BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Banalitas Kejahatan Politik

Banalitas Kejahatan Politik

Written By gusdurian on Kamis, 14 Juli 2011 | 10.56

Agus Sudibyo MAHASISWA MAGISTER FILSAFAT STF DRIYARKARA, JAKARTA

Inilah yang kurang-lebih didedahkan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (the banality of evil), suatu kondisi di mana kejahatan terja- di pada skala massif, dipraktek- kan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.
ejahatan bukan karena adanya orang-orang berhati jahat, melainkan karena hilangnya kemampuan mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat sistemik, membudaya, dan mengakar sebagai perilaku kolektif. Kejahatan bukan hanya masalah moralitas, tetapi juga masalah absennya kemampuan berpikir rasional, kritis, dan berlandaskan hati-nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak. Maka, kejahatan itu jauh lebih dramatis dan vulgar ketika dilakukan orang-orang yang tidak sadar telah bertindak jahat dan merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di lingkungannya. Inilah yang kurang-lebih didedahkan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (the banality of evil), suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala massif, dipraktekkan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.

Bicara tentang skandal korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tiada henti menghantam sendi-sendi kehidupan bernegara kita, tak pelak kita juga bicara tentang banalitas kejahatan. Berbagai pihak melakukan atau menyaksikannya sebagai sesuatu yang niscaya terjadi, dengan rasa sesal atau marah yang semakin memudar.

Unsur pemerintahan tak lagi merasa risi ketika melakukan pungutan liar, menilap uang rakyat, atau menyalahgunakan jabatan. Mereka justru merasa asing jika tidak melakukannya karena hampir semua orang di sekitar melakukannya. Para pemimpin politik juga semakin tak ragu-ragu menunjukkan dirinya sebagai—meminjam istilah Max Weber—orang-orang yang hidup dari politik, dan bukan orang-orang yang hidup untuk politik. Term dana-politik begitu identik dengan praktek percaloan anggaran, penguasaan atas proyek-proyek pemerintah, jual-beli pasal perundang-undangan guna melindungi kepentingan pengusaha yang menjadi donatur partai, dan lain-lain.

Namun mati rasa terhadap kejahatan politik juga terjadi dalam masyarakat. Unsur masyarakat sipil atau intelektual yang berperan sebagai konsultan atau peneliti politik, misalnya, belakangan juga banyak yang kurang memperhatikan problem akuntabilitas. Sebagian dari mereka tampaknya bertolak dari sebuah “profesionalisme”: melayani siapa pun klien yang berpotensi memenangi pemilu-pilkada, tanpa memeriksa sungguh-sungguh apakah dana yang digunakan para klien tersebut benarbenar bersih dari unsur korupsi, kolusi, money laundering, atau sebaliknya. Media
massa juga banyak yang mempunyai kecenderungan yang sama, tidak secara spartan memperhatikan akuntabilitas dana untuk iklan politik, khususnya pada saat-saat pemilu, pilkada, atau proses pemilihan ketua partai politik.

Pendek kata, kita seperti mati rasa terhadap kejahatan politik. Kita menghadapi situasi di mana semakin banyak pihak bersifat pragmatis, hanya peduli terhadap korupsi yang melibatkan orang lain dan menutup mata terhadap korupsi yang terjadi di sekelilingnya. Di tingkat akar rumput, pungutan liar yang terus terjadi, buruknya pelayanan publik, serta lemahnya
perlindungan terhadap usaha kecil, petani, nelayan, dan buruh industri, membuat masyarakat semakin apatis terhadap politik dan menerima keadaan begitu saja. Dalam keputusasaan, masyarakat tak lagi melihat kejahatan politik (suap, pungli, korupsi, nepotisme, dan lain-lain) sebagai sesuatu yang harus diperangi, melainkan sebagai kewajaran yang harus diterima, sebagai privilege bagi mereka yang kebetulan sedang memegang kekuasaan pada semua lini dan level pemerintahan.

Kondisi inilah yang disebut Arendt sebagai the desert world. Suatu tatanan di mana hampir semua unsurnya tak lagi mampu meratapi dan melawan penyelewengan dan kejahatan terhadap esensi politik: pengabdian, pelayanan, pembebasan, dan kejujuran. Pupus sudah rasa bersalah, terusik, atau marah menghadapi korupsi, suap, dan penyelewengan, digantikan oleh rasio instrumentalistik: yang penting bukan saya yang melakukan, tidak merugikan saya, atau jangan-jangan saya dapat mengambil keuntungan darinya.

Bagaimana keluar dari banalitas kejahatan politik ini? Sulit membayangkannya. Namun, apa boleh buat, kita tetap harus mencobanya.

Kunci utamanya pada ketegasan hukum dalam menindak pelaku kejahatan politik.

Tantangannya, mengutip Goerg Simmel,
ketika keja hatan dilaku kan secara kelompok, sulit menentukan siapa yang ber tanggung jawab. Konfidensi timbal balik dan kerahasiaan kolektif memungkinkan suatu kelompok mengikat anggotanya untuk saling menutupi kesalahan. Maka, sulit berharap politikus atau pejabat publik mengungkapkan skandal di sekitarnya karena terikat untuk menjaga kerahasiaan kolektif. Berani mengungkap kerahasiaan, salah-salah diganjar dengan pemecatan, recall, atau dikorbankan sendirian seperti yang tampaknya hari-hari ini dialami M. Nazaruddin dalam skandal pembangunan wisma atlet SEA Games. Kemungkinan ini yang harus diwaspadai. Selain itu, masyarakat harus mulai berani berkata “tidak“terhadap penyelewengan atas hakikat politik. Hakikat politik adalah solidaritas politis antarwarga negara, penyelesaian masalah bersama secara rasional, adil, diskursif, nir-pemaksaan.
Esensi manusia politik adalah kemampuan untuk bersikap kritis terhadap keadaan, mempertimbangkan hati nurani, dan menomorduakan kepentingan diri ketika menjalankan fungsi-fungsi publik. Kita sedang menghadapi krisis akut pada tataran ini. Politik semakin lekat dengan penguasaan dan manipulasi. Politik semakin jamak diselubungi motif privat: memperkaya diri dan membangun popularitas pribadi. Para politikus dan pejabat publik tak pernah otentik sebagai manusia politik karena selalu memposisikan diri sebagai instrumen dari suatu sistem, tak peduli apakah sistem itu bersih, legitimate, atau sebaliknya. Untuk keluar dari krisis ini, tidak realistis jika mengharapkan keteladanan dari pemimpin politik, karena penyelewengan hakikat politik notabene justru bersumber dari egoisme, ketamakan, dan ambisi privat mereka. Perubahan harus dimulai dengan mengubah persepsi masyarakat sendiri. Masyarakat harus diingatkan, politik bukan sekadar pemungutan suara lima tahun sekali, tetapi juga bagaimana hasil pemungutan suara itu dikontrol sehingga benar-benar bermanfaat bagi pemegang hak suara.
Korupsi, kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, eksploitasi sumber-sumber daya alam yang sangat tidak adil, terjadi karena masyarakat hanya berdiam diri, hanya menyerahkan mandat--dan tidak pernah benar-benar memeriksanya--ke tangan orang-orang yang ternyata terjun ke politik lebih karena motif-motif privat.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/14/ArticleHtmls/Banalitas-Kejahatan-Politik-14072011011009.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: