BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Infotainmen, Jurnalisme dan Sensor

Written By gusdurian on Senin, 26 Juli 2010 | 12.06

Amir Effendi Siregar, KETUA PEMANTAU REGULASI DAN REGULATOR MEDIA (PR2MEDIA)
Infotainmen kini ramai lagi dibicaraI kan, termasuk oleh para akademisi dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bebe rapa media bahkan menulis editorial.
Pembicaraan dan diskusi berkisar soal apakah infotainmen itu program faktual atau nonfaktual. Apakah infotainmen itu jurnalisme. Apakah ia perlu disensor.

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membagi dua program siaran, yaitu 1) Program faktual, antara lain berita, konsultasi on air, infotainmen, reality show, kuis, dan program sejenis tanpa rekayasa. 2) Program nonfaktual, antara lain drama, mu sik, dan program sejenis yang bersifat rekayasa dan bersifat menghibur.

Pada P3SPS itu, infotainmen diklasifikasikan seba gai program faktual.
Dalam kenyataannya, menurut pendapat saya, infotainmen bisa menjadi program fak tual maupun nonfaktual.
Infotainmen mengutamakan hiburan dan bergerak zigzag.
Dalam bentuknya yang sekarang mengeksploitasi masalah-masalah yang bersifat pribadi dan teruta ma bukan untuk kepentingan umum.

Apakah infotainmen itu jurnalisme? Jurnalisme adalah program faktual, namun tidak semua program faktual adalah jurnalisme. Dalam jurnalisme terkandung idealisme. Ada ideologi, yaitu usaha memberikan informasi untuk pemberdayaan masyarakat. Bill Kovach dan Tom Rosentiel merumuskan bahwa tujuan utama jurnalisme adalah menyedia kan informasi yang dibutuhkan publik agar mereka bisa hidup mer deka dan mengatur diri sendiri. Pada sembilan elemen jurnalismenya, antara lain disebutkan kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran dan loyalitas pertama adalah pada kepentingan publik. Selanjutnya harus memperhatikan nilai berita, antara lain aktualitas, penting, dan mempunyai efek yang besar bagi kepentingan publik. Dalam penyajiannya harus memperhatikan kode etik jurnalistik.

Dalam hubungan dengan kegiatan jurnalistik, Undang-Undang Penyiaran menyatakan bahwa wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tunduk pada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 42). Itu berarti merujuk juga pada Undang-Undang Pers dalam pasal 1, yang menyatakan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Inilah yang dijadikan dasar oleh praktisi infotainmen untuk menyatakan kegiatan mereka adalah jurnalistik. Padahal Undang-Undang Pers harus dibaca lebih dalam, informasi apa yang harus dicari dan untuk apa. Harus dibaca asas, fungsi, dan peranan yang menyatakan antara lain bahwa pers nasional melaksanakan peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, melakukan pengawasan dan kritik dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran (pasal 6). Undang-Undang Pers juga secara jelas menyatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Mukadimah KEJ secara jelas merumuskan ideologi jurnalisme.

Dengan demikian, jurnalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis penyajian, melainkan juga terdapat idealisme dan ideologi yang terkandung di dalamnya.

Jurnalistik adalah bentuk implementasi dari ideologi jurnalisme. Secara jelas, ber
dasarkan berbagai referensi dan peraturan perundang-undangan, infotainmen yang kita kenal sekarang ini di Indonesia tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme, oleh karenanya bukan produk jurnalisme.
Sensor Lantas apakah infotainmen perlu disensor? Hal ini harus dilihat secara hati-hati.
Undang-Undang Pers dengan tegas mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Ini berlaku terutama terhadap kegiatan jurnalistik. Sensor dimaksudkan sebagai penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi sebelum diterbitkan atau ditayangkan. Pada prinsipnya, sensor merupakan ciri negara otoriter.

Undang-Undang Penyiaran pada prinsipnya juga menghindari sensor. Artinya, wewenang tersebut diberikan kepada badan yang berwenang karena peraturan perundang-undangan untuk itu masih ada, yaitu Undang-Undang Perfilman dengan Lembaga Sensor Film (Pasal 47 UU Penyiaran). Meskipun begitu, saat ini banyak pihak menggugat agar Lembaga Sensor Film diganti dengan lembaga klasifikasi film, yang berlaku di banyak negara demokrasi.

KPI harus menghindarkan diri dari usaha melakukan sensor dan tidak boleh melakukan sensor. Namun secara tegas menegakkan P3SPS, baik terhadap program faktual maupun nonfaktual, termasuk menjatuhkan sanksi maksimal dan tegas.
Wewenang untuk itu telah tegas diberikan oleh Undang-Undang Penyiaran maupun peraturan pemerintah.

Demokratisasi media harus menjamin kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Harus diikuti oleh jaminan terhadap keanekaragaman isi dan kepemilikan. Bila tidak, akan ada otoritarianisme kapital dan monopoli informasi. Selanjutnya, harus ada jaminan terhadap klasifikasi dan distribusi media yang sesuai dengan khalayaknya. Seluruhnya berjalan pada asas dan etika yang sehat. Kita berharap isi media akan bertambah baik dan sehat. Semoga.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/07/24/ArticleHtmls/24_07_2010_010_029.shtml?Mode=1

Anies Baswedan: Guru sebagai Garda Depan Indonesia

Anies Baswedan: Guru sebagai Garda Depan Indonesia
SAYA punya keyakinan bahwa kita bersama bisa saling dukung untuk kemajuan republik ini. Sejarah telah membuktikan bahwa republik kita berdiri dan maju seperti sekarang karena ditopang oleh pemuda tecerdaskan, tangguh, dan energik.

Hari ini kondisi kita jauh lebih maju daripada saat kita menyatakan merdeka. Saat republik berdiri, angka buta hurufnya 95 persen. Saya membayangkan betapa berat beban para pemimpin republik muda yang rakyatnya tidak mampu menulis, meski hanya menuliskan namanya sendiri. Hari ini, angka buta huruf itu tinggal 8 persen.

Melek huruf adalah langkah awal. Langkah berikutnya adalah akses ke pendidikan berkualitas bagi tiap anak sebagai kunci mengonversi keterbelakangan jadi kemajuan. Garda terdepan dalam soal ini adalah guru. Di balik perdebatan yang rumit dan panjang soal pendidikan, berdiri para guru. Mereka bersahaja, berdiri di depan anak didiknya; mendidik, merangsang, dan menginspirasi. Dalam impitan tekanan ekonomi, guru tetap hadir untuk anak Indonesia. Hati mereka bergetar setiap melihat anak-anak itu menjadi "orang". Pada pundak guru, kita titipkan persiapan masa depan republik ini.

Sekarang kita menghadapi masalah variasi kualitas dan distribusi guru. Menghadapi masalah itu, kita bisa berkeluh kesah, menyalahkan, dan mengkritik. Tapi, kita juga bisa singsingkan lengan baju dan berbuat sesuatu. Saya sedang mengajak semua untuk turun tangan. Melibatkan diri dalam mempersiapkan masa depan republik; menyiapkan masa depan anak-anak negeri dan melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saya dan banyak kawan seide kini sedang mengembangkan program Indonesia Mengajar, sebuah inisiatif dengan misi ganda: Pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah dasar, terutama di daerah terpencil; dan kedua menyiapkan anak muda terdidik untuk jadi pemimpin masa depan yang memiliki kedekatan dengan rakyat kecil di pelosok negeri.

Kami undang putra-putri terbaik untuk menjadi Pengajar Muda, menjadi guru SD selama satu tahun di daerah pelosok, bahkan terpencil.

Sebagai Pengajar Muda, Anda adalah role model dan sumber inspirasi di tempat yang baru itu. Menggandakan semangat, menyebarkan harapan dan optimisme; hal-hal yang selama ini terlihat defisit.

Bukan hanya itu, selama setahun menghadapi tantangan, mulai sekolah yang minim fasilitas, masyarakat yang jauh dari informasi, sampai dengan kemiskinan yang merata; itu semua adalah wahana tempaan untuk pengembangan diri. Ini juga tantangan untuk mengeluarkan seluruh potensi guna mendorong kemajuan.

Satu tahun di pedalaman itu akan menjadi semacam leadership training yang betul-betul bermutu. Melampaui tantangan dan berbagai kesulitan adalah bekal diri dan resep untuk sukses di kemudian hari. Apalagi, kita semua tahu bahwa: You are a leader only if you have follower. Keberhasilan sebagai leader bagi anak-anak SD di daerah terpencil itu adalah pengalaman leadership yang konkret. Anak-anak akan memiliki, mencintai, menyerap ilmu, mengambil inspirasi dari gurunya. Anda sebagai guru dalam setahun akan terus hadir dalam hidup mereka seumur hidup.

Sebelum berangkat, akan ada pelatihan yang komplet sebagai bekal untuk mengajar, hidup, dan berperan di daerah pelosok dan terpencil. Anda juga akan dilengkapi dengan teknologi penunjang selama program dan jaringan yang luas untuk memilih karir sesudah selesai mengabdi sebagai Pengajar Muda. Selama menjadi Pengajar Muda, Anda tidak dibiarkan sendirian.

Dengan selesainya program itu, para guru bisa kembali untuk meniti karir di berbagai bidang. Mendarmabaktikan diri selama setahun menjadi Pengajar Muda tidak akan membuat Anda terlambat jika dibandingkan dengan kawan-kawan yang langsung kerja. Lembaga publik, swasta, dan masyarakat akan mencatatnya sebagai anak-anak muda pintar dengan bekal pengalaman, kepemimpinan kuat, dan konstruktif.

Indonesia butuh garda depan di berbagai sektor. Para Pengajar Muda akan menjadi insan yang tangguh dengan modal pemahaman mendalam tentang bangsa sendiri. Pada saatnya, Anda adalah seorang CEO, guru besar, pejabat tinggi, atau yang lainnya. Saat itu, di posisi apa pun, Anda selalu bisa mengatakan bahwa "Saya pernah mengajar di desa terpencil, sebagai guru yang mengabdi untuk bangsa ini". Sekarang ini, sedikit sekali figur pemimpin yang sanggup mengatakan kalimat pengabdian seperti itu.(*)

*) Penulis adalah rektor Universitas Paramadina dan ketua Gerakan Indonesia Mengajar anies.baswedan@indonesiamengajar.org

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=147164

PERNYATAAN MASYARAKAT KOMUNIKASI DAN INFORMASI (MAKSI)

PERNYATAAN MASYARAKAT KOMUNIKASI DAN INFORMASI (MAKSI)
TENTANG KONTROVERSI KEWENANGAN KPI MENGATUR ISI SIARAN

Jakarta, 23 Juli 2010

Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), sebuah asosiasi yang menghimpun para pemerhati dan praktisi media yang peduli pada kemerdekaan pers dan berekspresi di Indonesia, menyatakan kekecewaan dan keprihatinan atas sejumlah kritik terhadap kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia menata isi siaran yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas.

MAKSI menganggap kecaman terhadap KPI didasarkan pada asumsi-asumsi keliru mengenai kemerdekaan pers dan bahkan penafsiran keliru secara mendasar mengenai peraturan perundangan mengenai media di Indonesia. MAKSI menduga tersebut sebenarnya dilatarbelakangi kekhawatiran akan ancaman terhadap kepentingan bisnis dalam industri penyiaran yang dirasakan akibat langkah-langkah KPI yang baru dilantik dalam membersihkan isi penyiaran di Indonesia.

Salah satu kasus yang paling mengemuka adalah protes keras terhadap tindakan KPI yang memberikan sanksi administratif terhadap Metro TV yang telah menyiarkan adegan persenggamaan selama 4-5 detik dalam tayangan Headline News pertengahan Juni 2010. Sebagai sanksi, KPI memerintahkan penghentian penyiaran Headline News pukul 05.00 WIB Metro TV selama tujuh hari dan mengharuskan Metro TV menyampaikan permohonan maaf, tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut.

Protes terhadap KPI datang dari berbagai pihak. Yang paling menonjol adalah lahirnya Manifesto Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan pada 19 Juli 2010. Dalam manifesto tersebut, tindakan KPI dinilai sebagai “perampasan kemerdekaan pers dan merupakan emberional untuk mengekang kemerdekaan pers pada masa yang akan datang.” Dalam manifesto juga dinyatakan bahwa para openandatngan “menilai tindakan KPI telah menodai citra pemerintahan di bawah Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono yang telah berkali kali menjamin tidak akan membenarkan adanya pembatasan terhadap kemerdekaan pers.”

Pada dasarnya Para penentang KPI berargumen bahwa dengan keputusan tersebut KPI melanggar UU Penyiaran, melakukan tindakan yang bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 yang sudah tidak lagi memberi hak bagi KPI untuk mengatur isi siaran, serta mengancam prinsip-prinsip dasar kebebasan pers yang dijamin oleh UUD 1945.

MAKSI merasa perlu memberikan tanggapan mengingat kecaman tersebut datang dari banyak orang terkemuka dalam dunia media di Indonesia yang mungkin saja akan dijadikan acuan bagi banyak pihak mengenai makna kemerdekaan pers. MAKSI merasa, argumen-argumen yang dikemukakan dalam kecaman tersebut mengandung banyak cacat dan kelemahan mendasar mengenai wacana kemerdekaan pers sehingga mungkin sekali menyesatkan pandangan masyarakat mengenai arti penting kemerdekaan pers .

Beberapa penjelasan MAKSI adalah sebagai berikut:
1. Adalah keliru besar menganggap bahwa kemerdekaan pers berarti kemerdekaan bagi media untuk menyiarkan informasi apapun tanpa ada kendali. Baik Deklarasi Universal atas Hak-Hak Asasi Manusia 1948, UU dasar 1945 dan Amandemennya, UU Hak Asasi Manusia, UU Pers dan UU Penyiaran menegaskan bahwa kemerdekaan pers harus dilaksanakan tanpa melanggar kepentingan dan kesejahteraan masyarakat lebih luas.
2. Indonesia telah menjelma menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang berupaya menegakkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Dua bukti utamanya adalah perlindungan terhadap kebebasan arus informasi sebagaimana ditekankan dalam UU Pers dan UU Penyiaran.
3. Kebijakan mengenai lembaga penyiaran memang harus dibedakan dari lembaga media cetak, mengingat lembaga penyiaran beroperasi dengan menggunakan frekuensi siaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas. Karena itu, frekuensi siaran hanya bisa dipercayakan kepada lembaga yang bersedia memanfaatkannya dengan cara yang tidak merugikan kepentingan publik. Dalam hal ini, penting untuk mencatat bahwa sementara media cetak tidak lagi memerlukan lisensi penerbitan (dulu SIT, SIUPP), kewajiban memiliki lisensi penyiaran tetap dikenakan pada lembaga penyiaran. Izin Penyelenggaraan Penyiaran tersebut berusia tidak permanen, dan dapat dinyatakan batal tatkala lembaga penyiaran tidak dapat memanfaatkan izin siaran dengan cara yang sejalan dengan kepentingan masyarakat.
4. Sebagaimana diterapkan di banyak negara demokratis lainnya, di Indonesia kewenangan untuk menjaga agar lembaga penyiaran menyajikan isi siaran yang tidak merugikan kepentingan masyarakat luas adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebuah lembaga negara yang tidak dapat diintervensi dan dikendalikan oleh pemerintah. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Penyiaran, KPI harus melindungi kepentingan masyarakat luas antara lain dengan menetapkan Pedoman perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, serta melakukan pengawasan atas penerapannya dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran.
5. Dengan demikian, adalah jelas bahwa apa yang dilakukan KPI dengan memberikan sanksi administratif berbentuk penghentian sementara acara bermasalah dan kewajiban bagi Metro TV meminta maaf adalah hal yang lazim di sebuah negara yang percaya akan prinsip kemerdekaan pers. Dalam hal ini harus ditekankan bahwa KPI tidak memberikan sanksi yang mematikan Metro TV yang sangat mungkin melakukan kesalahan tersebut karena alasan keteledoran.
6. MAKSI juga menganggap pemberian sanksi tersebut adalah hal wajar mengingat yang dipersoalkan adalah ‘adegan senggama’ yang bahkan di negara seperti Amerika Serikat akan dikategorikan sebagai ‘indecency’ atau bahkan ‘obscenity’, yang dipandang sebagai informasi yang tidak dilindungi oleh prinsip kebebasan berbicara (unprotected speech). Sebagai contoh, Federal Communications Commission di Amerika Serikat pernah menjatuhkan sanksi miliaran rupiah pada berbagai jaringan stasiun radio yang menyiarkan obrolan seks yang dilakukan Howard Stern. FCC juga menghukum jaringan televisi CBS dengan denda 500 ribu dolar karena menyiarkan acara live di mana artis Janet Jackson terpampang putingnya selama 1-2 detik (keputusan ini memang dianulir Mahkamah Agung karena CBS dianggap tak sengaja menampilkan adegan tersebut). FCC juga memailiki kewenangan untuk mencabut izin siaran bila lembaga penyiaran mengabaikan saja kewajiban membayar denda tersebut.
7. Di sisi lain, MAKSI menghargai KPI yang memilih tidak mempidanakan atau mengkriminalkan Metro TV dengan menggunakan pasal-pasal tentang penyajian isi media yang melanggar kesusilaan yang sebenarnya bisa membawa Metro TV ke pengadilan, dengan ancaman sanksi yang berat (Rp. 500 juta berdasarkan UU Pers atau Rp 1 milar dan/atau penjara satu tahun menurut UU Penyiaran). Dengan hanya mewajibkan Metro TV meminta maaf dan menghentikan headline News di pagi hari selama 7 hari, dua hal bisa tercapai: Metro TV dan lembaga penyiaran di seluruh Indonesia akan memperketat proses pengendalian mutu siaran, sementara hukum tetap ditegakkan tanpa mengkriminalkan media.
8. MAKSI menyayangkan kekeliruan berbagai pihak penentang KPI yang terus ditiup-tiupkan mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi 2004 yang seolah-olah telah menghapuskan kewenangan KPI untuk mengatur isi siaran. Kekeliruan ini sangat mengkhawatirkan mengingat keputusan MK ini sudah terpublikasi luas dan di dalmnya tak ada satupun kalimat yang bisa ditafsirkan sebagai perintah agar KPI tak mengintervensi lembaga penyiaran dan memberikan sanksi terkait dengan isi siaran. MK hanya menyatakan bahwa tata cara pemberian sanksi adminsitratif terhadap lembaga penyiaran harus ditetapkan oleh pemerintah, dan tak sedikit pun menyinggung soal kewenangan KPI mengatur isi siaran.
Dalam kaitan ini, harus pula diingatkan bahwa Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan PP No. 50/2005 yang kembali menetapkan kewenangan KPI untuk memberikan sanksi atas pelanggaran Standar Program Siaran dalam bentuk: menegur, menghentikan sementara program bermasalah dan mengajukan usulan pencabutan izin siaran kepada Menteri. (Berdasarkan ketetapan in pula, KPI tidak bisa mengikuti jejak FCC dengan memberikan sanksi denda pada Metro TV).
9. MAKSI menganggap bahwa argumen KPI bahwa KPI seharusnya merujuk pada UU Pers dan menyerahkan masalah Metro TV pada Dewan Pers adalah berlebihan dan menyesatkan karena sejumlah argumen:
a. KPI dibentuk berdasarkan UU Penyiaran dan berkewajiban menjalankan amanat yang diberikan UU penyiaran, yang antara lain menyatakan bahwa KPI harus membuat, mengawasi pelaksanaan, serta memberikan sanksi atas pelanggaran P3-SPS. Pengabaian atas amanat ini justru merupakan pengkhianatan KPI atas UU Penyiaran
b. Di sisi lain, keputusan KPI untuk memberikan sanksi atas pemuatan’ adegan senggama’ tidaklah bertentangan dengan UU Pers yang dalam pasal 5 menyatakan bahwa pers wajib meyajikan pemberitaan dengan cara yang menghormati norma agama dan rasa kesusilaan. Dapat dikatakan, pelanggaran ini pada dasarnya tidak masuk dalam tataran pelanggaran Kode Etik yang diawasi Dewan Pers.
c. Dewan Pers sendiri berulangkali menyatakan bahwa muatan pornografi dalam dunia media massa yang tidak mengindahkan Kode Etik Jurnalistik bukanlah muatan jurnalistik yang diawasi Dewan Pers.
d. Bila UU pers dan UU Penyiaran hendak disandingkan, tentu saja UU penyiaran lebih pantas dipandang sebagai ‘lex spesialis’ dari UU Pers, yakni sebagai UU yang secara khusus mengatur media penyiaran.

Atas dasar penjelasan di atas, MAKSI berkesimpulan bahwa KPI tak dapat dipandang mengancam kemerdekaan pers sebagaimana dinyatakan beragam pihak yang menentang keputusan KPI karena memberikan sanksi administratif atas penayangan adegan senggama di Metro TV. Sebaliknya, MAKSI menganggap keputusan KPI untuk hanya memberikan sanksi administratif ringan seraya tidak mempidanakan media sebagai langkah yang tepat dan bijaksana dalam semangat penegakan kemerdekaan pers..
MAKSI menyayangkan sikap kelompok pengecam KPI yang terkesan ingin mengadu domba KPI dengan Dewan pers, atau bahkan ingin melibatkan Presiden Soesilo Budhoyono dengan pernyataan bahwa tindakan KPI ini telah mencederai langkah-langkah demokratisasi yang sudah dijalankan di Indonesia.
MAKSI menyatakan kemerdekaan pers sebagai hal esensial dalam demokrasi Indonesia yang harus senantiasa diperjuangkan. Namun MAKSI menolak bila perjuangan kemerdekaan pers ini hendak dibajak para penumpang gelap, terutama para produsen gosip, yang justru memperdagangkan informasi yang bertentangan dengan kepentingan publik.

Paulus Widyanto (Ketua MAKSI), 081310158930
Iskandar Siahaan (Sekretaris Jendral), 0811971799
Ade Armando (Koordinator Bidang Media), 081817979