BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gejolak Minyak

Gejolak Minyak

Written By gusdurian on Minggu, 13 Maret 2011 | 03.18

Harga minyak mentah dunia kembali bergolak. Dalam dua minggu terakhir,harga minyak secara rata-rata telah meningkat 28%.


Harga minyak Brent untuk pelepasan April pada Jumat (4/3/11) telah mencapai USD115,97 per barel, sedangkan West Texas Intermediate berada pada posisi USD104,42 per barel. Beberapa faktor seperti perkembangan geo-politik di Timur Tengah (seperti krisis Libya), pelemahan nilai tukar USD, berkurangnya cadangan persediaan minyak yang dimiliki Uni Eropa, dan masih gloomy-nya perkembangan pasar keuangan global diduga menjadi pendorong bergolaknya harga minyak.

Dampak bagi Indonesia

Bagi Indonesia sebagai negara dengan status net importer dan mengalokasikan anggaran subsidi BBM (energi) yang cukup besar, bergolaknya harga minyak membawa dampak yang kurang menguntungkan terhadap sustainabilityAPBN. Simulasi yang dilakukan beberapa lembaga menunjukkan bahwa defisit APBN akan bertambah Rp700 miliar untuk setiap kenaikan harga minyak USD1 per barel lebih tinggi dari yang diasumsikan di dalam APBN (USD80 per barel). Potensi pembengkakan defisit di dalam APBN semakin bertambah besar karena ternyata Indonesia juga belum mampu mencapai lifting minyak sebagaimana ditargetkan sebelumnya (970.000 barel per hari).

Dalam dua bulan pertama 2011, lifting minyak baru mencapai 905.000-907.000 barel per hari. Dalam kaitan ini, hasil prediksi menunjukkan defisit APBN akan bertambah Rp3 triliun untuk setiap realisasi lifting yang lebih rendah 10.000 barel dari yang semula ditargetkan. Karena perannya yang sangat penting dalam proses produksi dan transportasi,kenaikan harga minyak juga berpotensi mendorong laju inflasi (cost push inflation). Simulasi yang dilakukan P2E-LIPI menunjukkan bahwa ketika harga minyak lebih tinggi 10% dari yang ditetapkan di dalam APBN,hal itu akan mendorong inflasi 0,16%.

Terganggunya sustainability APBN dan meningkatnya tekanan inflasi karena pergolakan harga minyak pada gilirannya berpotensi memberikan dampak negatif yang tidak menguntungkan terhadap performa perekonomian. Misalnya, tekanan inflasi diduga akan menekan daya beli dan konsumsi masyarakat, khususnya mereka yang berpendapatan rendah.Permasalahannya adalah konsumsi masih menjadi elemen yang paling dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Solusi

Tidak ada jalan lain, untuk meminimalisasi tekanan negatif dari bergolaknya harga minyak, pemerintah perlu mendorong efisiensi di dalam konsumsi BBM. Informasi statistik menunjukkan bahwa pada periode 2006-2010 konsumsi BBM tumbuh relatif lebih tinggi (premium 8% per tahun,sedangkan solar 5% per tahun) dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi di beberapa negara tetangga seperti Thailand, Filipina, ataupun Vietnam.

Sayangnya, beberapa studi empiris (seperti Sambodo, 2007) menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi BBM itu tidak terlalu signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Secara implisit, tidak signifikannya hubungan di antara peningkatan konsumsi BBM dengan pertumbuhan ekonomi mengindikasikan bahwa konsumsi BBM di negeri ini tidak cukup efisien.Harga BBM yang relatif murah karena mendapat subsidi dari pemerintah diduga menjadi salah satu penyebab tidak efisiennya konsumsi BBM. Kritikan terhadap implementasi subsidi BBM semakin nyaring terdengar ketika beberapa kajian menemukan bahwa penikmat subsidi ini ternyata sebagian besarnya (70%) adalah mereka yang masuk kategori (sangat) ‘mampu’ (pemilik kendaraan pribadi).

Sungguh tidak fair karena di satu sisi pemerintah harus pontang-panting menomboki subsidi BBM, sedangkan di sisi yang lain subsidi ini justru banyak dinikmati oleh golongan ‘mampu’. Beranjak dari permasalahan di atas, keberanian dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mengurangi anggaran subsidi dan mendorong harga BBM mendekati harga keekonomiannya (Rp6.250- Rp6.750 per liter) dibutuhkan. Meski demikian, upaya untuk mendorong harga BBM ke harga keekonomiannya itu sebaiknya dilakukan secara gradual. Dalam kaitan ini,temuan P2ELIPI menunjukkan bahwa toleransi masyarakat terhadap setiap kenaikan harga BBM adalah Rp300 per liter dengan waktu kenaikan setiap dua bulan sekali.

Penting untuk dikemukakan bahwa ketika harga BBM dinaikkan, hal itu akan diikuti dengan kenaikan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat, khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah.Karena itu,kenaikan harga BBM ini harus dipersiapkan secara matang dengan melakukan beberapa upaya sebagai berikut. Pertama, mempersiapkan dan memperbaiki program jaring pengaman sosial (social safety net) seperti BLT,jaminan kesehatan keluarga miskin, dan program beras miskin (raskin), untuk melindungi masyarakat miskin dari dampak negatif kenaikan harga BBM.Harus diupayakan agar programprogram jaring pengaman sosial itu lebih berkualitas, tepat sasaran,dan tepat waktu.

Kedua, dalam kaitan dengan raskin, akan lebih baik bila jatah untuk setiap keluarga dinaikkan dari 15 kg menjadi 25 kg.Argumentasinya,dengan asumsi konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia 139 kg per tahun, setiap keluarga dengan dua orang anak membutuhkan beras 46,3 kg per bulan. Dengan jatah yang hanya 15 kg per keluarga per bulan,kebutuhan beras keluarga miskin dari program raskin hanya 30,2%. Seandainya dinaikkan menjadi 25 kg, kebutuhan beras keluarga miskin dari program raskin akan meningkat menjadi 54%. Ketiga, memperbaiki kuantitas dan kualitas pelayanan transportasi publik.

Lebih banyak dan semakin berkualitasnya transportasi publik akan membuat pemilik kendaraan pribadi merasa nyaman dan tertarik menggunakan transportasi publik.●

LATIF ADAM
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/386304/
Share this article :

0 komentar: