BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » "Dua Indonesia"

"Dua Indonesia"

Written By gusdurian on Sabtu, 22 Januari 2011 | 08.37

KOLOM POLITIK-EKONOMI



BUDIARTO SHAMBAZY

Rakyat telah berpaling ke tokoh lintas agama karena aspirasi mereka
tidak lagi tersalurkan melalui DPR, partai-partai—kecuali kelompok
oposisi—atau para politisi. Daftar 18 kebohongan pemerintah plus data
yang disiapkan badan pekerja akurat adanya.

Tolong dipahami tokoh lintas agama tidak memiliki kepentingan politik
transaksional. Fungsi utamanya, seperti kata Buya Syafii Maarif,
mengingatkan pemimpin/pejabat/politisi yang ”merasa benar walaupun
berada di jalan yang sesat”.

Pesan sentral/esensial pernyataan-pernyataan tokoh lintas agama: kini
terjadi pengingkaran UUD 1945 di bidang ideologi, sosial, politik,
ekonomi, hukum, dan lain-lain.

Dua immediate problem yang mengingkari UUD 1945, yaitu Gayusgate dan
Centurygate. Belum lagi masalah laten, seperti pemberantasan korupsi
yang tebang pilih, rekening gendut jenderal-jenderal polisi,
kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan intoleransi agama.

Pemerintah tersentak, tersinggung, reaktif, defensif, bahkan terkesan
panik. Istana segera mengundang tokoh lintas agama, langkah awal untuk
saling dialog yang, sayangnya, kurang cair, serba protokoler, dan
tertutup.

Masuk akal sebagian masyarakat kecewa karena pola komunikasi Istana
belum juga berubah. Sebagian menganggap barangkali pertemuan itu masih
ada manfaatnya. Sebagian lagi tak peduli.

Idealnya, tokoh lintas agama mengundang Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk dialog (bukan monolog) yang cair dan informal. Lebih
ideal lagi dialog berlangsung terbuka dan disiarkan langsung agar
rakyat dapat menyaksikan.

Kita perlu konsensus baru agar pemerintah berjalan selamat sampai
tahun 2014. Di lain pihak, ada rasa khawatir akan terjadi gejolak
politik yang hasil akhirnya bisa tidak terkirakan oleh siapa saja.

Sebagian kritik tokoh lintas agama menyebut ancaman kita memasuki
periode negara gagal. Sejatinya negara dan bangsa belum gagal. Namun,
para pemimpinlah yang gagal.

Kita memasuki proses pembusukan politik (political decay) yang diawali
oleh legitimasi Pemilu/Pilpres 2009 yang disengketakan sampai ke
Mahkamah Konstitusi. Setelah itu terjadi peristiwa sosial dan politik
yang absurd, yaitu cicak vs buaya, Centurygate, rekening gendut,
Gayus, serangan terhadap kebinekaan, dan seterusnya.

Kita menunggu-nunggu penyelesaian berbagai masalah. Namun, yang
terjadi malah penantian sia-sia yang membuat masyarakat otomatis
kehilangan harapan. Kita malah menyaksikan sinetron politik yang tidak
lucu yang dimainkan oleh pemimpin dan politisi amatiran.

Pembusukan politik itulah yang menjadi ancaman karena sejatinya
pembusukan politik akan dilanjutkan oleh proses delegitimasi pemegang
kekuasaan, dan itu sudah terjadi di berbagai kalangan masyarakat yang
makin hari makin dipusingkan oleh frustrasi sosial.

Memang sejak 2009 pemimpin, pejabat, dan politisi bangsa ini
kehilangan akal sehat, hati nurani, dan budi pekerti. Kita tidak lagi
menaungkan diri pada kebajikan-kebajikan (virtues) sebagai bangsa
besar, seperti sikap patriotis, asas musyawarah mufakat, demokratis,
dan religius.

Penguasa selalu merasa benar, padahal keliru. Mereka enggan berdialog,
hanya kuat bermonolog untuk menyembunyikan kelemahan-kelemahan semata.
Nyaris tidak ada deal politik transformatif yang mencerahkan. Semuanya
bersifat transaksional belaka.

Mereka abai terhadap penderitaan rakyat. Pada saat pengemplangan pajak
merugikan negara sampai triliunan rupiah, mereka bicara tentang
rencana memajaki warung tegal.

Ketika Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara yang mengalami
kelaparan pada tingkat yang gawat, DPR sudah menghabiskan uang
konsultasi Rp 18 miliar untuk membangun gedung baru. Belum-belum sudah
bicara Pemilu/Pilpres 2014 yang jelas politically incorrect and
morally wrong.

Tampak jelas mulai muncul tabiat negara yang mengabaikan nasib rakyat
miskin yang butuh pelayanan publik memadai, fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang terjangkau, serta tempat tinggal yang nyaman. Pendek
kata, mereka sudah kehilangan elan untuk mengemong rakyat.

Mungkin tepat sekali jikalau kata ”mafia” kini telah merasuki alam
pikiran dan praksis kita. Ternyata pemegang kekuasaan di negeri ini
bukan pemerintah, daulat juga bukan lagi milik rakyat. Kedua-duanya
sudah dikuasai mafia.

Mafia adalah dunia bawah tanah yang gelap, sumpek, dan kurang waras.

Jika diibaratkan, mafioso tak lebih dari sekadar makhluk bernama ”Uruk-
hai” di film The Lord of the Rings yang berasal dari bawah tanah yang
gemar memangsa manusia biasa.

Jangan heran dalam kondisi berbahaya ini tokoh lintas agama turun
tangan untuk mengambil alih peran memimpin bangsa. Mereka sama seperti
mahasiswa pada 1998 yang menjadi the higher power yang menentukan apa
yang akan terjadi ke depan.

Sudah tepat jika tokoh lintas agama mengintroduksi kata ”pengingkaran
UUD 1945” yang dibalut erat dengan satu kata yang teramat penting:
bohong. Kata itu benar adanya dan berkhasiat agar kita jangan terus
saja meracau dan merana.

Kita sedang menjalani kisah tentang ”Dua Indonesia” karena elite yang
memerintah (the ruling elite) telah menarik garis berseberangan dan
nekat bertentangan dengan rakyatnya. Satu Indonesia yang bergelimang
rekening-rekening miliaran rupiah versus satu Indonesia yang mau
bekerja dan makan saja susah.

Satu Indonesia yang menutup telinga versus satu Indonesia yang
berteriak nyaring menuntut hak-haknya. Satu Indonesia yang
mempermainkan agama versus satu Indonesia yang merindukan kejayaan
bendera dwiwarna.

Satu Indonesia yang bekerja mati-matian versus satu Indonesia yang
enggan menyingsingkan lengan baju karena lebih doyan berwacana. Satu
Indonesia yang sudah terlalu boros dengan tabungan politiknya versus
satu Indonesia yang telanjur putus asa.

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/03302619/dua.indonesia
Share this article :

0 komentar: