasil latihan selama bertahun-tahun.

Pada kenyataannya, sebagian umat Islam berada dalam kondisi yang sama seperti murid Kung Fu yang sedang belajar menendang tadi. Seharusnya pandangannya difokuskan ke bulan, tapi perhatiannya malah ke jari yang menunjuk. Matanya tidak tertuju pada keindahan yang tiada banding nun jauh di atas sana, melainkan pada jari yang sudah ia lihat jutaan kali sejak kelahirannya. Tidak heran kualitas tendangannya tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Tendangannya sudah benar, tapi hanya sekedar itu saja.

Shaum itu sama saja sederhananya dengan teknik tendangan. Batasan shaum adalah waktu Subuh dan Maghrib. Yang membatalkannya hanya tiga, yaitu makan, minum dan berhubungan suami-istri. Selebihnya adalah perkara yang dibuat-buat oleh orang-orang yang ‘suka mencari masalah’, misalnya muntah dengan sengaja, menghirup air lewat hidung (yang ujung-ujungnya masuk ke kerongkongan juga), atau onani. Hanya tiga hal tadi sajalah perkara halal yang diharamkan ketika sedang menjalankan ibadah shaum. Selebihnya, yang wajib tetaplah wajib, yang sunnah tetaplah sunnah, yang makruh tetaplah makruh, yang mubah tetaplah mubah, dan yang haram sudah pasti tetap haram. Semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya, dan kemungkinan dikabulkannya doa menjadi semakin besar. Kalau kita tidak banyak ‘mencari masalah’, shaum yang benar dan memenuhi syarat itu cukup demikian saja.

Patut disayangkan, masih banyak Muslim dan Muslimah yang sudah dewasa, sudah belasan atau puluhan tahun melaksanakan ibadah shaum Ramadhan, tapi pemikirannya masih saja berkisar di seputar lapar dan haus. Di siang hari badannya lemas, maka kinerjanya menurun. Begitu adzan Zhuhur, langsung melesat ke Masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, kemudian tidur hingga waktu istirahat kantornya selesai. Kerja tanpa gairah, menuntut pulang cepat, dan di akhir bulan mengharapkan THR. Itulah siklus kerjanya di bulan Ramadhan.

Jika seharian di rumah, saking ‘beratnya’ shaum, maka yang dicari adalah hiburan dan hiburan. Industri pertelevisian meresponnya dengan sangat baik. Bangun sahur langsung ditemani oleh acara lawak plus berbagai macam kuis. Setelah fajar menyingsing, acara konser live digelar seperti biasa; anak-anak muda yang entah sekolah entah kuliah entah bolos berkumpul seperti biasa pula. Bedanya, para host dan artis yang tampil di bulan Ramadhan biasanya pakai baju koko. Sinetron-sinetron Ramadhan bermunculan, bahkan sinetron yang biasanya pun tampil ‘tidak biasa’ di bulan Ramadhan; karakternya banyak yang berjilbab, pakai baju koko, dan sedikit-sedikit mengucapkan “Ya Allah!” Ada sedikit saja waktu, sekitar 15-30 menit, dimanfaatkan untuk taushiyah yang agak serius dan berisi menjelang berbuka. Setelah itu, siklus hiburan berjalan seperti biasa. Tapi sebelum tidur, masih ada lagi hiburan lain yang menunggu, yaitu hasil perkawinan antara konser dan taushiyah, sebut saja ‘konser taushiyah’. Para ustadz dan band-band terkemuka (tentu saja pakai baju koko) tampil bergantian. Bahkan adakalanya belasan ustadz ditampilkan pada malam yang sama, di panggung yang sama. Masing-masing dapat waktu memberikan taushiyah sekitar lima menit. Tentu saja, tampil bersama band-band yang sedang digandrungi itu, para ustadz pun tak boleh kalah menghibur. Maka tampillah para ustadz dalam format yang serba interaktif dengan para penontonnya; mulai dari yel-yel bersama hingga menyanyi bersama. Taushiyah-nya? Wallaahu a’lam. Tidurnya? Wallaahu a’lam juga, karena acara baru berakhir menjelang tengah malam.

Kasihan umat yang kebingungan. Dari tahun ke tahun, pemahamannya tentang shaum hanya sekedar lapar dan haus saja. Di koran-koran, siaran radio dan televisi, orang masih saja bertanya: apakah shaum batal jika kita muntah? Di mana-mana, ada saja yang berkata (entah berkelakar atau tidak), “Kok lemes? Puasa ya?” Menjelang Ramadhan, orang-orang pergi makan bersama. Katanya: “Mumpung masih bisa makan siang-siang!” Seolah Ramadhan telah merampas hak-hak mereka, dan seolah tidak makan siang selama sebulan itu sedemikian menderitanya. Belum masuk Ramadhan, orang sudah dibuai dengan ‘janji-janji kemenangan’, slogan ‘kembali ke fithrah’ dan berbagai diskon besar-besaran. Ramadhan datang, orang-orang sudah menanti datangnya Lebaran, seolah-olah ingin agar kesempatan emas itu segera lewat. ‘Idul Fitri semakin mendekat, orang-orang pun semakin gelisah memikirkan baju baru yang belum dibeli, kue-kue yang belum disiapkan, dan THR yang belum dibagikan. Ramadhan berlalu seperti bulan-bulan lainnya, tanpa jejak yang ditinggalkan kecuali beberapa potong pakaian di dalam lemari. Tidak ada ‘oleh-oleh’ yang dibawa berupa amalan Sunnah yang menjadi kebiasaan baru, dan tak ada perubahan signifikan dari karakter diri kita.

Sedikit saja yang ingat bahwa tujuan akhir shaum adalah agar kita semakin ber-taqwa; yaitu semakin awas dengan keadaan diri kita, semakin berhati-hati agar tidak melalaikan kewajiban atau terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak heran, sebab pikiran mereka disibukkan dengan lapar dan haus, dan selebihnya adalah hal-hal yang tidak relevan.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Akmal Sjafril

Share this article :

0 komentar: