’Déjà vu’,adalah sebuah frasa bahasa Prancis dan artinya secara harfiah adalah ‘pernah lihat’ (Wikipedia).Hampir semua manusia pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang dirasakan sebenarnya pernah dialami jauh sebelumnya.
Mungkin perasaan itu yang saat ini sedang dirasakan Presiden SBY.Suatu peristiwa penting pemerintahan yang di era ini seperti terasa sering berulang ulang terjadi.Di mana untuk kesekian kalinya Presiden akan ‘mengganti’ para pembantunya. Presiden memerlukan pembantu yang profesional, yang berkualitas,yang mengerti apa yang harus dia kerjakan, yang objektif, yang mempunyai pengalaman cukup di bidang yang dia geluti dan yang pasti mau bekerja sesuai kebijaksanaan sang Presiden dan mau berbakti untuk republik ini. Teorinya, bukan pembantu yang tidak didengar reputasinya, tapi ditunjuk menjalankan amanah konstitusi hanya karena punya jasa ke partai dan dicalonkan secara membuta ke Presiden.
Posisi dan peranan menteri sangat vital.Mereka adalah para “pembantu presiden” yang terkait langsung dengan baikburuknya kinerja dan citra presiden. Terlebih di era presiden yang terpilih langsung seperti sekarang. Salah memilih figur menteri, jabatan presiden jadi taruhan.Terutama bila diingat, pemerintahan saat ini hanya mempunyai basis dukungan ‘vurnerable’ di Parlemen, persoalan kinerja di kabinet adalah segala-galanya bagi kelangsungan pemerintahan. Selama ini elite politik telanjur berpendapat bahwa jabatan menteri adalah jabatan politis pembantu presiden.Jika sebagai pembantu, yang penting ‘dekat’ dengan presiden dan ‘mengerti’ apa maunya presiden.
Di Era Presiden Soekarno dan Soeharto, posisi ini mempunyai peran sebagai ‘pelestari’ kekuasaan politik presiden. Menteri adalah ‘hulubalang’ perpanjangan tangan presiden. Lebih ekstrem, para menteri adalah pejabat tinggi negara yang memahami ‘batuk’-nya presiden, dalam arti yang sesungguhnya dan seluas- luasnya. Akibat persepsi bahwa menteri adalah jabatan politis, di era Presiden Soekarno dikenal “menteri-menteri Yes-Men!, menteri-menteri ABS (Asal Bapak Senang)”.Di era Pak Harto, dikenal “menteri-menteri yang selalu berkata – “menurut petunjuk Bapak Presiden”, walaupun kemudian ‘berkhianat’ berteriak “ABS=Asal Bukan Soeharto”,di era Gus Dur tenar menteri-menteri yang nasibnya “terlunta-lunta” bahkan “difitnah dan dipecat” oleh presidennya, sehingga untuk pertama kali – kesan menteri itu bukan “siapasiapa”, jabatan yang bisa tera n c a m setiap hari, sekehendak presiden.
Era Megawati, nasib menteri agaknya lebih ‘powerful’ ketimbangpresiden. Selainkarena ka-binetnya terbentuk secara gotong-royong, merupakan kabinet pelangi hasil kompromi, para menteri kabinet ini juga berjalan sendiri-sendiri,nyaris seperti tanpa komunikasi. Perilaku para menteri era Megawati, yang kadang berani tampil menonjol, memang didukung oleh kepribadian dan gaya Megawati yang cenderung pendiam, pasif, dan kurang akrab dengan media massa.Terakhir, media massa mempertontonkan ‘pembangkangan’ para menteri terhadap presidennya, yang akhirnya dimenangkan oleh figur yang lebih populer di media massa.
Di awal pemerintahan SBY, terkesan keras sekali, bahkan terbukti bahwa menteri diakronimkan sebagai suatu “jabatan murni politik”, menteri adalah jabatan yang menjadi jatah para pendukung kemenangan pemilu,menteri adalah jabatan yang perlu ditawarkan, dapat diminta dan berakhir dengan kompromi. Saat ini rakyat mendapat persepsi bahwa seorang menteri tidak perlu harus menguasai permasalahan detil mengenai lingkup kerjanya.Tugasnya hanya berfungsi menjadi koordinator, fasilitator, bahkan mediator yang berposisi mewakili pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kepentingan.Tapi di pihak lain dapat menjadi pengganjal karena mempunyai kepentingan lain di luar kebijaksanaan presiden.
Karena itu, jika Presiden ingin mengubah struktur kabinetnya, bisa dianggap aneh oleh rakyat jika tujuan reshuffle adalah bukan ‘memperkuat’ kinerja kabinet, dan hanyalah mengganti menteri karena urusan nonkinerja, politik misalnya. Perubahan atau restrukturisasi sewajarnya dilakukan untuk perbaikan dan sebagai hasil penilaian reward atau punishment terhadap si individu. Bukan karena hal sampingan yang tidak berhubungan dengan prestasi pekerjaan si i n d iv i d u pemegang amanah.
Profil Ideal
Bagaimana sebaiknya profil menteri kabinet yang paling ideal? Apakah paradigma “menteri adalah jabatan politis” akan tetap dipertahankan? Atau paradigma “menteri bukan jabatan politis” yang meniscayakan figur-figur profesional yang telah terbukti berkualifikasi, berkompetensi, dan berdedikasi tinggi saja yang pantas menduduki jabatan menteri tersebut? Atau mungkin figur populer yang dibutuhkan?
Banyak yang berpendapat bahwa bila mendasarkan pilihan para menteri atas dasar popularitas, vokalitas, dan asal partai, sepertinya pendekatan aspek kelanggengan kekuasaan menjadi terlihat lebih dominan. Prinsip mendahulukan kinerja para calon menteri berdasarkan asas profesionalitas dan kualitas sebagai figur atau tokoh yang selama ini handal dalam bidangnya masingmasing akan dikesampingkan. Sebenarnya banyak yang pantas jadi menteri,namun tidak terkenal, tidak banyak bicara ke media massa, tetapi kiprahnya dalam bidak peran dan keahliannya terbukti banyak berkontribusi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika Presiden ingin ’memperkuat’ kabinetnya, sepatutnya mempertimbangkan menteri dari birokrat karier profesional yakni para tokoh setingkat dirjen (eselon satu), yang berprestasi dan berdedikasi selama ini, yang telah puluhan tahun bekerja, dengan kualifikasi yang teruji. Bayangkan saja, mereka adalah lulusan terbaik dari universitasnya, masuk menjadi pegawai negeri melalui tes berjenjang. Dalam perjalanan karier, mereka bukan saja mendapatkan tambahan pendidikan yang sesuai karier, kadang sampai tingkat doktoral, tetapi mengikuti semua persoalan yang berurutan terjadi.Seorang eselon satu biasanya tahu sejarah dibuatnya suatu peraturan atau latar belakang diputuskannya suatu kebijaksanaan.
Yang penting harus disadari, jabatan menteri tak boleh dipandang lagi sebagai jabatan politis. Dalam manajemen modern, menteri adalah sejenis “manajer” dalam perusahaan, yang mahir dalam mengelola sumber daya, bekerja secara profesional mengoordinasi, memimpin,dan mewujudkan visi serta misi kepresidenan atau pemerintahan. Tidak bisa dibayangkan, jika Presiden dan Wakilnya dipilih sebagai seorang generalis yang populer dan menteri hanyalah jabatan politis,harus dipertanyakan: siapa yang menjadi ‘direktur’ negara ini? Siapa yang membuat garis besar kebijaksanaan secara terpadu, yang memonitor hasil kerja sehari hari seperti layaknya seorang manajer?
Rakyat mendambakan, menteri kabinet adalah orangorang yang tahu persoalan, punya track record,mau bekerja keras de-ngan cerdas, jujur dan profesional, mampu mengangkat bangsa ini keluar dari krisis, sadar dan tahu diri akan beratnya amanat yang diemban,sambil memberi teladan dalam membangkitkan optimisme dan semangat rakyat. Figur yang dapat memberi teladan,tidak mementingkan diri sendiri atau organisasinya,tapi bekerja untuk rakyat dan negara tercinta Semoga saja Presiden tidak mengganti menteri karena fenomena ‘déjà vu’,tapi mencoba memperkuat organisasi kabinetnya dengan mengangkat pembantu yang pantas, yang punya reputasi, yang mau bekerja untuk negara,berbakti untuk rakyat.
Maaf Pak Presiden, tolong jangan lagi menunjuk pembantu karena hanya dicalonkan partainya! Menteri bukan jabatan politis! Semoga Allah memberkati para pemimpin republik ini.●
TITO SULISTIO
Pengamat Ekonomi Politik
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/386311/
Republik Tanpa Direktur!
Written By gusdurian on Minggu, 13 Maret 2011 | 03.11
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar