BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » GAMAWAN FAUZI : Suasana di Daerah Bisa Terganggu

GAMAWAN FAUZI : Suasana di Daerah Bisa Terganggu

Written By gusdurian on Minggu, 13 Maret 2011 | 03.09

GAMAWAN FAUZI MENTERI DALAM NEGERI Banyak yang punya kapasitas tapi belum tentu punya popularitas.
Anda pernah mengatakan bahwa memang ada persaingan antara kepala daerah dan wakilnya sehingga cenderung tidak akur.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Datanya ya seperti yang saya sampaikan tadi.

Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka kemudian bersaing?
Ya, karena mungkin bisa saja wakilnya ingin jadi kepala daerah kan.

Sebenarnya, bagaimana bentuk berkompetisinya?
Itu sebenarnya tidak ada larangan, di undang-undang tidak ada larangan. Ini saya bicara itu tadi dalam konteks apakah memang akan satu paket atau tidak.

Satu paket atau tidak seperti apa, bisa dije laskan?
Selama ini kan satu paket (dalam pemilukada). Makanya perlu kajian, apakah perlu satu paket atau tidak.
Karena, akibatnya kalau tahun kedua berkompetisi, kan suasana di daerah sedikit banyak terganggu juga. Ada yang prowagub (wakil gubernur), progubernur, prowakil wali kota, prowali kota, terjadilah kompetisi. Mereka akan saling mencari pengaruh.

Tapi, bisa juga muncul kekhawatiran bahwa persaingan ini bisa sampai pada keluarnya kebijakan yang berbeda antara gubernur dan wakilnya?
Bisa terjadi seperti itu. Tapi, memang kalau dalam aturan itu tidak boleh, sebenarnya wakil gubernur itu kan tugasnya membantu gubernur, wakil bupati membantu bupati, harusnya seperti itu.
Namun, dengan macam-macam cara bisa mencari pengaruh.

Dengan status itu juga bisa kan, sebagai orang kedua di daerah. Nanti toh nggak enak kan kita sering-sering datang ke wagub lalu dikira prowagub. Masyarakat juga begitu.

Masyarakat yang mana? Apakah unsur PNS di pemda atau masyarakat biasa?
Wakil itu kan juga punya pendukung.
Itu suara pendukungnya.

Lalu kalau jajaran PNS-nya seperti apa?
Dari pengalaman saya, nanti jadi tidak enak. Kalau sudah tahun ketiga, itu nggak enak, nanti dituduh prowagub, prokepala daerah. Makanya, ada yang ketika terpilih kemudian dicopot kepala dinasnya sampai 13 orang, karena dianggap tidak pro atau apa.

Ada juga dinon-job-kan. Kalau dimutasi okelah. Ada juga orang pemda yang ditaruh jadi staf kepala desa. Yang seperti ini dalam teori kenegaraan tidak ada, tapi dalam praktiknya banyak.

Kemudian solusinya harus seperti apa?
Makanya, kita bikin apakah akan jadi satu paket juga, ataukah terpisah. Kepala daerah saja yang terpilih, nanti wakilnya, kepala daerahnya yang mengajukan. Tapi, ini masih dalam kajian. Saya kan tadi menyampaikan, di rapat kerja pimpinan DPRD seluruh Indonesia, di Bandung, dari angkaangka, data-data, praktik-praktik seperti itu. Lalu, what next, bagaimana ke depannya, mau apa, kita perlu pikirkan bagaimana pemerintahan efektif di daerah.

Sebenarnya fenomena seperti ini sudah mulai terlihat sejak ada pemilihan langsung atau baru 2010 kemarin itu?
Sebenarnya sudah ada sejak ada pemilihan langsung. Tapi, saya yang punya data kemarin itu, jadi saya punya data, saya sampaikan. Jadi, 15 persen mengulang lagi bersama-sama, di luar itu ada yang berkompetisi, ada juga wakilnya yang tidak ikut lagi. Kepala daerah memilih yang lain. Atau, berkompetisi di antara wakil dan kepala daerahnya.

Mengapa kemudian bisa terjadi kompetisi itu?
Bisa saja ini taktik kan, supaya dia populer dulu. Kalau jadi wakil kan dia mulai populer dulu. Tapi, ada juga yang dia ingin sampai wakil saja. Kapasitas saya cuma sampai wakil, makanya itu terus berlanjut. Dia merasa tidak mempu mengalahkan kepala daerah pada putaran selanjutnya, setelah dia hitung-hitung.
Tapi, ada juga ketika jadi wakil merasa mampu dan lebih populer.

Apakah memang populer itu memegang peranan penting?
Kalau pemilihan langsung itu popularitas menjadi penting, dikenal. Bagaimana rakyat memilih orang yang tidak dikenal, makanya popularitas sangat penting.
Bukan hanya kapasitas saja. Kapasitas iya juga, namun popularitas juga menentukan.
Banyak yang punya kapasitas tapi belum tentu punya popularitas. ed: budi raharjo

http://republika.pressmart.com/RP/RP/2011/03/10/ArticleHtmls/10_03_2011_010_006.shtml?Mode=1


Persaingan Saat Pemilukada Sah Saja

SARIMUN HADISAPUTRA DIREKTUR EKSEKUTIF APEKSI Kalau kita bicara mengapa bisa terjadi ketegangan, kuncinya pemahaman yang bersangkutan terhadap pembagian tugas, itu saja.
Menteri Dalam Negeri memiliki data bahwa 85 persen kepala daerah dan wakilnya memilih bercerai pada pemilukada berikutnya karena samasama ingin menjadi orang nomor satu di daerahnya?
Kepala daerah tidak hanya wali kota saja, tapi ada bupati dan juga gubernur. Mungkin juga ada kompetisi, tapi persentasenya tidak sampai 85 persen. Tapi, saya tidak tahu untuk kepala daerah kabupaten, karena kabupaten ada 400 lebih.
Kita (kota) kan cuma 98 saja.

Kalau Anda melihat, apakah ada kecenderungan kepala daerah dan wakilnya yang berkompetisi menjadi tidak akur?
Memang ada yang seperti itu terjadi, terutama mereka yang baru satu periode. Kemudian mereka maju, wali kota maju, wakilnya juga maju. Kompetisi itu sah-sah saja.
Kalau ada ketegangan wajar saja, karena sama-sama maju. Tapi dalam perjalanan, selama mereka menjabat, masih normal-normal saja.

Jadi menurut Anda, kompetisi tidak memengaruhi kinerja?
Kompetisi itu sudah menjelang empat tahun lebih, bukan dari awal.
Kalau sudah empat tahun, satu tahun menjelang pemilukada ya mungkin ada. Itu sih wajar saja karena sama-sama maju. Apakah kompetisi itu ada yang sampai mengganggu pemerintahan, mungkin kebijakan antara wali kota dan wakilnya bisa berbeda?
Untuk wali kota, ada pembagian tugas yang jelas. Wali kota dan wakil wali kota sudah tahu dengan jelas, sudah ada di undang-undang.
Mereka kan satu kotak pemimpin, lalu dalam UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah itu dibagi tugasnya dengan jelas. Wali kota itu menangani apa saja, wakil wali kota apa saja. Sejauh mereka menyadari dan memahami tugasnya, tidak masalah. Mengapa kami melihat itu, kehadiran mereka diasosiasi, tidak ada istilah wakil datang atas dasar inisiatif sendiri, wakil datang karena mewakili wali kota.

Kalaupun ada yang berkonflik, bagaimana mencegahnya?
Untuk mengatasi itu, kembali ke aturan main di UU 32. Makanya, sebelum pemilukada sama-sama calon-calon itu memahami posisi sebagai wali kota dan wakil wali kota. Baca dulu UU 32, pembagian tugasnya apa. Kalau dipedomanin, tidak masalah. Tapi, kalau mereka tidak memahai tugas sesuai dengan undang-undang, ya mohon maaf kita bermain di koridor undang-undang.

Kalau terjadi seperti itu, sudah bersifat pribadi dan objektif sekali.
Kalau sebagai institusi, sudah ada pembagian tugasnya secara jelas.
Undang-undang itu sudah menjaga agar tidak berkonflik. Saran saya, seyogianya calon wali kota dan wakil wali kota berdua mendaftar, sebelum mengegolkan sebagai kepala daerah, tolong baca dulu UU 32. Agar nanti mereka tahu kalau jadi wali kota tugasnya ini, jadi wakil wali kota tugasnya ini.

Adakah contoh wali kota yang berkompetisi tapi masih tetap bersinergi sampai akhir masa jabatan?
Ada, Wali Kota Pekalongan, beberapa bulan yang lalu ada pemilukada. Dari awal bagus, tidak ada masalah selama lima tahun.
Baru menjelang pemilukada, begitu ada pendaftaran, ternyata wakil wali kota ada dukungan lain untuk menjadi wali kota.

Akhirnya terjadi kompetisi, tapi sah-sah saja. Mereka sudah bekerja empat tahun lebih. Yang dikhawatirkan itu kalau dari awal berkonflik, itu kan yang berbahaya.
Kalau sudah mendekati pemilukada, pendaftaran mereka mendaftar, baru di situ terjadi kompetisi. Wajar saja.

Kalau kita bicara mengapa bisa terjadi ketegangan, kuncinya pemahaman yang bersangkutan terhadap pembagian tugas itu saja. Kalau yang paham dan sadar, tidak masalah. Dan ini berlaku tidak hanya wali kota saja, semua kepala daerah, gubernur, dan bupati juga sama saja. Saran saya, sebelum mencalonkan diri, baca dulu UU dan pelajari itu. Jadi begitu maju, dia siap. Jadi wakil tugasnya ini, wali kota tugasnya ini, `cantik' sekali kalau seperti itu.

UU 32 sedang dalam proses revisi.
Saran apa yang bisa Anda berikan untuk mengatasi konflik kepala daerah dan wakilnya?
Revisi UU 32, pemilukada itu cukup dipilih kepala daerahnya saja.
Nanti kepala daerah yang memilih wakilnya. Itu lebih tenang. Kalau dua-dua dicalonkan, itu akan bisa terjadi seperti yang ditakutkan oleh kita.
Jadi, sebaiknya yang dipilih kepala daerahnya. Setelah terpilih, sang kepala daerah yang mencalonkan siapa menjadi wakilnya. Menurut saya, ambilkan dari birokrat, jabatan karier jadi wakil kepala daerah. ed: budi raharjo

http://republika.pressmart.com/RP/RP/2011/03/10/ArticleHtmls/10_03_2011_010_029.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: