M Bashori Muchsin :
Refleksi Isra Mikraj Negeri tanpa Cahaya Langit M Bashori Muchsin Guru Besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang dan penulis buku Pendidikan Islam Kontemporer
`S EMUAagama, dalam tahapan-tahapan se jarah yang berbeda, telah berfungsi sebagai katalisator transformasi sosial, bahkan revolusi sosial maupun politik.' Demikian pernyataan S Wesley Ariarajah dalam buku Tak Mungkin tanpa Sesamaku (2008).
Pernyataan itu sebagai catatan penting pada masyarakat, khususnya pengkaji atau `pengaji' doktrin keberagamaan, bahwa salah satu fungsi agama ialah mendorong terjadinya perubahan. Perubahan tidak hanya dalam wilayah terbatas keluarga dan kelompok, tetapi juga dalam spektrum makrokemanusiaan dan kemasyarakatan.
Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW saat didampingi malaikat Jibril dalam perjalanan menghadap Allah (dalam peristiwa Isra Mikraj), sedang mengemban misi sakral keagamaan yang bersubstansikan transformasi terhadap realitas pergulatan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang konstruksinya sarat penyakit. Rasul dibekali oleh Allah berbagai bentuk peristiwa keagamaan yang notabene sebagai amunisi cahaya langit.
Pun memang, berdasarkan realitas historisnya, Nabi Muhammad membutuhkan cahaya `kerajaan langit' untuk menghidupkan kembali cahaya moral-teologis yang mengalami degradasi atau kematian di tengah masyarakatnya (bangsa Arab). Wilayah kerja keilahiahan atau spiritualitasnya menghadapi tantangan atau `komplikasi penyakit' yang tidak ringan, karena konstruksi kenegaraan, kemasyarakatan, budaya, dan politiknya, khususnya kalangan elitenya, terseret dalam kultur disnormativitas dan berbagai bentuk pembusukan nilai-nilai (values decay).
Ketersingkiran atau kematian cahaya langit di tengah masyarakat (Arab) itulah yang dimaksudkan Allah SWT sebagai `proyek kenabian' untuk dikembalikan sebagai modal merekonstruksi negeri dan peradaban manusia yang sarat penyakit dan berada di tepian kehancuran totalnya supaya bisa menemukan titian kebenaran dan pencerahan.
Profil masyarakat atau bangsa yang kehilangan cahaya `kerajaan langit' dan terhegemoni komplikasi kriminalisasi itu merupakan representasi dari wajah manusia yang lebih tergiur dan hegemonis dalam menuhankan, menasbihkan, atau `memahatinggikan' kepentingan eksklusif, materialistik, egoisme, dan hedonistisnya, daripada menasbihkan kepentingan transendental keilahiahan dan kemanusiaan.
Filsuf kenamaan F Nietszhe pernah bilang bahwa “God is dead,“ atau Tuhan telah mati.
Ungkapan demikian bukan disebabkan filsuf ini telah `murtad' atau jadi ateis, melainkan ia melakukan `gerilya moralspiritual' yang bermodus menggugat kondisi masyarakat yang sedang terlena dalam perilaku dan budaya bermodel antimoral, antinorma, dan antiagama.
Masyarakat yang dijadikan gugatan Nietszhe itu memang masih menyebut stigma beragama secara formal, tapi dalam kenyataannya (das sein), seolah telah ada kebulatan atau kebersamaan untuk menyelingkuhi, melawan, dan `membusukkan' agama, beramai-ramai korup, menelanjangi, dan menanggalkan (meminggirkan) norma agama. Mereka menikmati penyakit kebinatangan atau animalisme kultur dan kekuasaan yang diperlakukan sebagai `anggur' kehidupan mereka. Masyarakat yang dig gat filsuf itu merupakan cermin masyarakat yang sejatinya terbius dan terhegemoni oleh pesona duniawi, tarikan kenik matan hedonisme, atau terseret dalam arus kehidupan serbamaterialistis dan permisivistis, mem misivistis, memberhalakan kesenangan dan perubah an gaya hidup, yang kesemuanya itu dilakukan dengan cara memagari dan mengeliminasi peran sakral agama dalam kehidupannya. kehidupannya.
Bagi masyarakat itu, agama tidak lebih dari penghalang dan bahkan pecundang, yang dianggap hanya bisa melarang dan memerintahkan, tanpa memberikan kebebasan atau liberalitas kehidupan. Agama dianggap sudah sampai ke ranah kedaluwarsa, sehingga tidak sepantasnya dijadikan kiblat kehidupan manusia atau anak-anak yang sudah masuk dalam lingkaran `jagat gaul' yang dibu FREDY dayakannya.
Filsuf itu bermaksud mengkritik jalan salah yang ditempuh masyarakat agar kembali `menghidupkan' Tuhan di dalam diri, dalam berinteraksi, bernegosiasi, dan mengonstruksi kehidupan makronya. Tuhan adalah sandaran tunggal yang menjadi garansi yang membuat keberlanjutan kehidupan tetap terjaga atau sejarah peradaban manusia tetap ber jalan normal dan sakral. Masyarakat atau elemen negeri ini sekarang p u n layak dikritik dengan m e n g gunakan ungkapan filsuf itu. Pasalnya, realitas bopengnya menunjuk kan pembenaran kalau `negeri ini kehilang an cahaya langit'.
Stigma sebagai the biggest moslem community in the world, atau munity in the world, atau masyarakat muslim terbesar di muka bumi, hanyalah sebutan di atas kertas atau menjusti fikasi simbol kebesaran formalistik, sedangkan dalam realitas empiriknya, elemen negeri ini sedang terseret larut dalam pesona budaya, gaya berpolitik, gaya berkuasa, `gaya beragama', atau pergeseran gaya hidup yang semakin menjauh dan mendesakralisasi `cahaya langit'.
Kasus yang paling gampang ditangkap ialah pemberitaan berbagai bentuk pembusukan nilai-nilai n moral seperti kejujuran, j kesantunan, kesusilaan, dan kebenaran yang dilakukan komunitas terdidik atau berkedudukan mapan di negeri ini. Mereka sebenarnya sudah paham dan bahkan didaulat negara sebagai pilar dan teladan dalam gerakan pembumian kebenaran. Namun kenyataannya, mereka justru yang terlibat menjadi produsen dan pelestari praktik-praktik pembusukan nilai-nilai agung.
Masyarakat dibuat terbengong, terdiam, dan mati kutu, atau setidaknya kurang berminat melancarkan protes, bahkan ikut larut dalam canda dan tawa serta kepuasan psikologis, yang terkesan `mengamini' pembenaran sepak terjang atau gaya hidup manusia yang jelas-jelas hanya menyuguhkan dalam kemasan atau bahkan mengomoditaskan cahaya `kerajaan langit', sedangkan dalam kesehariannya disibukkan menjadi oportunis hedonisme, materialisme, dan pola-pola permisivisme lainnya, yang seolah tak kenal titik nadir.
Beberapa sikap dan perilaku yang menjauhi cahaya `kerajaan langit', misalnya prinsip `jujur tak lagi diperlukan, jujur membuat hidup tak mujur, sok jujur', serta gaya berperilaku zalim, mungkar, atau kontramoral-kemanusiaan, dan mengamputasi amanah kekuasaan (yudikatif, legislatif, eksekutif), sedang menjadi hiasan sehari-hari yang dari waktu ke waktu cenderung semakin mengultur dan bahkan menjadi opsi yang dikultuskan.
Pakar hukum Islam Yusuf Alqaradhawi mengingatkan, “Sesungguhnya kemenangan (kejayaan) itu tidak datang dengan tiba-tiba dan tidak turun dengan serta-merta dan mendadak. Dia memiliki aturanaturan (sunatullah) yang Allah SWT paparkan dalam Alquran agar hamba-hamba-Nya yang beriman mengetahuinya dan bisa berinteraksi dengan cara yang benar.'' Interaksi yang baik dengan sunatullah ini akan memunculkan keunggulan komparatif manusia, baik sebagai individu maupun umat (QS Ali-Imran [3]: 110), yang potensial `memekarkan' dan menyuburkan aroma kejayaan dan keharuman dalam hidup yang dijalaninya.
Dus, kalau masyarakat atau negeri ini dicita-citakan menjadi `negeri sakinah' (damai dan mendamaikan untuk rakyat), tentulah syarat moral-spiritual wajib dijadikan oleh setiap elemen masyarakat, khususnya elite pemimpinnya, sebagai panduan penyejarahannya.
Syarat ini terdeskripsi historis dalam perjalanan spiritualitas Nabi Muhammad untuk memperoleh cahaya `kerajaan langit', di antaranya pembumian salat lima waktu dan berbagai peristiwa kenabiannya, yang bersubstansi penyelamatan dan pengembalian derajat kemanusiaannya.
Kalau pesan kesejarahan tersebut dikiblati atau `dihidupkannya' sebagai `cahaya langit' di negeri ini dalam ranah kedaulatan kebertuhanan, bangsa Indonesia selain menemukan jalur yang benar, juga akan banyak menyuratkan kebahagiaan, kedamaian, dan kejayaan.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/28/ArticleHtmls/Refleksi-Isra-Mikraj-Negeri-tanpa-Cahaya-Langit-28062011027003.shtml?Mode=1
Refleksi Isra Mikraj Negeri tanpa Cahaya Langit
Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 00.36
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar