Linda Amalia Sari Gumelar: Moratorium Pengiriman TKI Takutnya Malah Jadi Bumerang
RMOL. Gara-gara menolak pemberlakuan penghentian sementara alias moratorium pengiriman TKI, Menteri Linda Gumelar dicap tidak pro terhadap nasib TKI di luar negeri.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, curiga Linda Gumelar menolak moratorium lantaran khawatir nanti pemasukan APBN dari sektor tenaga kerja melorot.
Padahal di sisi lain TKI banyak yang menjadi korban kekerasan terutama para tenaga kerja wanitanya. “Kan sudah jelas kebanyakan buruh migran yang menjadi korban penyiksaan adalah perempuan, kok malah tidak setuju moratorium,” kata Anis.
Pernyataan Anis itu ditanggapi tangkas oleh istri Agum Gumelar. Linda bilang, pada prinsipnya saya tidak menolak moratorium. Namun yang perlu diperhatikan adalah efek yang ditimbulkan dari moratorium.
“Jadi bukan setuju atau tidak setuju pada moratorium. Yang kita takutkan moratorium malah jadi bumerang, sehingga para TKI protes lantaran hak mereka yang jelas-jelas dilindungi UUD 1945 tidak dilaksanakan oleh negara,” kata Linda kepada Rakyat Merdeka.
Nah, berikut ini wawancara lengkap dengan Linda Gumelar:
Karena menolak moratorium TKI, anda diprotes para aktivis?
Secara prinsip saya tidak menolak moratorium. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah akibat dari pemberlakuan moratorium tersebut.
Memang dampaknya apa saja yang bakal timbul jika moratorium TKI dijalankan?
Apabila moratorium pengiriman TKI diberlakukan, hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945, yakni pasal 27 ayat 2 yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Amanat ini menjelaskan bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga kebijakan moratorium perlu kehati-hatian, karena dapat dianggap melanggar hak dasar manusia.
Selain itu kebijakan moratorium TKI kemungkinan akan memicu pengiriman TKI ilegal. Hal ini didasari dengan kenyataan di lapangan, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, bahwa penghentian sementara pengiriman secara resmi TKI ke Malaysia meningkatkan jumlah TKI ilegal. Selain itu bekerja secara ilegal memberikan dampak pada upah yang sangat rendah hingga 50 persen dari gaji normal. Banyak TKI kita yang ditangkap di luar negeri karena ilegal.
Ketidaksetujuan Anda pada moratorium bukannya karena khawatir nanti pendapatan pemerintah dari sektor tenaga kerja melorot?
Kita tidak melihat dari sisi ekonomi, tapi pada perlindungannya. Jadi bukan setuju atau tidak setuju pada moratorium. Kita takut moratorium itu malah jadi bumerang, sehingga para TKI protes lantaran hak-hak mereka termasuk laki-laki dan perempuan yang jelas-jelas dilindungi UUD 1945 diabaikan negara.
Jadi kita sama sekali tidak menginginkan masalah TKI ini jadi komoditas. Karena yang penting menurut kita adalah perlindungannya.
Lantas menurut Anda saat ini apa saja yang dibutuhkan untuk melindungi TKI?
Yang harus dilakukan saat ini adalah pembenahan dalam negeri meliputi rekrutmen, pelatihan tenaga kerja, dan masalah kesehatan. Kemudian yang paling penting adalah merevisi Undang-Undang No. 39/2004 Tentang Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri.
Memangnya Undang-Undang TKI yang ada saat ini belum cukup melindungi TKI?
Karena di dalamnya lebih banyak bicara soal penempatan, pemberangkatan, namun sedikit bicara pada perlindungan sementara perlindungan itu kan memang haknya para pekerja khususnya perempuan.
Sangat disayangkan undang-undang sama sekali tidak menyebut perlindungan terhadap perempuan, padahal TKI kita hampir 70 persennya adalah TKW (Tenaga Kerja Wanita).
Di situ hanya disebut perempuan hamil tidak bisa menjadi tenaga kerja, jadi perlindungan pada perempuan sampai di situ saja.
Kementerian Anda sendiri sudah melakukan upaya apa saja untuk menyelesaikan masalah TKI?
Masalah TKI ini memang di luar Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) kita yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 24/2010. Tapi, beberapa kali saya ke luar negeri seperti saat menghadiri Summit Meeting di Malaysia mewakili Ibu Negara karena beliau berhalangan hadir. Saya Bismillah berangkat supaya media juga nggak menganggap saya mbalelo. Disana saya juga sempat wawancara di TV3 Malaysia tentang pentingnya hubungan antara kedua negara dalam menyelesaikan masalah TKI. Begitu juga Sumiati, pemerintah menaruh simpati dan perhatian besar kepada TKI khususnya pada perlindungan. Dan dari hasil kunjungan itu, kami memberi masukan kepada Menakertrans, BNP2TKI antara lain, revisi Undang-Undang TKI, kita ikuti dan bantu sebisa mungkin walau kami bukan leading sector-nya.
Lalu...
Kedua, kami minta juga pada Menakertrans untuk lakukan pengetatan agar pengawasannya betul-betul dilakukan dengan baik. Kantong-kantong kemiskinan yang warganya banyak jadi TKI itu dilakukan program pemberdayaan dan bagaimana menyiapkan agar yang diberangkatkan nanti tidak lagi sektor informal tapi formal. Kita juga menyiapkan lima program bina keluarga TKI. Ini yang telah kita lakukan.
Masalah TKI ini jangan hanya menjadi pemikiran satu kementerian saja. Tapi perlu koordinasi dengan kementerian lain karena juga menyangkut BNP2TKI, Menakertrans, kepolisian, dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Serta Mendagri.
Dengan koordinasi dan pegetatan yang kuat tentunya akan berkelanjutan sehingga bisa memberikan hasil lebih baik.
Soal ‘PR’ tahunan yang hingga kini belum dilakukan di Kementerian Anda apa saja?
Dibuatnya Undang-Undang Kesetaraan Gender. Ini diperlukan sebagai payung buat kesetaraan perempuan dan laki-laki. Kemudian optimalisasi data terpilah khususnya masalah perempuan dan anak. Ini juga salah satu jadi PR yang belum kita selesaikan dan kita berharap 2011 bisa selesai. Hak sipil anak juga jadi perhatian kami, karena ini adalah hak mendasar dan juga menjawab masalah akte kelahiran.
Anda optimistis pelaku kekerasan kepada TKI khususnya perempuan di luar negeri akan ditindak hingga zero tolerance?
Tentu kita harap seperti itu, tapi ini kembali lagi pada kita. Selain menekan negara penerima seperti Arab Saudi yang memang tidak memberi perlindungan pada tenaga kerja dari sektor informal, diharapkan dengan pihak-pihak agen di sana betul-betul bisa melindungi tenaga kerja kita khususnya perempuan. Ini penting. Makanya perlu bargaining dengan negara penerima kita disana. Pengawasan di dalam negeri juga perlu diperketat, pelatihan dilakukan dengan baik dan penegakan hukum. Selain itu program pemerintah yang tujuannya bisa mengurangi kemiskinan harus ditingkatkan agar bisa dimanfaatkan di kantong-kantong rekrutmen tenaga kerja, sehingga tidak berminat lagi kerja di luar negeri. [RM]


0 komentar:
Posting Komentar