BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Koreksi atas Pendidikan Kewarganegaraan Kita

Koreksi atas Pendidikan Kewarganegaraan Kita

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.44

Koreksi atas Pendidikan Kewarganegaraan Kita
J. Sumardianta GURU SMA KOLESE DE BRITTO, YOGYAKARTA

Pendidikan kewarganegaraan telah menimbulkan sikap sinis dan antipati terhadap lemba- ga-lembaga politik kenegaraan dan cara masyarakat dipim- pin. Pelajaran itu tidak mem- beri petunjuk realistis tentang cara bertindak di wilayah pub- lik. Pedagogi hitam ini kontra- produktif.

Wacana perubahan kurikulum pendidikan nasional sedang mengemuka. Kurikulum harus segera diubah dengan memasukkan kembali materi ajar nilai-nilai Pancasila, seperti kerukunan, musyawarah, dan gotong-royong. Perubahan bukan hanya pada tataran materi, tapi juga hingga metodologi pengajaran yang lebih mengedepankan edukasi ketimbang indoktrinasi. Materinya harus lebih mudah dicerna dan aplikatif. Menempatkan pendidikan Pancasila sebagai bagian pendidikan kewarganegaraan merupakan bentuk pengerdilan Pancasila.
Mengapa sosialisasi nilai-nilai Pancasila sangat mendesak? Pendidikan kewarganegaraan (PKn) yang difasilitasi negara telah merosot sekadar pelatihan menjadi bodoh (stupidifikasi). Mata pelajaran wajib dari kelas I sekolah dasar (tahun pertama) sampai kelas III sekolah menengah atas (tahun ke-12) bersifat mengulang, menjemukan, dan sering tumpang-tindih dengan pelajaran sejarah.

Sejak tahun pertama hingga tahun ke12, PKn menjadi ajang indoktrinasi politik yang diulang-ulang secara sistematis yang bermuara pada ambisi ideologi nasional— ideologi yang secara keblinger gandrung keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Konsepsi ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan seakan beres bila sudah dihafalkan.

Mencari makna kebenaran dari konsep itu dalam kehidupan nyata sehari-hari hanya akan membuat para siswa dan guru nervous, frustrasi, dan sakit hati. Bunuh diri merajalela di kalangan siswa karena diteror kemiskinan. Sementara itu, koloni kaum kaya dari kalangan koruptor mengapung di tengah samudra keserakahan dan ketidakpedulian. Rasa bosan dan jemu hanya bisa dilupakan setelah para siswa menamatkan pendidikan. PKn jadi tampak konyol dari perspektif pedagogi.

Para siswa disuguhi fakta yang diulangulang yang ditempatkan dalam kerangka ideologi yang juga bersifat tautologis. Sama sekali tidak ada konfrontasi dengan kehidupan nyata yang setiap hari dialami para siswa. Individualisme, materialisme, dan konsumerisme, misalnya, sebagai ekses dari kemakmuran ekonomi yang menim

bulkan konflik dan disintegrasi sosial sama sekali diabaikan. Tak mengherankan bila pelajaran PKn malah memadamkan selera belajar siswa. Penyajian buku yang tawar ikut berjasa membunuh rasa ingin tahu (kuriositas) siswa.
Keutamaan PKn, yang masuk rumpun bidang studi ilmu sosial, seperti dayanya untuk menjelaskan dan potensinya untuk membiasakan generasi muda berpikir reflektif, ditindas proyek legitimasi negara.
Proyek ideologis itu tidak memberikan apa pun sebagai acuan beridentifikasi.Tak mengherankan bila generasi muda di kotakota besar Indonesia lalu mengidentifikasi diri dengan budaya massa dengan segala eksesnya: mal, kafe, narkoba, teknologi digital, dan seks liar. Pendeknya permisif, banal, ganas, dangkal, serba bebas, dan serba boleh.

Dua belas tahun siswa disuguhi slogan negara yang menyanjung-nyanjung diri sendiri dan secara abadi memperlakukan warga sebagai penduduk yang tidak becus hingga senantiasa perlu digiring. Kesan yang muncul, pelajaran PKn (Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006) adalah propaganda. Setali tiga uang pelajaran pendahulunya, PMP (Kurikulum 1984) dan PPKn (Kurikulum 1994), apa yang diajarkan tidak pernah dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Menurut antropolog Niels Mulder (2000), setiap tindakan pedagogis yang bertujuan memproduksi kebudayaan dapat disebut sebagai kekerasan simbolik yang sah. Kekerasan itu timbul dari relasi kuasa yang tersembunyi dalam tindakan pedagogis.
Pedagogi yang berlumuran kepentingan ideologi jelas tidak mengajari para siswa bernalar. Siswa terbelenggu rasa bosan dan geli karena inkonsistensi pelajaran dengan realitas, argumen yang aneh, pemakaian bahasa yang tidak tepat, dan mengulang-ulang omong kosong. Bangsa Indonesia adalah bangsa Pancasilais, tapi mengapa ringan senjata dan terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah? Elite politik Indonesia sangat fasih berpidato tentang pemerintahan bersih, tapi mengapa pada saat yang sama tak punya urat malu menjadi parasit negara sebagai koruptor?
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menyantuni harmoni sebagai esensi nilainilai ketimuran, kendati demikian meng apa mereka gampang beringas dan brutal semata-mata demi kepuasan amuk massa?
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi persatuan, tapi mengapa etnis Tionghoa dan jemaah Ahmadiyah tak putus dirundung pengejaran dan penganiayaan bila Indonesia sedang didera krisis? Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berperikemanusiaan, tapi mengapa orang miskin perkotaan dan pedagang pasar tradisional rawan penggusuran dan pembumihangusan? Para siswa tahu inkonsistensi telanjang itu karena mereka melek surat kabar, televisi, media online, dan situs jejaring sosial.

Pedagogi seperti ini melecehkan kecerdasan dan kewarasan para siswa. Pelajaran PKn menjadi sia-sia, pemborosan ranah publik, tidak mengindahkan logika, dan sama sekali tidak melatih kemampuan berpikir analitik. PKn telah menimbulkan sikap sinis dan antipati terhadap lembagalembaga politik kenegaraan dan cara masyarakat dipimpin. Pelajaran itu tidak memberi petunjuk realistis tentang cara bertindak di wilayah publik. Pedagogi hitam ini kontraproduktif.

Memasukkan kembali kebajikan (virtue) dan nilai (value) Pancasila dalam pengajaran harus dipersiapkan dengan cermat dan matang. Pancasila, harus diakui, telah lama terbengkalai bagaikan kitab tua: dibuang sayang, dibaca jarang. Generasi muda zaman sekarang disebut digeraty (anak kandung zaman digital). Sedangkan generasi sebelumnya yang diasuh Pancasila termasuk kategori dharmaty (pendatang baru dunia digital).

Ketidakmampuan menjembatani kesenjangan digeraty yang cenderung berpikir artifisial dengan dharmaty yang berpikiran substansial bisa melahirkan lingkaran setan baru stupidifikasi. Sekolah terus diperlakukan layaknya keranjang sampah kurikulum guna mengatasi persoalan-persoalan akut negara kebangsaan--padahal sekolah bukan solusinya. Stupidifikasi harus diubah menjadi gratifikasi--perasaan total dan larut dalam kegiatan belajar karena siswa terpenuhi kebutuhan eksistensi dan aktualisasinya. Gratifikasi, lebih-lebih di ranah pendidikan, hanya bisa diwujudkan bila guru bisa menjauhkan murid dari pembodohan.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/05/24/ArticleHtmls/24_05_2011_011_011.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: