BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengubur Mimpi ke FAO

Mengubur Mimpi ke FAO

Written By gusdurian on Kamis, 14 Juli 2011 | 11.00

Mengubur Mimpi ke FAO Geradi Yudhistira, PENELITI PADA ALIANSI UNTUK DESA SEJAHTERA


Dengan pencapaian seperti yang diuraikan di atas, maka agak mengherankan jika pemerintah merasa percaya diri untuk mengajukan calonnya menjadi Dirjen FAO. Padahal calon-calon dari negara lain memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan kelaparan di negaranya.
Kekalahan wakil dari Indonesia, Dr Indroyono Susilo, dalam pu taran pertama pemilihan Di rektur Jenderal Organisasi Pa ngan Dunia (FAO) (27 Juni 2011) menyisakan pelajaran penting.
Pertanyaan saat ini: apakah Indonesia memang pantas menduduki jabatan bergengsi tersebut?
Jangan ditanya prestasi pemerintah Indonesia dalam penanganan masalah pangan di negeri ini, karena jawabannya pasti akan mengecewakan. Bagaimana tidak, masalah pangan masih menjadi masalah utama yang diperbincangkan di ruang-ruang publik selama lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka. Angkaangka indikator buruknya ketahanan pangan di negeri ini masih sangat fantastis. Mengutip Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan, 36 juta jiwa atau 18 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia masih rawan pangan. Penduduk pada golongan tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan 1.800 kilokalori per kapita setiap harinya, atau kekurangan sekitar 700 kilokalori dari jumlah kalori ideal per kapita.

Selain itu, diperkirakan sebanyak 5,11 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini berada pada kondisi sangat rawan pangan. Bahkan, dari jumlah itu, 3,81 juta jiwa di antaranya adalah anak balita yang menderita kekurangan gizi dan gizi buruk. Jika dihitung dengan indikator pendapatan bulanan, jumlah orang yang rawan pangan akibat hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada 2010 sebanyak 31 juta jiwa dengan pengeluaran per bulan di bawah atau sama dengan Rp 211.726.

Pada aspek kebijakan, hal yang diambil oleh pemerintah selama 5 tahun ini juga sangat mengancam keamanan dan kedaulatan pangan negeri ini dengan membuka keran impor secara massif.
Angka impor Indonesia melonjak tinggi dan semakin tak terkendali bahkan untuk komoditas yang seharusnya menjadi keunggulan Indonesia. Pada komoditas laut, yang seharusnya menjadi komoditas unggulan kita, volume impor melonjak tajam. Impor ikan meningkat 774 persen dari 2005 hingga 2010. Pada periode yang sama, volume impor garam meningkat 65 persen. Setali tiga uang dengan ikan dan garam, volume impor daging juga meningkat 106 persen. Pada komoditas buah-buahan, volume impor juga mencatatkan angka mencengangkan setelah masuknya Indonesia dalam rezim ASEAN-China Free Trade Agreement. Selama kurun waktu 2008 hingga 2010, volume impor pisang Indonesia melonjak hingga tak tanggung-tanggung, 92.567 persen dari angka hanya 3 ton pada 2008 menjadi 2.780 ton pada 2010. impor buah-buahan lain, seperti pepaya, juga meningkat sebesar 255 persen dan manggis sebesar 550 persen.
Minim prestasi Dengan pencapaian seperti yang diuraikan di atas, agak mengherankan jika pemerintah merasa percaya diri untuk mengajukan calonnya menjadi Dir jen FAO. Padahal calon-calon dari negara lainnya memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan kelaparan di negaranya. Sebut saja pesaing Dr Indroyono, Menteri Keamanan Pangan Brasil, yang menjadi Sekjen FAO terpilih periode 2012-2015. Brasil memiliki prestasi baik dalam pemberantasan kelaparan. Angka masyarakat kekurangan gizi di Brasil turun drastis dari 17,9 persen dari total populasi pada 1996 menjadi 6,6 persen pada 2005. Melalui program Fome Zero (Nol Kelaparan), pemerintah Brasil menunjukkan bahwa kelaparan bisa diatasi melalui pemberdayaan kekuatan masyarakat lokal.

Hal yang sama tidak terjadi di Indonesia. Alih-alih memperkuat kedaulatan pangan di tingkat lokal, pemerintah malah terjebak dalam jerat perusahaan multinasional untuk mengatasi kelaparan melalui MoU yang dibuat dengan 14 perusahaan benih raksasa dunia dalam World Economic Forum on East Asia 2011. Petani kita nantinya hanya akan menjadi konsumen dan pegawai perusahaan raksasa tersebut. Dalam jangka panjang, Indonesia harus siap untuk didikte oleh kepentingan perusahaan tersebut.
Jika dilihat dari prestasi, Indonesia jelas bukanlah siapa-siapa dalam mengatasi masalah pangan. Masyarakat berharap visi Indonesia sebagai dapur pangan dunia harus dimiliki oleh para pemimpin kita agar kebijakan menjadi terarah. Saya rasa rakyat Indonesia harus bersyukur atas mundurnya Dr Indroyono dari Sekjen FAO, karena waktu beliau akan lebih banyak untuk menyelesaikan masalah di negara ini. Masih banyak yang harus dibenahi oleh putra terbaik bangsa seperti Dr Indroyono ini di dalam negeri ketimbang hanya mencari peran di dunia internasional. Barangkali masalahnya kita sudah terjebak dalam teladan pemimpin bangsa ini, yang begitu bangga akan pencapaian di luar negeri namun lupa kepada konstituennya di dalam negeri.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/13/ArticleHtmls/Mengubur-Mimpi-ke-FAO-13072011012009.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: