BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kemiskinan yang Dieksploitasi

Kemiskinan yang Dieksploitasi

Written By gusdurian on Minggu, 13 Maret 2011 | 03.13

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Wakinah (60) mengumpulkan butiran beras yang jatuh di sekitar Pasar Dargo, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kenaikan harga beras dengan selisih Rp 500 hingga Rp 1.000 sangat berarti bagi warga miskin.

Miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan karena mereka malas, tak mau kerja keras, atau tak memiliki etos kerja. Kemiskinan di negara ini lebih karena faktor struktur eksploitatif yang dibuat oleh manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.

Struktur inilah yang menyebabkan masyarakat miskin sulit terlepas dari jeratan kemiskinannya. Meskipun mereka bekerja keras membanting tulang sepanjang hari, memeras keringat sepanjang hidup, karena struktur yang tidak adil, mereka tetap saja terkurung dalam kemiskinan. Bahkan, kemiskinan ini menurun kepada anak cucu mereka.

Pemerintah sebenarnya sadar dan mengerti. Untuk melepas belenggu kemiskinan, cara yang paling efektif adalah mengubah struktur eksploitatif secara mendasar. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan dan pemerintah sepertinya membiarkan mereka dalam kemiskinan.

Di perkotaan, misalnya, upah buruh dibiarkan sangat rendah sehingga buruh tetap miskin dan tak berdaya. Menyadari kelompok miskin umumnya memiliki keterbatasan modal, kemampuan kewirausahaannya lemah, inferior dalam produk, dan posisi tawarnya rendah, dikembangkan model-model outsourcing hampir di semua bidang usaha, dan pemerintah tak berupaya serius mengatasi persoalan ini.

Di pedesaan lebih gawat lagi. Sumber kehidupan masyarakat dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, transportasi, dan berbagai infrastruktur lainnya yang semuanya memihak pemodal kuat. Sulit mencari contoh, misalnya, kegiatan pertambangan yang menyejahterakan masyarakat sekitar. Tidak mudah pula menunjukkan contoh penebangan hutan yang setelah hutannya habis, kemudian masyarakat sekitar menjadi lebih sejahtera.

Lebih parah lagi, sumber kehidupan masyarakat miskin yang masih tersisa tak kunjung dibenahi. Salah satu pembicara seminar mengatakan, selama puluhan tahun pemerintah tak serius mengupayakan produktivitas tanaman padi.

Padahal, meningkatkan produktivitas tanaman padi merupakan salah satu langkah paling realistis untuk meningkatkan kesejahteraan petani di tengah lahan pertanian yang semakin menyempit karena digunakan untuk permukiman, industri, dan pembangunan infrastruktur.

Kemiskinan yang tetap membelenggu juga menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah, tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang, serta tingginya angka kematian ibu dan bayi. Angka putus sekolah, misalnya, saat ini masih sekitar 527.000 atau sekitar 1,7 persen siswa sekolah dasar yang putus sekolah.

Di sisi lain, masyarakat miskin juga menghadapi persoalan mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup sehari-hari. Masyarakat miskin yang mau beranjak dari belenggu kemiskinan harus pula menghadapi ganasnya gempuran liberalisme dan kapitalisme yang menusuk hingga ke jantung pedesaan.

Bersifat karitatif

Pemerintah selama ini bukannya tak melakukan upaya pemberantasan kemiskinan. Namun, upaya yang dilakukan lebih berupa program kemiskinan, tetapi bukan strategi dan kebijakan pengentasan warga dari kemiskinan. Lima program unggulan pengentasan warga miskin yang dilakukan pemerintah pun tidak menyasar langsung akar atau penyebab kemiskinan, tetapi lebih bersifat karitatif atau memberikan ”kasih sayang” kepada masyarakat miskin. Karena itu, hasilnya pun tak efektif.

Inpres Desa Tertinggal (IDT), bantuan langsung tunai (BLT), pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan sejumlah kegiatan lainnya sudah dilakukan pemerintah. Namun, karena itu, kegiatannya lebih bersifat karitatif, jumlah penduduk miskin tak kunjung berkurang signifikan di negeri ini. Padahal, dana yang dikucurkan untuk mengentaskan warga dari kemiskinan tidaklah sedikit.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Menko Kesra, anggaran untuk pengentasan warga dari kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, misalnya, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun, tahun berikutnya naik menjadi Rp 23 triliun, dan tahun 2006 naik menjadi Rp 42 triliun. Tahun berikutnya berturut-turut naik menjadi Rp 51 triliun (2007), Rp 63 triliun (2008), Rp 66 triliun (2009), dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun.

Namun, lonjakan anggaran ini tidak disertai dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama 16,7 persen (2004), lalu turun menjadi 16 persen (2005), naik lagi menjadi 17,8 persen (2006), kemudian turun 16,6 persen (2007), 15,4 persen (2008), 14,2 persen (2009), dan terakhir sekitar 13,3 persen (2010).

Penurunan ini jauh sangat lambat dibandingkan dengan China. Tahun 1990, jika menggunakan angka kemiskinan absolut 1 dollar AS per kapita per hari, saat itu di China jumlahnya 31 persen, sedangkan di Indonesia ”hanya” 26 persen. Kini angka kemiskinan absolut di China tinggal 6,1 persen, sedangkan di Indonesia 5,9 persen. Bisa dikatakan, kini hampir sama 6 persen, tetapi China bergerak dari angka kemiskinan absolut yang jauh lebih tinggi.

Jika menggunakan patokan 2 dollar AS per hari, penurunan angka kemiskinan di China lebih pesat lagi, yakni dari 70 persen menjadi 21 persen, sedangkan di Indonesia dari 71 persen menjadi 42 persen.

Melihat angka-angka ini, tentu ada yang keliru dalam strategi pengentasan warga dari kemiskinan di Indonesia. Karena itu, sudah saatnya berbagai langkah pengentasan warga miskin ini dievaluasi agar bisa dihasilkan strategi nyata pengentasan warga miskin, antara lain dengan menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas. Jika tak dievaluasi, bisa muncul tudingan bahwa kemiskinan di Indonesia memang sengaja dieksploitasi untuk berbagai kepentingan.

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/10/05152094/kemiskinan.yang.dieksploitasi

Politik Anggaran yang Tak Memihak Orang Miskin

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pedagang mengumpulkan ceceran nasi aking atau sisa nasi dikeringkan yang dijual Rp 1.600 per kilogram di Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Juni 2010. Kebiasaan meng onsumsi nasi aking di sejumlah pelosok desa dengan warga miskinnya itu muncul saat harga beras atau singkong mulai tak terbeli.

Sulitnya mengurangi angka kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan juga banyak terkait dengan politik anggaran yang tak memihak masyarakat miskin (pro-poor policy, pro-poor budget) atau tak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan.

Sebagian besar APBN kita terkuras untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi yang ternyata tak mampu menjalankan fungsinya, sehingga justru lebih banyak jadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat. Anggaran rutin menyedot 40 persen lebih APBN.

Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya perjalanan serta membayar utang terus meningkat, sementara pada saat yang sama anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun.

Untuk belanja pegawai dan membayar cicilan utang saja tahun lalu Rp 162,6 triliun dan Rp 153,6 triliun. Sementara, anggaran untuk pengurangan kemiskinan hanya Rp 80 triliun. Anggaran untuk belanja kesehatan hanya sekitar 2,2 persen dari total APBN-P 2010 dan kurang dari 1 persen dari PDB. Data Bappenas, dalam enam tahun terakhir pemerintahan SBY, belanja modal nyaris stagnan, bahkan tumbuh negatif.

Artinya, untuk membangun atau menyejahterakan rakyat kita harus puas hanya dengan remah-remah yang tersisa. Persoalannya, bukan hanya anggaran habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, banyak dikorupsi atau bocor, melainkan yang remah-remah itu pun belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok miskin yang dituju.

Tak sedikit dari dana tersebut justru tersedot untuk seminar, perjalanan dinas, dan lain-lain. Subsidi untuk rakyat miskin juga tak sepenuhnya dinikmati orang miskin. Contohnya adalah subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya.

Penelitian LIPI menegaskan, kenaikan anggaran untuk kemiskinan sebesar 10-15 persen per tahun tak diikuti dengan perbaikan dalam efektivitas penggunaannya. Pada periode 2000-2004, setiap persen kenaikan anggaran mampu menurunkan 0,4 persen angka kemiskinan, sementara periode 2005-2009 hanya 0,06 persen.

Kita tidak menampik upaya keras pemerintah untuk terus melakukan koreksi terhadap penyebab kegagalan mengurangi kemiskinan dan mengadopsi semua mantra kebijakan penanggulangan kemiskinan. Tahun lalu, misalnya, pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden. Namun, sampai sekarang tak terdengar gebrakannya.

Tahun ini, pemerintah juga meluncurkan lagi enam program prorakyat berbarengan dengan tiga program prioritas dan paket kebijakan fiskal. Namun, program ini lebih banyak dianggap mengawang-awang dan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, sangat diragukan efektivitasnya di lapangan.

Maka tak heran jika angka insiden kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM) memburuk justru pada saat pemerintah mengklaim sudah sukses menurunkan angka kemiskinan. Kontradiksi-kontradiksi ini dan juga tudingan kebohongan yang dilontarkan para pemimpin lintas agama belum lama lalu menunjukkan klaim keberhasilan pemerintah tak sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Manfaat pembangunan belum dirasakan oleh sebagian besar rakyat.

Beberapa kritik yang muncul dalam seminar Kompas di antaranya adalah selama ini upaya penanggulangan kemiskinan semata dipahami sebagai program pemberantasan kemiskinan, bukan ”strategi dan kebijakan” penanggulangan kemiskinan. Akibatnya, upaya mengatasi kemiskinan cenderung dijawab hanya dengan ”program untuk orang miskin” yang dibiayai dengan APBN dan/atau dana-dana swasta. Demikian pula, kebijakan ”pro-poor budget” juga secara sempit dimaknai sekadar sebagai ”budget for the poor”.

Penyederhanaan

Akibat pemahaman yang kurang tepat ini, kinerja pemberantasan kemiskinan lebih banyak diukur dari: berapa besar dana APBN yang dialokasikan untuk program penanggulangan kemiskinan dan sudahkah dana tersebut dikelola secara efisien dan tidak dikorupsi; dan bukannya seberapa jauh upaya tersebut bukan saja berhasil mengangkat orang miskin tak sekadar keluar dari kubangan kemiskinan, tetapi juga menciptakan kelas menengah baru dan tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru dari kelompok miskin di berbagai sektor.

Kita tersalip China, Vietnam, dan Laos yang baru belakangan membangun. Pada 2009, baru 10,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong kelas menengah dan kelas menengah atas, sementara China sudah 66 persen pada 2007. Tahun 1990, angka kemiskinan China diukur dari pendapatan 1 dollar AS per hari, besarnya masih 31,5 persen, sementara Indonesia 26 persen.

Sekarang, angkanya sama, sekitar 6 persen. Namun diukur dari pendapatan 2 dollar AS per hari, angka kemiskinan di China menurun drastis dari 70 persen menjadi 21 persen, sementara Indonesia hanya turun dari 71 persen menjadi 42 persen.

Kunci keberhasilan China adalah pembangunan yang dimulai dari desa dan pertanian. Sementara kita, lebih bias kota, dengan desa yang menjadi rumah 60 persen penduduk miskin dan sektor pertanian yang menampung 41 juta tenaga kerja justru dianaktirikan. Program kemiskinan belum menyentuh langsung akar persoalan kemiskinan dan hak-hak dasar kelompok miskin, tak memiliki karakter penguatan lokal dan tak mengatasi masalah kemiskinan yang multidimensi.

Lebih sering, orientasi dan strategi pembangunan ekonomi kita tidak menyambung dengan program pemberantasan kemiskinan. Bahkan, tak jarang kebijakan pembangunan dan program kemiskinan justru kontraproduktif dengan upaya mengurangi kemiskinan itu sendiri.

Politik pencitraan membuat pemerintah lebih mengedepankan berkilaunya indikator-indikator makroekonomi, sementara sektor riil terbengkalai. Banyak kebijakan untuk memoles sisi makro, justru kontraproduktif bagi sektor riil, sektor mikro, atau tujuan penguatan ekonomi domestik dan pemberantasan kemiskinan.

Ini terlihat tak hanya dalam rezim pajak, impor beras, suku bunga, perdagangan, kebijakan energi, tetapi juga infrastruktur dan pelayanan dasar kesehatan pendidikan yang justru semakin meminggirkan mereka yang miskin dan marjinal.

Akibatnya, kemiskinan tidak kunjung berkurang secara signifikan, kendati perekonomian tumbuh. Pengurangan kemiskinan tak berdimensi jangka panjang. Kegagalan dalam pemberantasan kemiskinan juga bukan dijawab dengan melakukan koreksi terhadap strategi pembangunan ekonomi yang tidak menyejahterakan dan tak menyelesaikan kemiskinan, tetapi sekadar dengan membuat berbagai program penanggulangan kemiskinan baru.

Pernyataan beberapa pembicara di seminar Kompas menjadi relevan di sini. Persoalan pembangunan dan kemiskinan adalah persoalan yang multidimensional. Karena itu, keberhasilannya juga akan sangat ditentukan oleh kemampuan melihat persoalan dan merumuskan kebijakan secara multidimensi pula.

Tak kalah penting, kemampuan mengimplementasikan di lapangan. Penyakit pemerintah, kegemaran menyederhanakan masalah dan menempatkan kelompok miskin atau marjinal semata sebagai obyek dari kebijakan karitatif yang populis

Mungkin perlu diingatkan lagi kepada eksekutif-legislatif dan yudikatif sebagai tiga pilar utama negara bahwa tujuan pembangunan dan demokrasi adalah untuk kesejahteraan rakyat dan bukan hanya kesejahteraan birokrat. Melayani dan bukan minta dilayani. Suatu rezim sudah bisa dikatakan gagal jika yang sejahtera hanya para pejabat, politisi dan pengusaha-pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, atau mereka yang punya akses, sementara kelompok miskin dan kelompok marjinal lain makin termarjinalkan.

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/10/05144766/politik.anggaran.yang.tak.memihak.orang.miskin
Share this article :

0 komentar: