BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pornografi, Ketagihan, dan Impotensi

Pornografi, Ketagihan, dan Impotensi

Written By gusdurian on Kamis, 14 Juli 2011 | 11.01

Naomi Wolf PEGIAT POLITIK DAN KRITIKUS SOSIAL, PENGARANG BUKU GIVE ME LIBERTY: A HANDBOOK FOR AMERICAN REVOLUTIONARIES Efek dopamine ini menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi semakin ekstrem setelah sekian waktu: citra-citra seksual yang biasa saja akhirnya kehilangan keampuhannya, sehingga membuat laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu perlu citra-citra baru yang melanggar tabu-tabu lainnya untuk merasakan kepuasan seksualnya.
Sulit mengabaikan betapa banyak orang ternama pada tahun-tahun (sebenarnya, bulan-bulan) terakhir ini yang menunjukkan perilaku seks tidak senonoh yang menghancurkan karier mereka sendiri.

Dulu juga banyak orang ternama yang mengumbar seks, tapi tidak seperti sekarang, mereka sangat berhati-hati dan berusaha menutupi jejak perilaku mereka.

Sudah tentu kemajuan teknologi sekarang ini dalam mengungkapkan perilaku pribadi seseorang menjadi bagian yang menyebabkan terjadinya perubahan ini.

Tapi justru di sinilah letak persoalannya: banyak laki-laki yang tertangkap dalam skandal seks akhir-akhir ini telah menelanjangi diri mereka sendiri—kadang-kadang secara harfiah—melalui pesan-pesan dalam Twitter dan media tidak langsung lainnya, yang mereka lakukan atas kemauan mereka sendiri.

Apa yang mendorong terjadinya perilaku yang aneh ini? Mungkinkah marak dan mudah diperolehnya pornografi di mana-mana pada tahun-tahun terakhir ini benar-benar telah menyebabkan rewiring (disetelnya kembali kabel-kabel) otak lakilaki yang berdampak pada pandangan mereka mengenai seks dan membuat mereka sulit mengendalikan dorongan nafsunya? Banyak bukti ilmiah yang mendukung kesimpulan ini. Enam tahun yang lalu, saya menulis esai berjudul The Porn Myth (Mitos Pornografi), yang mengemukakan bahwa para ahli terapi dan konseling seksual melihat adanya kaitan impotensi dan ejakulasi dini yang meningkat di kalangan laki-laki yang masih muda usia saat itu dengan meningkatnya pornografi di kalangan mereka. Mereka laki-laki yang masih muda, sehat, serta tidak menderita patologi organis atau psikologis yang bisa mengacau-balaukan fungsi seksual mereka.

Hipotesis di kalangan para ahli adalah bahwa pornografi secara progresif telah menyebabkan hilangnya kepekaan (desensitizing) seksual laki-laki. Efektifnya pornografi hardcore yang sangat eksplisit itu dalam mempercepat hilangnya kepekaan ini telah sering digunakan para dokter dan tim militer untuk menangani situasi-situasi yang sangat sensitif dan luar biasa dari subyek-subyek penelitian mereka.

Mengingat efek hilangnya kepekaan seksual ini pada sebagian besar subyek penelitiannya, para pakar telah menemukan bahwa laki-laki semacam itu membutuh
kan stimulasi yang lebih kuat untuk mencapai tingkat rangsangan yang sama. Para pakar yang saya wawancarai pada waktu itu berspekulasi bahwa pornografi menyebabkan laki-laki yang masih muda dan sehat itu mati rasa terhadap daya tarik erotis partner atau lawan jenis mereka sendiri.

Sejak itu, banyak sudah terakumulasi data mengenai sistem reward otak manusia yang dengan tepat menjelaskan rewiring otak ini. Ki
ta tahu bahwa pornografi memberikan reward kepada otak laki-laki dalam bentuk dorongan saraf dopamine jangka pendek yang, selama satu atau dua jam kemudian, meningkatkan mood laki-laki dan membu at mereka merasa siap. Jaringan saraf ini identik dengan jaringan yang mencetuskan ketagihan lainnya, seperti ketagihan berjudi atau mengkonsumsi narkoba.

Potensi ketagihan ini juga identik: sama seperti penjudi atau pengguna narkoba yang bisa menjadi kompulsif, merasa butuh berjudi atau mengkonsumsi obat terlarang itu lagi dan lagi untuk memperoleh dorongan dopamine yang sama. Begitu juga laki-laki yang mengkonsumsi pornografi menjadi ketagihan. Sama seperti pencetus reward lainnya, setelah dorongan dopamine itu menurun, laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu akan merasakan kekecewaan--lekas marah, gelisah, dan mendambakan asupan obat terlarang itu lagi. (Ada beberapa bukti baru, yang ditemukan Jim Pfaus pada Concordia University di Kanada, bahwa mati rasa itu bisa mempengaruhi wanita konsumen pornografi juga.) Efek dopamine ini menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi semakin ekstrem setelah sekian waktu: citra-citra seksual yang biasa saja akhirnya kehilangan keampuhannya, sehingga membuat laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu perlu citra-citra baru yang melanggar tabu-tabu lainnya untuk merasakan kepuasan seksualnya. Lagi pula, ada laki-laki (dan wanita) yang punya apa yang dinamakan dopamine hole—di mana sistem reward otak mereka tidak lagi efisien—sehingga membuat mereka lebih mudah ketagihan akan pornografi yang lebih ekstrem.

Seperti halnya dengan ketagihan pada umumnya, sangat sulit (karena alasan kimiawi-saraf) bagi seorang yang sudah ketagihan untuk berhenti melakukan halhal—bahkan yang sangat destruktif sekalipun—untuk memperoleh dorongan dopamine berikutnya. Mungkin karena itulah sebabnya, laki-laki yang dulu bisa melibatkan diri dalam affair dengan hati-hati di balik pintu tertutup sekarang tidak bisa melawan dorongan untuk mengirim pesan-pesan terbuka yang tidak senonoh lewat Internet yang merusak dirinya sendiri itu? Orang-orang semacam ini mungkin tidak menjadi orang-orang yang tidak ada harganya, melainkan pecandu-pecandu yang tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.

Ini bukan hendak mengatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas perilaku mereka. Tapi, menurut pandangan saya, ada tanggung jawab, yaitu tanggung jawab memahami potensi penggunaan pornografi yang sangat adiktif ini, dan mencari konseling serta pengobatan jika ketagihan mulai mempengaruhi teman hidup, keluarga, kehidupan profesional, dan kemampuan menilai seseorang.
Sekarang ada model yang efektif dan terperinci untuk melepaskan laki-laki dari kecanduan pornografi dan memulihkannya kembali kepada keadaan mental yang lebih seimbang, keadaan yang tidak lagi takluk kepada dorongan nafsu yang tidak terkendali. Memahami bagaimana pornografi mempengaruhi otak dan merusak kejantanan laki-laki bisa membantu seseorang melakukan pilihan-pilihan dengan lebih baik—bukan dengan melibatkan diri dalam penilaian kolektif yang reaktif dan tidak ada artinya—dalam suatu dunia yang telah menjadi semakin ketagihan pornografi yang eksplisit.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/13/ArticleHtmls/Pornografi-Ketagihan-dan-Impotensi-13072011011011.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: