BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Terorisme, Densus 88, dan Akuntabilitas Polri

Terorisme, Densus 88, dan Akuntabilitas Polri

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.31

Novel Ali Dosen Fisip Undip dan anggota Kompolnas

Bagaimanapun kuatnya pengakuan kita terhadap Densus 88, terduga teroris benar-benar telah/ sedang/akan melakukan perbuatan/tindakan antikemanusiaan yang sangat keras, sekaligus sangat jahat dan kejam."

B ERBAGAI studi meng urai akar terorisme adalah keyakinan ideologi, yang mencuat ke atas permukaan dalam ranah sosiologis-politis. Dari aspek ideologi, kita melihat betapa kuatnya terorisme bermuara dari paradigma teologis yang menetes dalam ekspresi keagamaan. Keyakinan itu membentuk pemahaman teks tertentu sebagai legitimasi aksi kekerasan dalam bentuk teror.
Atas nama `Tuhan', kelompok manusia tertentu, yang tidak mewakili agama tertentu (apa pun agama itu), melakukan tindakan terorisme yang bergerak pada ruang ideologi subjektif. Mereka cenderung bersikap tertutup dalam pilihan tafsir keagamaannya, di samping antidialog dan antikritik.

Itu sebabnya mengapa pelaku terorisme umumnya merupakan kelompok yang kebal kritik, sulit atau bahkan mustahil diajak berdialog, dan kuat mempertahankan pilihan tafsir keagamaan secara sepihak. Di samping itu, pada umumnya, mereka cenderung mengafirkan pihak lain yang tidak berkeyakinan dan bergagasan sama, sebagaimana mereka. Ciri dan proses penguatan kelompok mereka ditandai dengan kekuatan ekstra yang berkaitan dengan penyempitan makna universalitas kemanusiaan.

Penyempitan makna itu berdampak kepada perwujudan relasi yang asimetris antara kelompok teroris dan dunia luar mereka. Akibatnya, terorisme hampir selalu dikaitkan dengan refl eksi radikalisme dan fundamentalisme, sebagaimana ciri terorisme. Sementara terorisme itu sendiri adalah pergerakan antiketidakadilan dunia, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan kepada ‘dunia penguasa’, yang dinilai tidak sejalan dengan kehendak teroris.

Selama akar permasalahan itu tidak tercabut, ancaman terorisme dapat bersifat permanen, baik dalam skala global, teritorial, nasional, maupun lokal. Di situlah kesulitan utama penghapusan terorisme disebabkan subjektivitas ideologis, pola pikir, dan perilaku tertutup. Dengan begitu, seluruh ideologi, keyakinan, gagasan, dan norma apa pun, selama tidak terdapat kesesuaian dengan apa yang dianut kelompok yang dimaksud, dianggap sebagai sesuatu yang mutlak salah.

bersikap ekstra hati-hati dalam menyikapi terorisme.
Meskipun pemerintah kita tetap perlu bersikap tegas dalam memerangi terorisme, sikap antiterorisme pemerintah Republik Indonesia itu hendaknya tidak terjebak oleh polarisasi deduksi, yang meng analogikan terorisme dengan agama tertentu. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, pemerintah Indonesia dituntut untuk benar-benar mampu menjaga perasaan mayoritas penduduknya.

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri merupakan organ negara yang bertugas memerangi terorisme. Sudah banyak prestasi Densus 88 dalam mencegah dan menindak terorisme di negara kita, kendati keberhasilan tersebut menyisakan tudingan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Terakhir, masyarakat luas memperoleh informasi tentang niat Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mencari fakta di lapangan, terkait dengan tewasnya Nur Iman, pedagang warung hik atau angkringan, saat penyergapan tersangka

teroris di Sukoharjo (14/5).
Komnas HAM menduga telah terjadi salah tembak dalam peristiwa tersebut.

Bahkan, Komnas HAM akan meminta Kapolri untuk mempertanggungjawabkan anggotanya yang terlibat dalam kasus itu. Komnas HAM menilai pergerakan para teroris

sudah diamati polisi. Karena itu, polisi seharusnya dapat mengurangi dampak penggerebekan terduga teroris, yang mungkin berimbas pada masyarakat .
Tewasnya terduga teroris dalam berbagai tindakan Densus 88 melawan terorisme di ne geri ini sangat sulit dihindari, terutama akibat perlawanan bersenjata dari kelompok terduga teroris itu. Fakta tersebut secara umum tidak mendorong maraknya opini publik yang buruk terhadap Densus 88, khususnya, dan Polri, pada umumnya. Sebab, hal itu dianggap wajar oleh masyarakat.

Kendati demikian, kritik keras dari masyarakat atas kekasaran atau kekerasan tindakan anggota Densus 88 selalu muncul, baik terhadap terduga teroris (hidup), maupun jasad terduga teroris (mati).

Guna mencegah opini publik yang negatif, Densus 88 perlu benar-benar mematuhi seluruh protap (prosedur tetap) dalam setiap tindakan, sesuai dengan tugas dan kewenangan normatif mereka. Landasan standar operasional prosedur Densus 88 ini mutlak dibutuhkan untuk mencegah kesan Densus 88 sebagai lembaga superbody, sekaligus kebal hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut, seluruh kebijaksanaan, sikap, serta tindakan lembaga dan anggota Densus 88 harus benar-benar profesional, proporsional, dan terukur.

Semua itu diperlukan bukan

hanya demi akuntabilitas Densus 88 itu sendiri, melainkan juga untuk akuntabilitas Polri secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, Densus 88 Antiteror Polri merupakan organ Polri, subordinasi Polri, dan subsistem Polri sehingga seluruh reputasi dan prestasi Densus 88 akan merefl eksikan reputasi dan prestasi Polri secara keseluruhan.
Dalam rangka membentuk akuntabilitas Densus 88, khususnya, dan akuntabilitas Polri, pada umumnya, penulis menyarankan beberapa hal berikut. Pertama, Densus 88 tidak boleh mengesampingkan harapan publik agar mereka (anggota Densus 88) tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Kedua, Densus 88 harus memprioritaskan tangkap hidup-hidup terhadap teroris, dalam rangka mengungkap jaringan terorisme.

Ketiga, bila terjadi perlawanan dari terduga teroris, anggota Densus 88 harus tetap mengutamakan keselamatan jiwa dan raga mereka sendiri, tanpa harus terpancing untuk memuntahkan peluru panas ke arah tubuh terduga teroris. Sebab, dalam setiap serangan terhadap terorisme, seyogianya melumpuhkan lebih diprioritaskan ketimbang memusnahkan (membunuh).

Ini merupakan langkah ideal, tanpa harus menanggung risiko keselamatan anggota Densus 88 itu sendiri, secara keseluruhan.
Keempat, setiap personil Densus 88 harus benar-benar bisa menjamin kebijaksanaan, sikap, dan tindakan mereka agar tetap berada dalam bingkai koridor hukum, di samping sama sekali tidak boleh keluar dari jalur hukum. Itu sekaligus akan dipertanggungjawabkan secara scientifi c crime identifi cation (SCI), yang diakui dunia internasional. Berlandaskan jalur hukum dan SCI, metode dan teknik perlawanan terhadap pelaku terorisme di Indonesia oleh Densus 88 itu diharapkan tidak cuma dapat diuji dari aspek regulasi normatif, tetapi juga dari aspek kebenaran material, secara ilmiah.

Kelima, setiap tindakan anggota Densus 88 harus benar-benar jauh dari kesan tidak profesional, brutal, ceroboh, dan mengabaikan hak-hak sipil. Di samping itu, mereka pun tidak boleh mengesankan extrajudicial killing. Bagaimanapun kuatnya pengakuan kita terhadap Densus 88, terduga teroris benar-benar telah/sedang/ akan melakukan perbuatan/ tindakan antikemanusiaan yang sangat keras, sekaligus sangat jahat dan kejam.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/26/ArticleHtmls/26_05_2011_015_038.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: