Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Jangan-jangan kebohongan yang diindikasikan para pemuka agama memang
berawal dari dunia pendidikan yang juga melakukan praktik kebohongan."
KEJUJURAN harus terus didengungkan dan diajarkan di rumah, sekolah,
dan ruang publik. Sebaliknya, kebohongan harus terus-menerus diserukan
untuk dihindari dan ditinggalkan.
Kejujuran sangat sulit diajarkan, tapi mudah jika diamalkan.
Sebaliknya, kebohongan sangat mudah diajarkan dan mudah pula
mengamalkannya.
Kebohongan tak perlu guru untuk diketahui dan diamalkan, karena bohong
merupakan produk pikiran yang tak terjamah hati dengan baik. Inilah
kritik terbesar produk pengajaran dan pendidikan kita, yang
menempatkan akal dan pikiran sebagai alat untuk mengukur tingkat
keberhasilan seseorang.
Kita saksikan bagaimana perilaku masyarakat kita saat ini, termasuk
perilaku pemerintah yang diduga sedang melakukan praktik pembohongan
publik. Kritik para tokoh agama yang mengatakan
bahwa pemerintah berbohong memang sejalan dengan lemahnya bukti
konkret dari janjijanji semasa kampanye dulu.
Memang tidak enak dicap pembohong, apalagi yang bersuara adalah para
penjaga moral bangsa yang mengusung suara kenabian. Pemerintah memang
sedang diuji secara publik, apakah cap `bohong' patut mereka sandang
atau tidak. Agenda pendidikan publik sedang menguji kebenaran stigma
bohong dalam bingkai besar kesadaran masyarakat yang sedang macet
karena minimnya keteladanan.
Minimnya keteladanan adalah problem terbesar proses belajar mengajar
di ruang-ruang kelas. Mengajar yang baik sesungguhnya sangat mudah,
termasuk dalam mengajarkan kejujuran. Seorang guru hanya perlu
memberikan hatinya dalam mengajar, sambil tak bosan memberi contoh dan
suri teladan yang baik bagi anak didiknya. Inilah masalahnya,
keteladanan sering dilupakan karena tak pernah masuk dalam lesson
design para guru. Tak percaya? Silakan cek dan periksa lesson design
para guru dalam portofolio yang biasanya sangat kaku dan rigid. Hampir
semua indikator keberhasilan sebuah pembelajaran selalu berakhir
dengan ukuran kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa. Tak satu pun
indikator keberhasilan proses belajar mengajar dalam lesson design
mencantumkan capaian guru dalam memberikan keteladanan.
Bisakah minimnya keteladanan dalam proses belajar mengajar di sekolah
dapat dikatakan sebagai bentuk kebohongan dalam dunia pendidikan kita?
Tergantung dari mana kita melihat dan perspektif apa yang kita
gunakan. Jika kita memandang titik tekan sistem pendidikan pada input
dan output, dapat dipastikan aspek keteladanan yang hilang dalam dunia
pendidikan kita
bukanlah sebuah kebohongan.
Namun, jika kita adalah penikmat proses pendidikan yang baik dan benar
serta berorientasi pada keragaman gaya belajar dan mengajar,
keteladanan pastilah sesuatu yang inheren dengan proses belajar
mengajar. Lantas bagaimana dengan ujian nasional (UN) dan bantuan
operasional sekolah (BOS), apakah termasuk juga di antara kebohongan
dalam dunia pendidikan kita?
Ujian nasional konon mengajarkan banyak kebohongan, baik dari aspek
kebijakan maupun implementasi. Sudah sering didengungkan bahwa
pendidikan kita adalah penganut kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) yang memberikan sekolah keleluasaan dalam mendesain dan
mengevaluasi proses belajar dan mengajar.
Namun, faktanya posisi tawar sekolah selalu kalah dalam urusan
penentuan kelulusan siswa dalam evaluasi akhir, terutama dengan model
ujian nasional seperti sekarang ini.
Dana BOS juga bisa dianggap sebagai kebohongan, terutama jika dilihat
dari cara penghitungan per kepala. Bayangkan, nilai kebutuhan biaya
pendidikan anak di Menteng sama dengan kebutuhan anak di Jayapura dan
Aceh yang masih minim fasilitas.
Kebohongan lain dari implementasi dana BOS bisa juga ditelusuri dari
cara dinas pendidikan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
mendata jumlah siswa di sekolah. Pengalaman menarik tentang data siswa
diperoleh teman-teman Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) yang
melakukan riset tentang tingkat keberagamaan guru agama dan siswa SMP-
SMA se-Jabodetabek. Sebulan lebih data coba diperoleh dari
Kemendiknas, tetapi datanya sangat tak memuaskan. Setelah diveriļ¬ kasi
ke tingkat sekolah, ternyata data dari Kemendiknas invalid hingga rata-
rata
17%. Alih-alih ingin melihat tingkat keberagamaan guru dan siswa, yang
diperoleh di awal malah indikator korupsi karena data siswa yang
menjadi sumber penghitungan dana BOS kurang bisa
dipertanggungjawabkan. Ini baru di Jabodetabek. Tak bisa dibayangkan
bagaimana daerah lain yang minim akses. Padahal validitas data siswa
berkorelasi langsung terhadap penyediaan dana BOS yang jumlahnya lebih
dari Rp15 triliun.
Sekali lagi, jangan-jangan praktik kebohongan yang diindikasikan para
pemuka agama terhadap pemerintah saat ini memang berawal dari dunia
pendidikan yang juga melakukan praktik kebohongan. Jika ini benar,
perangkap lingkaran setan kebohongan menjadi sangat sulit diputus,
apalagi dan terutama jika kebohongan itu diproduksi lembaga pendidikan
yang seharusnya mengajarkan norma kejujuran dengan keteladanan.
Wallahu a'lam bis-sawab.
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar