BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sulitnya Memiskinkan Koruptor

Sulitnya Memiskinkan Koruptor

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.55

Adnan Topan Husodo,
WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tengah me nyelidiki
kemungkinan Gayus H. Tambunan, terdakwa suap pajak, telah melarikan
harta kekayaannya ke luar negeri. Dugaan ini mencuat setelah publik
kembali dihebohkan oleh kepergian Gayus ke Makau, Singapura, Kuala
Lumpur, dan Hong Kong selama ia menjadi tahanan di Rutan Markas
Komando Brimob Depok, setelah ia juga kedapatan "berlibur"ke Nusa Dua,
Bali, untuk tujuan yang hingga kini belum bisa diketahui.

Upaya melarikan harta kekayaan yang diduga dari tindak kejahatan
(korupsi) merupakan sebuah praktek berulangulang dan telah menjadi
masalah klasik di Indonesia. Dalam kasus korupsi BLBI, sebagai contoh,
sudah ratusan miliar hingga triliunan rupiah uang negara telah dibawa
oleh pelakunya ke berbagai negara di luar negeri, meskipun yang paling
dijadikan target adalah Singapura. Tak mengherankan jika Singapura
dikenal sebagai negara yang menyimpan paradoks.

Di satu sisi, Singapura oleh Transparency International selalu
dinobatkan sebagai negara bersih di tingkat Asia, tapi di sisi lain
menjadi tempat penampungan harta haram dari tindak kejahatan,
khususnya yang berasal dari Indonesia. Bahkan ada dugaan jika harta
korupsi yang ditanamkan di Singapura telah men jadi sumber investasi
yang strategis. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di
Singapu ra tidak bisa dilepaskan dari praktek pencucian uang koruptor
Indonesia di negara tersebut.

Kemungkinan besar Gayus juga menyimpan harta yang diperolehnya dari
praktek suap-menyuap dengan wajib pajak ke negara lain mengingat,
dalam proses penegakan hukum kasus Gayus, Markas Besar Kepolisian RI
sangat lamban dalam melakukan upaya asset tracing. Terlebih ada fakta
hukum bahwa lolosnya Gayus ke luar negeri tidak bisa dilepaskan dari
bantuan orang dalam di kepolisian, yang notabene seharusnya mengawasi
dengan ketat tahanan seperti Gayus.

Sikap tidak profesional aparat penegak hukum dalam mengantisipasi
kemungkinan tersangka atau terdakwa korupsi melarikan harta
kekayaannya telah mengesankan adanya praktek pembiaran yang luar
biasa, bukan sekadar kelengahan. Definisi pembiaran berarti secara
sadar sengaja memberikan kesempatan bagi pelaku atau pihak yang diduga
kuat melakukan kejahatan untuk menyiasati proses hukum yang tengah
berjalan atas dia, sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk
memanipulasi, menghilangkan, melenyapkan, dan membawa lari barang
bukti yang penting.
Pelacakan aset Upaya asset tracing dalam kejahatan finansial seperti
korupsi menjadi sesuatu yang sangat vital bagi terpenuhinya tujuan
penegakan hukum, yakni asset recovery. Jika penegak hukum hanya bisa
menyeret pelaku ke persidangan dan menjebloskannya ke penjara tanpa
bisa mendapatkan kembali harta dari tindak kejahatan korupsi,
sesungguhnya aparat penegak hukum tidak bisa dikatakan berhasil dalam
melakukan pemberantasan korupsi. Masalahnya, dalam konteks penegakan
hukum kasus korupsi di Indonesia, fokus pada pemenjaraan lebih
diprioritaskan daripada usaha untuk mengamankan dengan cepat harta
korupsi. Tak aneh jika akuntabilitas dan transparansi aparat penegak
hukum dalam pengelolaan serta pengembalian harta kejahatan korupsi
bisa dikatakan sangat rendah.

Ada satu risiko besar jika isu mengenai pengembalian dan penyelamatan
harta negara yang dikorupsi tidak menjadi perhatian serius, yakni
terulangnya kembali praktek kejahatan serupa serta berkembangnya
praktek pencucian uang. Dengan harta yang masih dikuasainya, pelaku
korupsi yang tengah dipenjara dapat menyuap aparat penegak hukum,
membayar joki tahanan sebagaimana yang kita lihat di Jawa Timur,
memelihara jaringan kejahatan yang ia miliki, serta memperkuat mesin
kejahatan itu sendiri.

Demikian halnya, uang yang disembunyikan dapat diolah sedemikian rupa
dengan teknik rekayasa keuangan canggih yang kemudian melahirkan "dana
bersih" untuk kepentingan yang legal maupun yang ilegal. Pendek kata,
lemahnya negara (baca: penegak hukum) dalam melakukan upaya asset
tracing dan asset recovery akan membuka peluang bagi reproduksi
kejahatan yang terus membangun jejaringnya.
Kelemahan paradigma Di luar integritas penegak hukum yang buruk,
faktor penghambat bagi gagalnya upaya asset recovery hasil kejahatan
korupsi adalah lemahnya paradigma undang-undang pemberantasan korupsi
yang kita anut. Dalam perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
yang dimaksudkan dengan kerugian negara adalah jumlah kerugian yang
dialami negara dari tindak pidana korupsi sesuai dengan nilai an sich
korupsi yang dilakukannya. Sederhananya, jika koruptor telah mencuri
uang senilai Rp 5 miliar dari kas negara, nilai kerugian negaranya
adalah Rp 5 miliar.

Paradigma di atas mengandung kelemahan yang mendasar karena pada
prinsipnya kerugian dari sebuah kejahatan tidak hanya sebatas sesuatu
yang material sifatnya. Belum lagi jika kita memperhitungkan waktu dan
nilai aktual dari sebuah praktek korupsi yang telah terungkap.
Maksudnya, jika korupsi terjadi pada 2007 sebesar Rp 5 miliar
sementara penegak hukum baru mengungkapnya pada 2010, secara riil
nilai kerugian itu sudah berubah karena nilai Rp 5 miliar pada 2007
akan berbeda dengan nilai Rp 5 miliar pada 2010.

Masalah lain yang terkandung dalam UU Tipikor: pengembalian nilai
kerugian negara hanya bisa dilakukan untuk kasus-kasus korupsi yang
dijerat dengan pasal 2 dan 3. Sementara itu, untuk praktek korupsi
lainnya, seperti suap-menyuap, yang bisa disita buat negara hanyalah
nilai suap yang bisa diungkap serta uang denda yang jumlahnya sudah
diatur secara pasti. Jika dalam sebuah kasus suapmenyuap yang
dijadikan target adalah penguasaan secara melanggar hukum hutan milik
negara beserta isinya, sesungguhnya nilai kerugian negara tetap ada.

Demikian pula jika kita contohkan pada kasus suap-menyuap untuk
mengurangi nilai pajak sebagaimana dalam ka sus Gayus, nilai kerugian
negara dari kejahatan suap-menyuap itu bisa dibilang sangat besar.
Kalkulasinya, su ap senilai Rp 20 miliar tentunya untuk menye lamatkan
hal lain yang jauh lebih besar, kare na nilai suap sangat ti dak
mungkin setara dengan nilai keuntungan yang diperoleh dari sisi
pemberi suap.

Pada intinya, usaha menyelamatkan dan mengembalikan harta tindak
kejahatan korupsi bukan sekadar dimaksudkan untuk mendapatkan kembali
kekayaan negara yang telah diambil oleh pelaku, tapi juga ditujukan
buat melumpuhkan organisasi kejahatan korupsi yang telah terbangun.
Hal ini karena organisasi kejahatan korupsi bisa terus terpelihara
jika hanya ada sumber finansial besar yang menyokong kehidupannya.

Karena itu, sudah waktunya pemerintah Indonesia serius mengadopsi dan
menjalankan prinsip konvensi UNCAC 2003, yang telah diratifikasi pada
2006.
Dengan bantuan komunitas internasional, upaya untuk memperkuat legal
framework dalam pemberantasan korupsi, khususnya pada aspek
penyelamatan kekayaan negara, lebih dapat dioptimalkan. Kita tentu
tidak ingin melihat lagi tersangka atau terdakwa korupsi masih bisa
mengikuti pemilihan kepala daerah dan menang karena sumber keuangannya
tidak pernah disentuh oleh otoritas penegak hukum.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/17/ArticleHtmls/17_01_2011_012_015.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: