PERNYATAAN MASYARAKAT KOMUNIKASI DAN INFORMASI (MAKSI)
TENTANG KONTROVERSI KEWENANGAN KPI MENGATUR ISI SIARAN
Jakarta, 23 Juli 2010
Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), sebuah asosiasi yang menghimpun para pemerhati dan praktisi media yang peduli pada kemerdekaan pers dan berekspresi di Indonesia, menyatakan kekecewaan dan keprihatinan atas sejumlah kritik terhadap kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia menata isi siaran yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas.
MAKSI menganggap kecaman terhadap KPI didasarkan pada asumsi-asumsi keliru mengenai kemerdekaan pers dan bahkan penafsiran keliru secara mendasar mengenai peraturan perundangan mengenai media di Indonesia. MAKSI menduga tersebut sebenarnya dilatarbelakangi kekhawatiran akan ancaman terhadap kepentingan bisnis dalam industri penyiaran yang dirasakan akibat langkah-langkah KPI yang baru dilantik dalam membersihkan isi penyiaran di Indonesia.
Salah satu kasus yang paling mengemuka adalah protes keras terhadap tindakan KPI yang memberikan sanksi administratif terhadap Metro TV yang telah menyiarkan adegan persenggamaan selama 4-5 detik dalam tayangan Headline News pertengahan Juni 2010. Sebagai sanksi, KPI memerintahkan penghentian penyiaran Headline News pukul 05.00 WIB Metro TV selama tujuh hari dan mengharuskan Metro TV menyampaikan permohonan maaf, tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut.
Protes terhadap KPI datang dari berbagai pihak. Yang paling menonjol adalah lahirnya Manifesto Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan pada 19 Juli 2010. Dalam manifesto tersebut, tindakan KPI dinilai sebagai “perampasan kemerdekaan pers dan merupakan emberional untuk mengekang kemerdekaan pers pada masa yang akan datang.” Dalam manifesto juga dinyatakan bahwa para openandatngan “menilai tindakan KPI telah menodai citra pemerintahan di bawah Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono yang telah berkali kali menjamin tidak akan membenarkan adanya pembatasan terhadap kemerdekaan pers.”
Pada dasarnya Para penentang KPI berargumen bahwa dengan keputusan tersebut KPI melanggar UU Penyiaran, melakukan tindakan yang bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 yang sudah tidak lagi memberi hak bagi KPI untuk mengatur isi siaran, serta mengancam prinsip-prinsip dasar kebebasan pers yang dijamin oleh UUD 1945.
MAKSI merasa perlu memberikan tanggapan mengingat kecaman tersebut datang dari banyak orang terkemuka dalam dunia media di Indonesia yang mungkin saja akan dijadikan acuan bagi banyak pihak mengenai makna kemerdekaan pers. MAKSI merasa, argumen-argumen yang dikemukakan dalam kecaman tersebut mengandung banyak cacat dan kelemahan mendasar mengenai wacana kemerdekaan pers sehingga mungkin sekali menyesatkan pandangan masyarakat mengenai arti penting kemerdekaan pers .
Beberapa penjelasan MAKSI adalah sebagai berikut:
1. Adalah keliru besar menganggap bahwa kemerdekaan pers berarti kemerdekaan bagi media untuk menyiarkan informasi apapun tanpa ada kendali. Baik Deklarasi Universal atas Hak-Hak Asasi Manusia 1948, UU dasar 1945 dan Amandemennya, UU Hak Asasi Manusia, UU Pers dan UU Penyiaran menegaskan bahwa kemerdekaan pers harus dilaksanakan tanpa melanggar kepentingan dan kesejahteraan masyarakat lebih luas.
2. Indonesia telah menjelma menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang berupaya menegakkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Dua bukti utamanya adalah perlindungan terhadap kebebasan arus informasi sebagaimana ditekankan dalam UU Pers dan UU Penyiaran.
3. Kebijakan mengenai lembaga penyiaran memang harus dibedakan dari lembaga media cetak, mengingat lembaga penyiaran beroperasi dengan menggunakan frekuensi siaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas. Karena itu, frekuensi siaran hanya bisa dipercayakan kepada lembaga yang bersedia memanfaatkannya dengan cara yang tidak merugikan kepentingan publik. Dalam hal ini, penting untuk mencatat bahwa sementara media cetak tidak lagi memerlukan lisensi penerbitan (dulu SIT, SIUPP), kewajiban memiliki lisensi penyiaran tetap dikenakan pada lembaga penyiaran. Izin Penyelenggaraan Penyiaran tersebut berusia tidak permanen, dan dapat dinyatakan batal tatkala lembaga penyiaran tidak dapat memanfaatkan izin siaran dengan cara yang sejalan dengan kepentingan masyarakat.
4. Sebagaimana diterapkan di banyak negara demokratis lainnya, di Indonesia kewenangan untuk menjaga agar lembaga penyiaran menyajikan isi siaran yang tidak merugikan kepentingan masyarakat luas adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebuah lembaga negara yang tidak dapat diintervensi dan dikendalikan oleh pemerintah. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Penyiaran, KPI harus melindungi kepentingan masyarakat luas antara lain dengan menetapkan Pedoman perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, serta melakukan pengawasan atas penerapannya dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran.
5. Dengan demikian, adalah jelas bahwa apa yang dilakukan KPI dengan memberikan sanksi administratif berbentuk penghentian sementara acara bermasalah dan kewajiban bagi Metro TV meminta maaf adalah hal yang lazim di sebuah negara yang percaya akan prinsip kemerdekaan pers. Dalam hal ini harus ditekankan bahwa KPI tidak memberikan sanksi yang mematikan Metro TV yang sangat mungkin melakukan kesalahan tersebut karena alasan keteledoran.
6. MAKSI juga menganggap pemberian sanksi tersebut adalah hal wajar mengingat yang dipersoalkan adalah ‘adegan senggama’ yang bahkan di negara seperti Amerika Serikat akan dikategorikan sebagai ‘indecency’ atau bahkan ‘obscenity’, yang dipandang sebagai informasi yang tidak dilindungi oleh prinsip kebebasan berbicara (unprotected speech). Sebagai contoh, Federal Communications Commission di Amerika Serikat pernah menjatuhkan sanksi miliaran rupiah pada berbagai jaringan stasiun radio yang menyiarkan obrolan seks yang dilakukan Howard Stern. FCC juga menghukum jaringan televisi CBS dengan denda 500 ribu dolar karena menyiarkan acara live di mana artis Janet Jackson terpampang putingnya selama 1-2 detik (keputusan ini memang dianulir Mahkamah Agung karena CBS dianggap tak sengaja menampilkan adegan tersebut). FCC juga memailiki kewenangan untuk mencabut izin siaran bila lembaga penyiaran mengabaikan saja kewajiban membayar denda tersebut.
7. Di sisi lain, MAKSI menghargai KPI yang memilih tidak mempidanakan atau mengkriminalkan Metro TV dengan menggunakan pasal-pasal tentang penyajian isi media yang melanggar kesusilaan yang sebenarnya bisa membawa Metro TV ke pengadilan, dengan ancaman sanksi yang berat (Rp. 500 juta berdasarkan UU Pers atau Rp 1 milar dan/atau penjara satu tahun menurut UU Penyiaran). Dengan hanya mewajibkan Metro TV meminta maaf dan menghentikan headline News di pagi hari selama 7 hari, dua hal bisa tercapai: Metro TV dan lembaga penyiaran di seluruh Indonesia akan memperketat proses pengendalian mutu siaran, sementara hukum tetap ditegakkan tanpa mengkriminalkan media.
8. MAKSI menyayangkan kekeliruan berbagai pihak penentang KPI yang terus ditiup-tiupkan mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi 2004 yang seolah-olah telah menghapuskan kewenangan KPI untuk mengatur isi siaran. Kekeliruan ini sangat mengkhawatirkan mengingat keputusan MK ini sudah terpublikasi luas dan di dalmnya tak ada satupun kalimat yang bisa ditafsirkan sebagai perintah agar KPI tak mengintervensi lembaga penyiaran dan memberikan sanksi terkait dengan isi siaran. MK hanya menyatakan bahwa tata cara pemberian sanksi adminsitratif terhadap lembaga penyiaran harus ditetapkan oleh pemerintah, dan tak sedikit pun menyinggung soal kewenangan KPI mengatur isi siaran.
Dalam kaitan ini, harus pula diingatkan bahwa Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan PP No. 50/2005 yang kembali menetapkan kewenangan KPI untuk memberikan sanksi atas pelanggaran Standar Program Siaran dalam bentuk: menegur, menghentikan sementara program bermasalah dan mengajukan usulan pencabutan izin siaran kepada Menteri. (Berdasarkan ketetapan in pula, KPI tidak bisa mengikuti jejak FCC dengan memberikan sanksi denda pada Metro TV).
9. MAKSI menganggap bahwa argumen KPI bahwa KPI seharusnya merujuk pada UU Pers dan menyerahkan masalah Metro TV pada Dewan Pers adalah berlebihan dan menyesatkan karena sejumlah argumen:
a. KPI dibentuk berdasarkan UU Penyiaran dan berkewajiban menjalankan amanat yang diberikan UU penyiaran, yang antara lain menyatakan bahwa KPI harus membuat, mengawasi pelaksanaan, serta memberikan sanksi atas pelanggaran P3-SPS. Pengabaian atas amanat ini justru merupakan pengkhianatan KPI atas UU Penyiaran
b. Di sisi lain, keputusan KPI untuk memberikan sanksi atas pemuatan’ adegan senggama’ tidaklah bertentangan dengan UU Pers yang dalam pasal 5 menyatakan bahwa pers wajib meyajikan pemberitaan dengan cara yang menghormati norma agama dan rasa kesusilaan. Dapat dikatakan, pelanggaran ini pada dasarnya tidak masuk dalam tataran pelanggaran Kode Etik yang diawasi Dewan Pers.
c. Dewan Pers sendiri berulangkali menyatakan bahwa muatan pornografi dalam dunia media massa yang tidak mengindahkan Kode Etik Jurnalistik bukanlah muatan jurnalistik yang diawasi Dewan Pers.
d. Bila UU pers dan UU Penyiaran hendak disandingkan, tentu saja UU penyiaran lebih pantas dipandang sebagai ‘lex spesialis’ dari UU Pers, yakni sebagai UU yang secara khusus mengatur media penyiaran.
Atas dasar penjelasan di atas, MAKSI berkesimpulan bahwa KPI tak dapat dipandang mengancam kemerdekaan pers sebagaimana dinyatakan beragam pihak yang menentang keputusan KPI karena memberikan sanksi administratif atas penayangan adegan senggama di Metro TV. Sebaliknya, MAKSI menganggap keputusan KPI untuk hanya memberikan sanksi administratif ringan seraya tidak mempidanakan media sebagai langkah yang tepat dan bijaksana dalam semangat penegakan kemerdekaan pers..
MAKSI menyayangkan sikap kelompok pengecam KPI yang terkesan ingin mengadu domba KPI dengan Dewan pers, atau bahkan ingin melibatkan Presiden Soesilo Budhoyono dengan pernyataan bahwa tindakan KPI ini telah mencederai langkah-langkah demokratisasi yang sudah dijalankan di Indonesia.
MAKSI menyatakan kemerdekaan pers sebagai hal esensial dalam demokrasi Indonesia yang harus senantiasa diperjuangkan. Namun MAKSI menolak bila perjuangan kemerdekaan pers ini hendak dibajak para penumpang gelap, terutama para produsen gosip, yang justru memperdagangkan informasi yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Paulus Widyanto (Ketua MAKSI), 081310158930
Iskandar Siahaan (Sekretaris Jendral), 0811971799
Ade Armando (Koordinator Bidang Media), 081817979
PERNYATAAN MASYARAKAT KOMUNIKASI DAN INFORMASI (MAKSI)
Written By gusdurian on Senin, 26 Juli 2010 | 10.32
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar