BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Manusia Jepang, Manusia Solidaritas

Manusia Jepang, Manusia Solidaritas

Written By gusdurian on Kamis, 17 Maret 2011 | 10.47

T.M. Luthfi Yazid, PENGAJAR DAN PENELITI DI GAKUSHUIN UNIVERSITY, TOKYO Gempa yang terjadi pada 11 Maret 2010 (ada juga yang menyebut "Tragedy of 11311") itu memang di luar perkiraan masyarakat Jepang. Bahkan ada ahli gempa di Jepang yang mengatakan bahwa gempa seperti itu hanya terjadi setiap 1.000 tahun.
Meskipun biasanya orang Jepang sangat siap menghadapi gempa karena merupakan bagian dari hidup mereka--tidak demikian dengan gempa yang disusul tsunami pada Jumat, 11 Maret 2011. Gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter itu--yang kemudian diralat oleh badan otoritas Jepang menjadi 9 pada skala Richter-terjadi pada pukul 14.46 waktu Jepang. Ketika itu saya dalam perjalanan pulang sehabis salat Jumat dan berbelanja makanan untuk keperluan keluarga di sekitar Universitas Gakushuin, tempat saya mengajar dan melakukan penelitian selama ini.

Saya, yang sudah agak terbiasa dengan gempa kecil--karena setiap saat terjadi--pada awalnya tidak terlalu khawatir.
Namun gempa yang awalnya perlahan itu semakin membesar dan begitu lama, sehingga saya dan para penumpang yang berada di underground stasiun kereta teramai di kawasan Shinjuku itu pun memaksakan diri keluar dari kereta yang sudah mau berangkat. Guncangan semakin dahsyat, sirene meraung-raung, para penumpang semua keluar dari kereta.
Kereta saling beradu dengan platform, begitu pun dengan atap underground, sehingga menimbulkan bunyi yang sangat ramai dan menakutkan. Saya pun mengira dan hanya berdoa... itu hari terakhir saya.

Guncangan yang dahsyat itu benar-benar membuat panik. Membayangkan besarnya gempa, sementara Tokyo dan sekitarnya penuh gedung pencakar langit.
Apalagi, dalam batin saya, kalau suplai oksigen di underground nanti terputus?
Apa jadinya? Ternyata, gempa terjadi berpuluh bahkan beratus kali dengan frekuensi semakin lama semakin kecil (bahkan ketika tulisan ini dibuat pun, Selasa 14 Maret 2011, terjadi guncangan cukup besar meski sebentar saja). Saya akhirnya terjebak kurang-lebih 10 jam bersama ribuan orang lainnya dan berjam-jam pula tidak bisa kontak dengan istri di rumah dan anak-anak yang sedang sekolah saat itu.
Manusia Jepang Gempa yang terjadi pada 11 Maret 2010 (ada juga yang menyebutnya "Tragedy of 11311") itu memang di luar perkiraan masyarakat Jepang. Bahkan ada ahli gempa di Jepang yang mengatakan bahwa gempa seperti itu hanya terjadi setiap 1.000 tahun. Dan bahwa akan ada gempa besar di Jepang, termasuk wilayah Tokyo, masyarakat Jepang sudah memperkirakannya, meski ternyata kedahsyatannya di luar dugaan. Sebab, mereka percaya adanya siklus gempa 100 tahunan, karena pada 1923 terjadi gempa yang menewaskan 140 ribu orang, yang dikenal dengan sebutan Great Kanto, yang ketika itu orang-orang sedang makan siang. Karena itu, mereka yang percaya pada siklus gempa tersebut menghindari untuk tinggal di daerah sekitar Kanto, termasuk Tokyo.

Bagaimana manusia Jepang menghadapi bencana? Yang menarik dari masyarakat dan manusia Jepang adalah kesiapan mereka dalam menghadapi bencana, seperti gempa dan tsunami. Saya bukan ahli gempa--dan banyak ahli gempa Indonesia alumnus Jepang. Namun, sebagai seorang awam, saya mencatat beberapa hal. Pertama, sikap mentalnya. Dalam diri mereka dari bayi sudah ditanamkan sifat untuk sensitif, termasuk sensitif terhadap gempa. Masyarakat Jepang di komplekskompleks perumahan, misalnya, secara rutin tanpa kecuali, termasuk perdana menterinya, ikut pelatihan menghadapi gempa. Di sekolah-sekolah pun pelatihan semacam ini diadakan secara rutin. Semua peralatan latihan sudah dipersiapkan, seperti helm, masker, senter, dan lain-lain.
Dilatih bagaimana misalnya harus menyelamatkan bagian kepala terlebih dulu dengan menyembunyikan bagian kepala di bawah meja saat gempa, tidak memakai elevator, keluar di pintu darurat, persediaan makanan kering kecil di bawah meja kalau terjebak, obat-obatan, dan seterusnya.

Kedua, konstruksi antigempa. Sebagian besar bangunan di Jepang antigempa, sehingga kebijakan pemerintah dalam soal tata ruang, bangunan, dan semacamnya disesuaikan dengan kondisi yang rawan gempa. Mereka adalah masyarakat yang mau belajar dari pengalaman masa lalunya. Semua kejadian mereka catat, mereka dokumentasikan. Gempa yang terjadi di Kobe pada 1995, yang menewaskan sekitar 5.000 jiwa, misalnya, menginspirasi mereka untuk membangun Earthquake Museum di kawasan Nada di Kobe, yang kebetulan beberapa kali saya sempat berkunjung. Di museum tersebut, hampir semua kejadian gempa di seluruh dunia, termasuk gempa Aceh 26 Desember 2004, terdapat dokumentasinya. Tujuannya tidak lain untuk mengingatkan dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar siap siaga, setiap saat menghadapi bencana gempa.

Ketiga, masyarakatnya terorganisasi.
Masyarakat Jepang sangat terorganisasi.
Mereka bahu-membahu untuk menolong, menyediakan obat-obatan, makanan, peralatan musim dingin, dan semacamnya dengan sangat sigap. Walaupun sudah dilanda gempa dan tsunami besar, mereka tetap tertib. Tidak ada yang ingin menyela hak orang lain, termasuk dalam antrean di mana pun, di supermarket, stasiun kereta, bank, dan lain-lain. Singkat kata, tabu di Jepang untuk hanya menonjol sendiri. Ma kanya, sering kita lihat orang-orang Jepang beper gian secara bersama-sama dan satu orang membawa ben dera sebagai penanda. Demikian juga ketika terjadi gempa dan tsunami.

Keempat, perintah satu ko mando. Meskipun belakangan pe merintah Perdana Menteri Naoto Kan didera berbagai persoalan politik--misalnya membelotnya 16 politikus pendukung Ozawa dan mundurnya Menlu Maehara karena menerima uang ilegal dalam jumlah kecil--dalam soal bencana, mereka satu komando, pemerintah punya wibawa.
Suara pemerintah didengarkan dengan seksama. Malahan, menghadapi bencana yang sangat besar ini--bahkan dikatakan sebagai bencana terbesar setelah PD II-PM Naoto Kan diminta mengalokasikan anggaran negara lebih besar lagi, termasuk oleh oposisi politiknya.

Para petugas yang berkompeten memberi penjelasan yang disiarkan melalui semua saluran media. Selama gempa, umpamanya, beberapa hari tidak ada satu media televisi pun yang menayangkan iklan.
Semuanya berkonsentrasi pada penyebaran informasi serta upaya penanggulangan gempa. Semua media memiliki rasa solidaritas yang tinggi, dan tidak takut rugi karena tak menayangkan iklan. Early Warning Earthquake setiap saat siap memberi informasi akan terjadinya gempa melalui semua saluran seluler, sehingga masyarakat tahu lebih dini. Suplai makanan dari satu daerah ke daerah lainnya diatur. Penggunaan dan pemadaman listrik serta gas secara bergilir diumumkan sejak dini secara nasional. Semuanya dalam kerangka solidaritas mereka, yakni kebersamaan, meskipun saat ini mereka sedang menghadapi atau mengantisipasi second disaster atau dampak pasca-bencana yang mengkhawatirkan, seperti kemungkinan terjadinya radiasi nuklir karena bocornya PLTN di daerah Fukushima.
Atau penyakit-penyakit susulan lainnya yang diakibatkan dari banyaknya korban jiwa.

Dari semua yang terpapar di atas, intinya masyarakat Jepang memiliki bangunan solidaritas yang kuat; "saling-saling dalam pengertian positif", bukan "salingsaling yang negatif", seperti saling tidak peduli, saling tuduh, saling balas, saling menjatuhkan, saling fitnah, saling sandera, saling merasa paling benar, paling suci, paling berjasa, dan seterusnya. Bisakah kita bayangkan kalau gempa dengan kekuatan 9 pada skala Richter terjadi di Jakarta? Apa yang terjadi? Sudah siapkah?
Adakah solidaritas? Masihkah ada penghargaan hak-hak orang lain? Kita sudah mengalami gempa dan tsunami luar biasa di Aceh, namun kenyataannya kita juga belum banyak mengambil hikmah dan pelajaran. Padahal, betapa mudahnya bagi Yang Maha Kuasa untuk mengubah dan menentukan keadaan dalam sekejap.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/17/ArticleHtmls/17_03_2011_012_021.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: