BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kevakuman Musik Kritik

Kevakuman Musik Kritik

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.07

Kevakuman Musik Kritik
Aris Setiawan, ETNOMUSIKOLOG, PENGAJAR DI INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA

Dalam kesunyian musik kritik, menjadi ironis, musisi yang awalnya bergelut dengannya kini harus berakhir pula sebagai musisi yang biasa-biasa saja. Contohnya, ya, Iwan Fals. Ia pun kini tampaknya turut larut dalam romantisisme tema cinta-cintaan dan asmara.

Musik pop Indonesia kini telah berkembang pesat. Hal ini di tandai dengan banyaknya acara di layar televisi yang mengusung musik sebagai tema utamanya.
Walaupun demikian, justru musik dewasa ini telah berubah menjadi begitu glamor. Musik tidak lagi harus merekam jejak momen penting layaknya semangat militansi perjuangan dulu dengan lahirnya lagu-lagu nasionalis. Musik kini menjadi begitu feminin dengan menjajakan "cinta atau asmara"sebagai tema utamanya, terlebih untuk tema "kritik", kini telah luput dari bidikan.

Seakan ada yang tertinggal oleh kemarakan dalam dunia bunyi. Musik kritik sebagai musik yang bertema kritik kini tidak lagi menarik perhatian media massa. Musik kritik sebagai suara, tetapi yang paling tak terdengar oleh publik.
Ketika berbagai penghargaan musik diberlangsungkan, dari banyaknya kategori, belum ada nominasi yang mengarah pada kategori musik kritik. Semua tema berbau romantisisme cinta-cintaan dan asmara semata.

Sebelumnya, salah satu pemicu musik kritik Indonesia yang cukup terkenal adalah Iwan Fals. Iwan dengan lagu-lagunya yang khas, seperti Bento (1989), Umar Bakri (1981), Tikus-tikus Kantor (1986), telah berhasil menulis fakta sejarah dengan mengusung musik kritiknya, yang di kemudian hari dikenal sebagai "nyanyian suara rakyat"(Irawan, 2004).

Keberhasilan musik kritik tidak hanya pernah terjadi di dalam negeri. Simak saja Bob Marley dengan semangat tema musiknya yang antirasis, yang di kemudian hari turut membawa masyarakat Jamaika ke zaman perubahan. Atau Sex Pistol lewat syair-syair lagunya yang menyuarakan semangat antikolonial, aborsi, kekejaman, yang di kemudian hari mengharumkan namanya untuk dikenal masyarakat Inggris.

Dalam dunia musik kritik, bunyi tidak lagi memproduksi untaian nada-nada indah, melainkan menjadi segumpal teks yang penuh makna. Dinamika, tempo, orkestrasi, ritme, warna nada, hanyalah bagian kecil dari panorama musikal yang berusaha mendukung narasi teks utama sebagai sebuah tema. Bunyi tidak lagi diproduksi untuk ruangnya yang estetis, melainkan lebih mengedepankan sisi etisnya. Etika mengalahkan estetika.

Bunyi dalam musik kritik adalah akumulasi dari rajutan resistensi pada fenomena yang terjadi. Dengan demikian, apa pun dapat menjadi temanya. Politik, budaya, alam, gender, hukum, ekonomi, kekerasan adalah wajah-wajah yang dapat lahir sebagai bidikan tema utama.
Sayang, selama ini kritik terhadap wajah-wajah itu hanya muncul dalam barisan huruf pada surat kabar, deretan kata dan gambar dalam media elektronik.
Selebihnya, dalam untaian nada teks musik, wajah-wajah itu kini menjadi begitu tabu. Kevakuman terjadi setelah era Iwan Fals. Indonesia mandul musik kritik.
Sebuah resistensi Musik kritik muncul sebagai penolakan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi. Iwan Fals lewat lagunya, Wakil Rakyat (1987), lahir dari fakta perilaku birokrat yang tidur waktu sidang soal rakyat. Ebiet G. Ade, dengan lagunya Berita Kepada Kawan (1995), adalah kritik terhadap perusakan alam dan bencana di Indonesia. Musik kritik lahir bukannya mengada-ada (superficial), melainkan didasari pergulatan panjang dalam mencerna sebuah fenomena.

Musik kritik tidak bermaksud memberi jawaban yang solutif terhadap apa yang dikritiknya. Tugas kritikus hanyalah mengkritik (Dharsono, 2007), begitu pula dalam musik. Pelaku musik kritik bukanlah ekonom, budayawan, politikus, yang dapat memberi solusi. Pelaku musik kritik hanyalah seniman atau musisi biasa dengan berbagai keterbatasannya. Karena itu, Ebiet G. Ade pun tidak memberikan jalan keluar pada musik kritiknya.
Kalaupun ada, hanya "tanyakan pada rumput yang bergoyang".

Terjun dalam dunia musik kritik membutuhkan keberanian. Hanya orangorang bernyali yang mampu. Tanyakan seberapa sering Iwan Fals harus berurusan dengan polisi ketika musik kritiknya menggema di era Orde Baru dulu. Seberapa sering pula ia harus dicekal ketika melakukan pementasan. Layaknya kitab Kama Sutra di India, ia dicekal namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Begitu juga Iwan. Musik kritiknya dilarang, namun di kemudian hari menjadi musik yang kehadirannya paling dinanti, hingga menjadikannya seorang pahlawan. Bahkan majalah Time Asia (April, 2002) menyebutnya sebagai Pahlawan Asia--"The Asian Heroes".

Pada sisi keuntungan, musik kritik sama sekali tidak berhubungan dengan perhitungan yang materialistik. Bukan hasil finansial yang dicoba digapai. Kalaupun ada, hanyalah efek sampingan semata. Musik kritik mengajarkan kepada musisi atau seniman untuk tanggap terhadap fenomena, lebih toleran terhadap sesama. Tidak penting seberapa laris musik kritiknya, namun seberapa besar efek yang disandang dari temanya.

Wajar jika untuk saat ini belum ada (atau bahkan tidak ada) yang berani terjun ke dunia musik ini. Musik-musik pada umumnya kini memburu materi dan popularitas, bukan kebulatan tekad dalam menyampaikan suara hati nurani dalam mewakili kaum-kaum yang tertindas.

Dalam kesunyian musik kritik, menjadi ironis, musisi yang awalnya bergelut dengannya kini harus berakhir pula sebagai musisi yang biasa-biasa aja.
Contohnya, ya, Iwan Fals. Ia pun kini tampaknya turut larut dalam romantisisme tema cinta-cintaan dan asmara.
Atau mungkin musik kritik kini justru telah banyak tercipta, termasuk Iwan, namun media yang tak mau menjamahnya.

Karena itu, di balik kondisi negara yang semakin tidak menentu ini, ditandai dengan berbagai persoalan layaknya korupsi, kekerasan, hukum, bencana alam, seharusnya Indonesia mampu memicu munculnya banyak musik kritik. Sayang, hingga detik ini musik kritik Indonesia masih bisu terhadap berbagai persoalan tersebut, bahkan ternyata menjadikannya justru semakin mandul.






http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_010_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: