Oleh ANTON SANJOYO
Didirikan dengan niat suci sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia kini berubah menjadi alat pemecah belah. Sulit membayangkan perasaan founding father, almarhum Soeratin, jika menyaksikan betapa organisasi yang begitu dicintainya kini berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan, ladang persemaian bibit kebencian, dan kolam perpolitikan.
Seorang sahabat, petinggi PSSI yang sudah puluhan tahun berada di lingkaran dalam organisasi itu, menggambarkan kegalauan hatinya. ”Saya akan berhenti mengurus sepak bola karena sepak bola sekarang tidak lagi menciptakan persahabatan. Sepak bola sekarang memicu permusuhan,” ujarnya dengan suara bergetar.
Saya 1.000 persen paham akan perasaan sahabat tersebut. Dalam dua bulan terakhir, sepak bola kita bukannya ingar-bingar oleh prestasi, melainkan hanya gaduh oleh perebutan kekuasaan, teriakan kebencian, dan intrik-intrik politik. Sepak bola yang sejatinya menjunjung nilai-nilai luhur sportivitas dan kejujuran telah berubah menjadi ajang luapan kemarahan dan kebohongan.
Para petinggi sepak bola kita bersilat lidah, coba berkelit-kelit dari segala macam masukan, mulai dari imbauan yang paling halus sampai dengan pekik amarah. Semua jurus andalan, terutama kelitan dan tangkisan, dikeluarkan untuk menghalau gelombang serangan. Para petinggi sepak bola tak kuasa lagi menyembunyikan segala keburukan yang praktis selama tiga tahun berusaha ditutup rapat dengan bungkus Statuta FIFA. Ibarat pepatah, ikan busuk, ditutup serapat apa pun, akan tercium baunya. Ini tergambar dari sikap Presiden FIFA Joseph S Blatter yang memerintahkan empat kandidat ketua umum PSSI periode 2011-2015 untuk dicoret dari pencalonan.
Blatter, yang mengetahui betapa banyaknya keburukan yang disimpan PSSI, juga tidak mengakui Statuta PSSI dan memerintahkan untuk menggunakan draf final Statuta FIFA versi bahasa Inggris. Meski secara lisan disampaikan, diyakini Blatter tak akan mengorbankan reputasinya dengan bicara tidak benar untuk kasus sepak bola di negara miskin prestasi seperti Indonesia. FIFA akan segera mengeluarkan surat terkait perintah Blatter tersebut.
Di sisi lain, banyak pihak juga coba memancing di air keruh dalam kisruh PSSI. Begitu banyaknya kepentingan yang terlibat membuat benang kusut persepakbolaan nasional makin sulit untuk diurai. Tak ada satu wacana pun yang mendorong sebuah rekonsiliasi dan bicara ke depan tentang bagaimana memecahkan problem ini serta masa depan sepak bola Indonesia. Para pihak yang beradu kekuatan hanya membicarakan figur-figur, mewacanakan individu tanpa ada kejelasan tentang konsep dan program yang ditawarkan bagi sepak bola kita.
Keadaan makin pelik karena partai politik melibatkan diri secara kasar, sangat tidak elegan dengan menyatakan dukungannya kepada calon, dan terpaku pada sebuah nama. Sungguh sebuah pemikiran sempit dan cenderung kerdil.
Pada situasi ini, saya teringat Azwar Anas, mantan Ketua Umum PSSI yang sukarela menyerahkan jabatannya setelah tim nasional Indonesia mempermalukan bangsa dengan sengaja kalah melawan Thailand di ajang Piala Tiger. Di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, di depan Aji Santoso dan kawan-kawan, Azwar bicara dengan suara parau. ”Sebagai bapak, saya sangat sedih dengan situasi ini. Namun, sebagai bapak pula, saya harus mengundurkan diri sebagai tanggung jawab moral,” ujar Azwar.
Sebagai negarawan, Azwar tahu persis kapan harus mundur. Meski gelombang kecaman tidak mengarah kepada dirinya, gol ”bunuh diri” yang dilakukan Mursyid Effendi sungguh memukul nuraninya yang halus. Keringnya prestasi Indonesia, kasus jual beli hasil pertandingan dan mafia wasit, ditambah skandal sepak bola gajah di Piala Tiger, membulatkan tekad Azwar untuk menyerahkan tampuk pimpinan PSSI kepada Agum Gumelar.
Mengacu kepada sikap Azwar, sepak bola Indonesia memang butuh figur negarawan yang lebih mementingkan kelangsungan organisasi ketimbang kemegahan diri. Sebagai seorang negarawan yang tidak pernah punya rekam jejak buruk, Azwar tak ingin organisasi PSSI menjadi bulan-bulanan dan dirinya justru menjadi beban organisasi. Ia mundur dengan jiwa besar.
Dibandingkan situasi Azwar pada 1999, situasi sekarang jauh lebih buruk. Sepak bola Indonesia tidak sekadar kering prestasi, tetapi juga kehilangan martabat. Ini tak lepas dari kesibukan para pengurus PSSI untuk mempertahankan kekuasaannya lewat patgulipat statuta. Sejak 2007, para petinggi PSSI hanya sibuk dengan urusan lobi dengan FIFA untuk mempertahankan kekuasaan dan benar-benar melupakan tugas utamanya membangun sepak bola. Para pengurus di daerah pun setali tiga uang. Praktis tidak ada kegiatan pembinaan yang mereka lakukan dan cuma riuh membela kekuasaan pusat demi keselamatan dirinya.
Cita-cita membawa sepak bola Indonesia ke arah industrialisasi dan profesional, seperti tergambarkan dalam Visi 2020, sekadar wacana tanpa aksi. Kompetisi strata tertinggi memang bergulir, tetapi tak pernah menghasilkan mutu sepak bola yang lebih baik ketimbang Laos atau Malaysia. Sepak bola Indonesia melangkah mundur ketika negara lain berlari cepat.
Maka, sepak bola Indonesia sungguh merindukan figur negarawan seperti Azwar. Indonesia butuh pemimpin PSSI yang sungguh mencintai sepak bola, bukan sekadar kemegahan dan gengsi personal. Sepak bola Indonesia mendambakan sosok dengan kredibilitas tinggi dan teruji kebersihan moralnya untuk menjadi panutan bagi jutaan anak muda yang gandrung pada olahraga rakyat ini.
Menuju era industrialisasi sepak bola, PSSI butuh sosok yang berpikiran jernih dan tahu persis arti kosakata ”profesional”. Sepak bola Indonesia sungguh tak membutuhkan figur-figur serigala berbulu domba yang tega mengorbankan organisasi demi kepentingan pribadi dan kelompok.
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/10/04563578/sepak.bola.butuh.negarawan
Sepak Bola Butuh Negarawan
Written By gusdurian on Minggu, 13 Maret 2011 | 03.21
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar