Oleh Muhammad Teguh Surya
”We came to Cancun to save nature, forest, planet Earth.
We are not here to convert nature into a commodity.
We have not come here to revitalize capitalism with carbon markets.”
(Evo Morales, 10/12/2010)
Pidato Presiden Bolivia dalam pertemuan para pihak COP 16 (29 November-10 Desember 2010) menegaskan keberatan Bolivia terhadap Kesepakatan Cancun (Cancun Agreements) yang tidak mengakomodasi kepentingan dan keselamatan rakyat negara berkembang.
Sebaliknya, Kesepakatan Cancun justru memperkuat eksistensi negara Annex 1 untuk terus mencemari Bumi sekaligus memperkuat peran lembaga keuangan internasional (Bank Dunia) dan mekanisme pasar dalam mengatur pendanaan iklim. Substansi kesepakatan didominasi oleh semangat untuk mencari keuntungan ekonomi belaka.
Tak ada hal baru dengan Kesepakatan Cancun karena hanya mempertegas apa yang digariskan dalam Kesepahaman Kopenhagen (Copenhagen Accord/CPA). Bedanya Kesepakatan Cancun merupakan kesepakatan para pihak, Persetujuan Kopenhagen jadi catatan saja.
Kesepakatan Cancun juga tidak menggunakan istilah Annex 1, melainkan negara industri. Ini dapat dilihat sebagai upaya membiaskan tanggung jawab penurunan emisi negara Annex 1 kepada negara berkembang, seperti China, India, bahkan Indonesia, yang emisi gas rumah kaca (GRK) per kapitanya masih rendah.
Kesepakatan Cancun memang bukan keputusan final, tetapi menjadi fondasi awal pembuatan keputusan pada pertemuan COP 17 yang akan dilaksanakan di Durban, Afrika Selatan, 28 November–9 Desember 2011. Karena itu, kesepakatan ini penting dicermati agar keputusan yang akan dibuat tidak malah mempercepat kehancuran Bumi.
Persoalan mendasar
Beberapa persoalan mendasar yang patut diperhatikan adalah hasil COP 16 terang-terangan mempromosikan pasar karbon dan mekanisme offset—semacam tukar guling dalam program emisi—serta mengadopsi komitmen sukarela untuk menurunkan emisi berdasarkan iktikad baik setiap negara Annex 1.
Walaupun para pihak bersepakat melanjutkan negosiasi keberlanjutan Protokol Kyoto (Kyoto Protocol/KP) pasca-2012, belum ada tanda-tanda berapa target wajib penurunan emisi dari negara Annex 1, bagaimana mekanismenya, dan apakah komitmen kedua protokol masih mengikat secara hukum.
Sebaliknya kesepakatan yang muncul adalah memastikan agar antara komitmen pertama dan komitmen kedua tidak ada celah (gap). Butir kesepakatan ini dapat diartikan para pihak tidak ingin mengubah apa pun terkait dengan target penurunan emisi Annex 1 yang hanya 5,2 persen pada level tahun 1990, termasuk mekanisme pasar dan perdagangan karbon di dalamnya.
Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan semangat amandemen KP yang berfokus pada target penurunan emisi secara radikal oleh Annex 1: minimal 40 persen dan menghapuskan mekanisme perdagangan karbon untuk penurunan emisi.
Masih terkait dengan KP, para pihak juga bersepakat Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) menjadi acuan investasi dan penerapan teknologi ramah lingkungan guna menjamin keberlanjutan proyek-proyek penurunan emisi di negara berkembang. Implikasinya pada masa depan negara berkembang, yang akan menjadi mesin cuci karbon negara maju alias carbon laundering.
Selama ini proyek CDM hanya menguntungkan dan memperkaya korporasi dan investasi dari negara maju, termasuk para konsultannya. Ini mengingat dana diberikan kepada korporasi dan kredit karbon dijual di pasar karbon. Kredit karbon akan dibeli kembali oleh negara maju kemudian diklaim sebagai upaya penurunan emisi negara tersebut. Maka, tepat kiranya kalau kita sebut negara maju sedang merancang fondasi baru untuk bisnis investasi keuangan.
Sikap para pihak dalam COP 16, yang membenarkan negara maju menggunakan skema multilateral dan mekanisme pasar untuk menurunkan emisi serta menerapkan model pembangunan/ekonomi rendah karbon, merupakan langkah mundur karena semakin membahayakan kehidupan. Melalui skema tersebut, negara maju tidak akan menurunkan emisi secara nyata. Sebaliknya mereka akan memperbesar porsi carbon offset-nya dan memperkuat perdagangan karbon sehingga upaya penyelamatan iklim hanya di atas kertas.
Langkah mundur lainnya adalah kewajiban negara berkembang menurunkan emisi agar mendapatkan dukungan pendanaan dan alih teknologi dari negara maju. Hal ini tentu saja tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam KP.
Pendanaan iklim
Jika melihat kesepakatan terkait dengan pendanaan iklim jangka pendek, negara maju memperkuat komitmen untuk mendukung program mitigasi dan adaptasi di negara berkembang sebesar 30 miliar dollar AS sampai 2012 dan tambahan 100 miliar dollar AS pada 2020.
Sebelum Green Climate Fund terbentuk, pengelolaan dimandatkan kepada Bank Dunia. Dengan demikian, kebijakan pengalokasian dana bisa tidak independen karena kebijakan bank dunia disetir kepentingan negara maju dengan pola pengambilan keputusan one vote one dollar.
Dana di atas merupakan total dana. Tidak jelas berapa sebenarnya tanggung jawab negara maju. Bisa dikatakan ini adalah akal-akalan negara maju untuk mencari cara murah dan mudah untuk menghindar dari tanggung jawab. Jumlah tersebut juga sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan negara maju dari aktivitas merusak bumi, apalagi jika dibandingkan dengan dana yang dihabiskan negara berkembang untuk menangani bencana akibat perubahan iklim. Menurut Bolivia,
dana yang dibutuhkan negara berkembang 6 persen dari PDB negara maju.
Sehubungan dengan skema penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/REDD), para pihak bersepakat meningkatkan upaya reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan dukungan pendanaan dan teknologi negara maju. Namun, bagaimana hutan bisa diselamatkan jika definisi hutan belum jelas memisahkan hutan dengan perkebunan monokultur skala besar. Begitu pula dengan perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada sumber daya hutan.
Sangat disayangkan, dalam kesepakatan terkait dengan REDD, tujuan skema lebih membantu negara maju mengurangi emisi GRK-nya. Jadi, skema REDD belum sepenuhnya bertujuan untuk menyelamatkan hutan alam yang tersisa (intact natural forest) dan merehabilitasi kawasan hutan yang sudah terdegradasi.
Kalau sudah begini, apakah negosiasi model ”opera sabun” ini masih layak diteruskan?
Muhammad Teguh Surya Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Walhi dan anggota Majelis (Board) Friends of The Earth Asia Pacific
0 komentar:
Posting Komentar