BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Moratorium Pengiriman TKI Takutnya Malah Jadi Bumerang

Moratorium Pengiriman TKI Takutnya Malah Jadi Bumerang

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 11.57

WAWANCARA
Linda Amalia Sari Gumelar: Moratorium Pengiriman TKI Takutnya Malah Jadi Bumerang

RMOL. Gara-gara menolak pemberlakuan penghentian sementara alias moratorium pengiriman TKI, Menteri Linda Gumelar dicap tidak pro terhadap nasib TKI di luar negeri.


Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, curiga Linda Gumelar menolak moratorium lantaran khawatir nanti pemasu­kan APBN dari sektor tenaga kerja me­lorot.

Padahal di sisi lain TKI banyak yang menjadi korban ke­kerasan terutama para tenaga ker­ja wani­ta­nya. “Kan sudah jelas keba­nya­­kan bu­ruh migran yang menjadi kor­ban penyiksaan adalah perem­puan, kok malah tidak setuju moratorium,” kata Anis.

Pernyataan Anis itu ditanggapi tangkas oleh istri Agum Gumelar. Lin­da bilang, pada prinsipnya saya tidak me­nolak moratorium. Namun yang perlu diperhatikan adalah efek yang ditimbulkan dari morato­rium.

“Jadi bukan setuju atau tidak setuju pada moratorium. Yang kita takutkan moratorium malah jadi bumerang, sehingga para TKI protes lantaran hak mereka yang jelas-jelas dilindungi UUD 1945 tidak dilaksanakan oleh negara,” kata Linda kepada Rakyat Merdeka.

Nah, berikut ini wawancara lengkap dengan Linda Gumelar:

Karena menolak morato­rium TKI, anda diprotes para aktivis?
Secara prinsip saya tidak me­nolak moratorium. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah akibat dari pemberlakuan mora­torium tersebut.

Memang dampaknya apa saja yang bakal timbul jika mo­ratorium TKI dijalankan?
Apabila moratorium pengiri­man TKI diberlakukan, hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945, yakni pasal 27 ayat 2 yang me­nyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan peng­hi­dupan yang layak bagi kema­nusiaan”. Amanat ini menjelas­kan bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan peker­jaan dan penghidupan yang la­yak. Sehingga kebijakan morato­rium perlu kehati-hatian, karena dapat dianggap melanggar hak dasar manusia.

Selain itu kebijakan morato­rium TKI kemungkinan akan memicu pengiriman TKI ilegal. Hal ini didasari dengan kenyataan di lapangan, seperti yang diung­kap­kan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, bahwa peng­hentian sementara pengiriman secara resmi TKI ke Malaysia meningkatkan jumlah TKI ilegal. Selain itu bekerja secara ilegal memberikan dam­pak pada upah yang sangat ren­dah hingga 50 persen dari gaji normal. Banyak TKI kita yang ditangkap di luar negeri karena ilegal.

Ketidaksetujuan Anda pada moratorium bukannya karena khawatir nanti pendapatan pe­merintah dari sektor tenaga kerja melorot?
Kita tidak melihat dari sisi ekonomi, tapi pada perlindungan­nya. Jadi bukan setuju atau tidak setuju pada moratorium. Kita takut moratorium itu malah jadi bumerang, sehingga para TKI protes lantaran hak-hak mereka termasuk laki-laki dan perem­puan yang jelas-jelas dilindungi UUD 1945 diabaikan negara.

Jadi kita sama sekali tidak menginginkan masalah TKI ini jadi komoditas. Karena yang pen­ting menurut kita adalah perlin­dungannya.

Lantas menurut Anda saat ini apa saja yang dibutuhkan untuk melindungi TKI?
Yang harus dilakukan saat ini adalah pembenahan dalam negeri meliputi rekrutmen, pelatihan tenaga kerja, dan masalah kese­ha­tan. Kemudian yang paling penting adalah merevisi Undang-Undang No. 39/2004 Tentang Pe­nempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri.

Memangnya Undang-Un­dang TKI yang ada saat ini be­lum cukup melindungi TKI?
Karena di dalamnya lebih banyak bicara soal penempatan, pemberangkatan, namun sedikit bicara pada perlindungan semen­tara perlindungan itu kan me­mang haknya para pekerja khu­sus­nya perempuan.

Sangat disayangkan undang-undang sama sekali tidak menye­but perlindungan terhadap pe­rem­­puan, padahal TKI kita ham­pir 70 persennya adalah TKW (Tenaga Kerja Wanita).

Di situ hanya disebut perem­puan hamil tidak bisa menjadi te­naga kerja, jadi perlindungan pada perempuan sampai di situ saja.

Kementerian Anda sendiri su­dah melakukan upaya apa saja untuk menyelesaikan ma­salah TKI?
Masalah TKI ini memang di luar Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) kita yang tertuang da­lam Peraturan Presiden No. 24/2010. Tapi, beberapa kali saya ke luar negeri seperti saat meng­hadiri Summit Meeting di Malay­sia mewakili Ibu Negara karena beliau berhalangan hadir. Saya Bismillah berangkat supaya me­dia juga nggak menganggap saya mbalelo. Disana saya juga sempat wawancara di TV3 Malaysia ten­tang pentingnya hubungan antara kedua negara dalam menyele­saikan masalah TKI. Begitu juga Sumiati, pemerintah menaruh simpati dan perhatian besar ke­pada TKI khususnya pada perlin­dungan. Dan dari hasil kun­jungan itu, kami memberi masu­kan kepada Menakertrans, BNP2TKI antara lain, revisi Undang-Undang TKI, kita ikuti dan bantu sebisa mungkin walau kami bukan leading sector-nya.

Lalu...
Kedua, kami minta juga pada Menakertrans untuk lakukan pengetatan agar pengawasannya betul-betul dilakukan dengan baik. Kantong-kantong kemiski­nan yang warganya banyak jadi TKI itu dilakukan program pem­ber­dayaan dan bagaimana me­nyiap­kan agar yang diberangkat­kan nanti tidak lagi sektor infor­mal tapi formal. Kita juga menyiap­kan lima program bina keluarga TKI. Ini yang telah kita lakukan.

Masalah TKI ini jangan hanya menjadi pemikiran satu kemen­terian saja. Tapi perlu koordinasi dengan kementerian lain karena juga menyangkut BNP2TKI, Menakertrans, kepolisian, dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Serta Mendagri.

Dengan koordinasi dan pegeta­tan yang kuat tentunya akan ber­kelanjutan sehingga bisa mem­berikan hasil lebih baik.

Soal ‘PR’ tahunan yang hingga kini belum dilakukan di Kementerian Anda apa saja?
Dibuatnya Undang-Undang Kesetaraan Gender. Ini diperlu­kan sebagai payung buat keseta­raan perempuan dan laki-laki. Kemudian optimalisasi data ter­pilah khususnya masalah perem­puan dan anak. Ini juga salah satu jadi PR yang belum kita selesai­kan dan kita berharap 2011 bisa selesai. Hak sipil anak juga jadi perhatian kami, karena ini adalah hak mendasar dan juga menjawab masalah akte kelahiran.

Anda optimistis pelaku keke­rasan kepada TKI khususnya pe­rempuan di luar negeri akan ditindak hingga zero tolerance?
Tentu kita harap seperti itu, tapi ini kembali lagi pada kita. Selain menekan negara penerima seperti Arab Saudi yang memang tidak memberi perlindungan pada tenaga kerja dari sektor informal, diharapkan dengan pihak-pihak agen di sana betul-betul bisa me­lindungi tenaga kerja kita khu­susnya perempuan. Ini penting. Makanya perlu bargaining de­ngan negara penerima kita di­sana. Pengawasan di dalam negeri juga perlu diperketat, pela­tihan dilakukan dengan baik dan penegakan hukum. Selain itu pro­gram pemerintah yang tujuan­nya bisa mengurangi kemiskinan harus ditingkatkan agar bisa di­manfaatkan di kantong-kan­tong rekrutmen tenaga kerja, se­hingga tidak berminat lagi kerja di luar negeri. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=14356
Share this article :

0 komentar: