BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pendidikan Tinggi dan Teror Neoliberalisme

Written By gusdurian on Senin, 26 April 2010 | 13.12

Oleh Amich Alhumami Penekun kajian pendidikan, bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan Bappenas

MAHKAMAH Konstitusi (MK) membatalkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada 31 Maret 2010 karena UU itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang memberi mandat kepada penyelenggara negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan menjamin sepenuhnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. UU BHP dibatalkan karena (1) menyeragamkan penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk badan hukum pendidikan dan menegasikan keberadaan perserikatan dan perkumpulan dalam wadah yayasan dan (2) mengakibatkan orang miskin tidak dapat mengakses pendidikan sebagaimana diamanatkan konstitusi sehingga tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembatalan mutlak UU BHP itu patut direnungkan pemerintah dan DPR karena menunjukkan proses legislasinya tidak didasarkan pada konsiderasi dan argumentasi yang kukuh. Ketika masih berbentuk RUU, perdebatan publik berlangsung begitu sengit terutama menyangkut isu-isu krusial dan fundamental, yang memicu kontroversi selama lebih dari setahun. Proses uji publik memang dilakukan, tetapi tidak sepenuhnya mengakomodasi keberatan dan kritik dari berbagai kalangan bahwa pemberlakuan UU ini potensial akan menggerus hak masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan secara adil dan merata. Pembatalan itu sekaligus menunjukkan betapa kualitas legislasi di parlemen sangat rendah. Banyak UU yang digugat melalui uji materi di MK dan dikabulkan, sebagian atau keseluruhan, seperti UU BHP ini.

Kontroversi UU BHP berpangkal pada salah satu isu pokok berikut ini. Ia dianggap menjadi instrumen legal untuk melegitimasi praktik ko mersialisasi pendidikan, yang mengingkari hak warga negara, terutama rakyat miskin, untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terjangkau. Padahal konstitusi menjamin pendidikan adalah hak dasar, bukan privilese yang hanya diperuntukkan sekelompok orang. UU BHP berpotensi mengubah pendidikan dari semula hak dasar menjadi privilese. Dalam konteks pendidikan tinggi, UU BHP bahkan makin memicu proses komersialisasi karena pendidikan dipandang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan mengikuti hukum pasar dan asas perniagaan. Kritik publik yang selalu muncul dan bernada keras adalah pendidikan tinggi sudah menjadi barang dagangan yang berharga sangat mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat terutama kelompok masyarakat kurang mampu dapat menikmatinya. Bahkan untuk bidang ilmu tertentu seperti sains, keteknik

an, apalagi kedokteran, diperlukan biaya sangat besar yang berada di luar jangkauan kelompok masyarakat berkemampuan ekonomi terbatas.
Sungguh, tak terbayangkan untuk bisa menempuh pendidikan di suatu perguruan tinggi harus membayar uang kuliah sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, misalnya, mematok uang sumbangan biaya operasional pendidikan dan pembangunan (BOPP) untuk Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan antara Rp50 juta, Rp100 juta, Rp150 juta, dan Rp200 juta (Mediaindonesia.com, 9/4/2010).
Kalau bukan berasal dari keluarga kaya raya, punya orang tua miliarder, siapakah yang dapat menjangkau layanan pendidikan tinggi dengan biaya semahal itu? Gejala itu sungguh sangat merisaukan masyarakat. Pendidikan tinggi yang semestinya menjadi bagian dari barang publik (public goods) telah mengalami komodifikasi yang sepenuhnya diukur dengan melihat tinggi-rendahnya nilai keuntungan ekonomi. Sebelum UU BHP diundangkan saja, perguruan tinggi sudah berkembang layaknya perusahaan jasa yang menjadikan pendidikan sebagai produk barang/ jasa, yang penawarannya bergantung pada selera pasar dan harganya pun ditentukan mekanisme pasar.
Karena itu, dapat dimaklumi bila UU BHP dianggap mewakili ideologi neoliberalisme sehingga menim bulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat karena pasar menjadi prinsip utama, tumpuan segala tindakan, bahkan rujukan etik suatu perilaku sosial. Ahli filsafat sosial dan pemikir politik Jerman, Paul Treanor, dalam Neoliberalism, Market, and Ethics (2007) menulis bernada kritik atas ideologi ekonomipolitik ini: `Neoliberalism is a philosophy in which the existence and operation of a market a valued in themselves, separately from any previous relationship with the production of goods and services... and where the operation of a market or market-like structure is seen as an ethic in itself, capable of acting as a guide for all human action, and substituting for all previously existing ethical beliefs'. Meneror ruang publik Jelas, kekhawatiran masyarakat mengenai kian mengentalnya paham neoliberalisme dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan tanpa alasan. Bahkan pemikir-pemikir pendidikan di Amerika---negara asal kelahiran mazhab neoli beralisme---sekalipun juga risau atas praktik pendidikan tinggi yang beraras pada ideologi kapitalisme pasar bebas yang menjelma dalam mazhab neoliberalisme itu. Mazhab neoliberalisme yang diagungkan para pemikir ekonomi justru dinilai telah menggerus nilai-nilai komunitarian yang amat fundamental--civic virtue, civic culture, civic engagement, social empathy, public morality, yang menjadi basis utama dalam kehidupan berbangsa dan menjadi tiang penyangga bangunan masyarakat egalitarian Amerika. Seorang pemikir critical pedagogy, Henry Giroux, menyebut neoliberalisme telah meneror ruangruang publik ketika lembaga pendidikan tinggi berpraktik menyerupai korporasi yang bersifat dominatif, eksploitatif, dan hegemonik. Pendidikan tinggi yang digerakkan atas dasar prinsipprinsip neoliberal dinilai membahayakan kepentingan publik karena ia beroperasi dalam suatu badan usaha yang dapat mengubah `the sovereignty of the citizens' menjadi `the sovereignty of the market'. Warga negara pun kehilangan otoritas dan suara publik karena `civic freedoms' di gantikan `market liberties'. Demikian pula, pilihan kolektif sebagai warga negara harus tunduk pada pilihan individual sebagai konsumen dalam mekanisme pasar yang bertumpu pada kekuatan modal (lihat The Terror of Neoliberal ism: Rethinking the Significance of Cultural Politics, 2005). Kritik pokok Giro u x , d e n g a n menganut ne oliberalisme, lembaga pendidikan tinggi mengalami transformasi menjadi korporasi yang dikuasai para pemodal. Lembaga pendidikan tinggi pun beroperasi mengikuti dinamika pasar dan bukan dijalankan untuk memenuhi tanggung jawab sosial, yakni memberi layanan pendidikan demi kepentingan publik untuk meneguhkan nilai-nilai komunitarian. Bahaya neoliberalisme yang telah merambah ke lembaga pendidikan tinggi terletak pada praktik komersialisasi dan privatisasi, yang menjadikan warga negara sebagai `an utterly privatized affair that produces self-interested individuals' yang kemudian menggerus nilai-nilai komunitarian (lihat Neoliberalism, Corporate Culture, and the Promise of Higher Education, 2002).

Jika di Amerika saja paham neoliberalisme mendapat kritik keras, dapat dimaklumi bila masyarakat Indonesia pun menolak mazhab itu.
Fungsi utama Pembatalan UU BHP jelas merupakan koreksi terhadap spirit neoliberal dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pembatalan itu sejalan dengan kritik publik yang menilai pendidikan tinggi merupakan barang mewah dan universitas sudah jauh mengalami komersialisasi dan privatisasi, yang menegasikan hak rakyat miskin untuk mendapatkan layanan pendidikan. UU BHP potensial menjadi alat melanggengkan ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi sehingga kian menjauhkan dari cita-cita nasional untuk menciptakan keadilan bagi segenap warga negara. Karena itu, para perumus kebijakan harus melakukan perenungan mendalam mengenai hakikat pendidikan dan mengemba likan fungsi utama perguruan tinggi merujuk doktrin agung: universitas magistrorum et scholarium. Doktrin yang menjadi sukma pendidikan tinggi sejak akhir abad ke-11 di Eropa itu meneguhkan universitas merupakan tempat pembelajaran dan pengkajian ilmu, wahana perdebatan akademik dan pertukaran pe mikiran, serta penelitian ilmiah untuk melahirkan pengetahuan baru.
Maka, pendidikan tinggi tidak boleh direduksi hanya untuk memenuhi tuntutan pasar semata dan dijalank an menurut hukum ekonomi, yakni permintaan dan penawaran, yang memberi ruang leluasa hanya bagi orang-orang kaya yang mampu menjangkaunya. Lem baga pendidikan tinggi harus melayani semua lapisan masyarakat, bahkan justru harus memberi akses lebih luas bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dengan menegaskan diri seba gai vox universiteit--universitas akyat.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/26/ArticleHtmls/26_04_2010_018_002.shtml?Mode=0

Meyakini Jalan Demokrasi Kita

Oleh Masdar Hilmy
Ketika demokrasi belum kunjung memberikan kesejahteraan, kepercayaan atasnya bisa menjelma menjadi keraguan dan bahkan keputusasaan. Pada titik ini, kepercayaan kita atas demokrasi sebenarnya sedang dipertaruhkan.
Padahal, penerapan demokrasi meniscayakan keuletan, kesabaran, kesungguhan, dan integritas; sebuah kualitas karakter pantang menyerah yang akan mengantarkan kita pada entitas ”demokrasi penuh” (full-fledged democracy).
Sebagai bangsa yang baru be- lajar berdemokrasi, trial and error, menjadi hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah ketika kita gagal belajar dari kesalahan masa lalu sehingga kita terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Yang terpenting dalam berdemokrasi, dengan demikian, adalah proses, bukan hasil; bagaimana kita bisa menikmati setiap jengkal langkah kita sebagai sebuah proses ”menjadi” yang penuh makna. Dan, setiap keberhasilan kita melewati setiap jengkal tersebut patut dirayakan dan diapresiasi sebagai batu pijakan untuk langkah berikutnya.
Perjalanan menuju full-fledged democracy jelas penuh onak dan duri. Di hadapan kita telah menghadang serangkaian ”uji kesetia- an” (litmus test) yang dipersyaratkan demokrasi. Di luar diskursus publik tentang substansi, ”jenis kelamin”, dan mekanisme berdemokrasi, membuncahnya kejahatan ”kerah putih” oleh elite politik dan birokrasi di segala lini yang berujung pada tergadaikannya kesejahteraan rakyat merepresentasikan salah satu episode litmus test yang dimaksud.
Berbagai kasus hukum yang mengemuka akhir-akhir ini, seperti fenomena mafia peradilan, makelar kasus, dan skandal Centurygate, tidak lebih dari onak-duri demokrasi yang harus dilalui secara dewasa dan bermartabat.
Sindrom ”hipotesis Lee”
Dalam konteks relasi demokrasi dan kesejahteraan ekonomi, terminologi ilmu politik mengenal adanya ”hipotesis Lee” (Lee hypothesis) karena ia pertama kali diartikulasikan oleh Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura. Hipotesis ini meyakini bahwa sistem nondemokrasi lebih bisa menjamin kesejahteraan ekonomi ketimbang sistem demokrasi. Artinya, untuk menjadi kaya, sebuah bangsa tidak wajib menerapkan sistem demokrasi. Pendapatnya benar belaka ketika kita merujuk pada sejumlah negara ”disipliner” semacam Korea Selatan, Singapura, dan China.
Namun, tingkat capaian ekonomi di negara-negara tersebut tidak dilakukan melalui kerangka demokrasi. Memang benar bahwa pemerintah di negara-negara tersebut berhasil membuat perut mayoritas warga negara menjadi kenyang, tetapi mulut dan pikirannya tidak dibiarkan menikmati hak-hak sipil. Yang terjadi di negara-negara tersebut adalah menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Lebih tepatnya, palu godam bagi kebebasan sipil para warga negaranya.
Sejauh ini tidak ada bukti empiris meyakinkan bahwa tata pemerintahan otoriter/totaliter yang membungkam hak-hak sipil warga turut berkorelasi terhadap kesejahteraan ekonomi warganya. Sejumlah kajian empiris serius semisal oleh Robert Barro (1995) atau Adam Przeworski (1996) justru membuktikan sebaliknya bahwa pemenuhan hak-hak sipil warga tidak menghalangi capaian kinerja ekonomi sebuah bangsa.
Kinerja dan kontribusi demokrasi dalam penciptaan iklim ekonomi yang sehat terletak pada pemenuhan hak-hak sipil warga dalam pengawasan anggaran dan akuntabilitas publik serta pencegahan atas terjadinya bencana atau krisis ekonomi lebih sistemik. Penyediaan hak-hak sipil memungkinkan setiap warga untuk terlibat dalam mengontrol dan merumuskan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (public good). Selain itu, respons sebuah pemerintah atas penderitaan warga sering kali baru muncul akibat tekanan yang dilakukan secara terus-menerus oleh semua elemen masyarakat, sebuah mekanisme yang hanya ada dalam sistem demokrasi.
Kebermaknaan eksistensial
Namun, perlu dicatat, perjalanan menuju ”demokrasi penuh” harus dimaknai sebagai never-ending business. Artinya, kesempurnaan bangsa dalam berdemokrasi merupakan pergumulan eksistensial yang tak pernah usai. Sedemokratis dan semakmur apa pun sebuah bangsa tidak otomatis terbebas dari persoalan. Persoalan jelas menjadi keniscayaan bagi seluruh bangsa; tinggal bagaimana setiap bangsa mendekati dan menyelesaikan persoalan yang dimaksud. Yang jelas, semakin demokratis sebuah bangsa, semakin dewasa dia menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan. Begitu pula sebaliknya.
Memang betul bahwa kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari seluruh ingar-bingar politik keseharian sebuah rezim demokrasi. Dalam konteks ini, demokrasi adalah sarana, bukan tujuan. Lebih tepatnya, sarana menuju kesejahteraan. Oleh karena itu, tujuan kita berdemokrasi bukanlah demi demokrasi itu sendiri, melainkan untuk sesuatu beyond demokrasi, yakni kesejahteraan. Dalam artikelnya, Democracy as Universal Value (1999), Amartya Sen menegaskan, ”A country does not have to be deemed fit for democracy; rather, it has to become fit through democracy.”
Namun, jangan salah, demokrasi bukanlah melulu soal kesejahteraan dalam pengertiannya yang sempit (baca: kesejahteraan ekonomi). Ada substansi lebih mendasar dari sekadar itu: kebermakaan demokrasi bagi pemeliharaan dan kultivasi kedirian bangsa secara kolektif.
Artinya, keberadaan demokrasi tidak perlu menggerus konsep kedirian (the self) kita sebagai sebuah bangsa yang berkarakter. Amartya Sen (Ibid., 11) merekomendasikan tiga peran substantif demokrasi agar keberadaannya benar-benar bermakna bagi pengembangan kedirian sebuah bangsa: 1) peran intrinsik sebagai penjamin partisipasi politik dan kemerdekaan dalam kehidupan manusia, 2) peran instrumental sebagai insentif politik dalam menjamin pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel, dan 3) peran konstruktif dalam pembentukan dan kultivasi nilai serta memahami kebutuhan, hak, dan kewajiban.
Percaya diri
Oleh karena itu, belum berlabuhnya kesejahteraan secara merata bukan alasan untuk berpaling dari demokrasi. Kita harus tetap memelihara asa dan keyakinan terhadapnya. Kita juga tidak berada pada posisi memilih salah satu di antara dua pilihan yang saling menegasikan, demokrasi atau kesejahteraan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu koin uang yang sama: sama-sama penting karena menyangkut hajat hidup setiap warga negara.
Barangkali ada (dan mungkin banyak) sisi-sisi perbedaan antara praktik demokrasi di Indonesia dengan negara-negara lainnya. Sejauh ini, praktik demokrasi di banyak negara berdemokrasi mapan tetap menjadi cermin yang baik bagi kita untuk belajar berdemokrasi. Memang jalan menuju demokrasi tidak perlu sama karena banyak jalan menuju demokrasi. Kata Bob Hefner (2000; 216), ”There is no one-size-fits-all democracy.” Tidak ada demokrasi yang berlaku untuk semua. Sepanjang pengamatan Hefner, Indonesia tidak memiliki ”kejanggalan peradaban” (civilizational malady) untuk menerapkan demokrasi.
Walhasil, keajaiban pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara dengan tingkat demokrasi rendah mestinya tidak menggoyahkan kesetiaan kita berdemokrasi. Sesungguhnya apa yang dicapai oleh negara-negara tersebut tidak ada kaitannya dengan demokrasi, tetapi murni menyangkut strategi ekonomi yang dianut. Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/26/03363692/meyakini.jalan.demokrasi.kita

Jajak Pendapat "Kompas": Citra Buruk pada Profesi Hukum

Oleh PALUPI PANCA ASTUTI
Sejumlah kasus korupsi yang mencuat belakangan ini menguakkan adanya kemelut hukum yang parah. Masihkah profesi di bidang hukum menarik minat orang untuk menggelutinya?
Jika mengacu pendapat ahli teori hukum dari Belanda, AM Hol dan MA Loth (2001), seorang profesional hukum yang ideal adalah mereka yang mampu menjadi penghubung antardua pihak yang bertikai. Selain itu, dia juga harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak itu dan masyarakat serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, serta nilai yang ada di dalam masyarakat.
Dalam rumusan tentang profesional hukum yang ideal itu, sangat terasa nuansa untuk mengedepankan kepentingan pihak lain di luar sosok profesi hukum itu. Pengacara, hakim, jaksa, juga polisi, hanya jembatan atau penengah antarpihak yang berkonflik untuk menghasilkan sebuah solusi terbaik. Namun, jika rumusan itu dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, terasa sulit menemukan sisi profesional hukum yang ideal di negeri ini.
Nama baik kalangan profesional di bidang hukum sedang diuji. Terkuaknya sejumlah skandal yang melibatkan profesional hukum pada pemberitaan media, terlepas apakah terbukti bersalah atau tidak, mengindikasikan ketidakberesan dalam sistem organisasi kelembagaan hukum.
Belum lama ini media mengabarkan penangkapan seorang pengacara yang diduga menyuap hakim yang sedang menangani kasus kliennya. Sebelumnya, sejumlah oknum polisi diduga melakukan rekayasa terhadap seseorang yang menjadi tersangka kasus narkoba. Seperti belum lengkap, seorang jaksa ditengarai ”bermain-main” dalam kasus suap yang melibatkan uang miliaran rupiah milik seorang mantan pegawai pajak.
Kasus yang menjerat profesional di bidang hukum itu mencoreng dunia peradilan Indonesia. Profesi yang seharusnya bertugas memberikan keadilan seluruh golongan disalahgunakan untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi.
Ketidakpuasan dan stempel negatif pun dicapkan pada profesional hukum. Gambaran ini terekam dalam hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, pekan lalu. Secara merata, sebagian besar responden menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum. Penilaian publik terhadap hakim, jaksa, pengacara, dan polisi juga kurang menggembirakan. Sekitar tujuh dari 10 responden menilai, keempat profesi itu memiliki citra yang buruk.
Publik pantas merasa kecewa terhadap kemampuan negeri ini dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum yang sesungguhnya. Penggawa hukum adalah sosok yang berkewajiban menjunjung tinggi keadilan. Namun, terhadap kekuasaan dan uang, ternyata hukum dapat dipermainkan.
Perkara yang melibatkan oknum aparat di pengadilan yang terbukti mempermainkan hukum terus bermunculan. Kode etik profesi terkalahkan dengan kepentingan dan kebutuhan pribadi. Mafia hukum diduga melibatkan dari pejabat tinggi hingga karyawan rendahan. Berkaca dari kejadian itu, jelas jika profesi aparat hukum rawan godaan, uang, dan kekuasaan.
Munculnya kasus mafia peradilan membuat masyarakat skeptis terhadap aparat hukum, siapa lagi yang bisa memberikan perlindungan? Kesangsian ini tetap muncul meski sudah ada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden pada Desember 2009 dengan tugas menemukan dan mengikis praktik mafia hukum.
Terhadap budaya korupsi yang merambah hingga ke dunia peradilan ini, sempat timbul wacana lustrasi, yakni menghapuskan satu generasi yang sekarang duduk di birokrasi. Wacana yang pernah digagas pada awal reformasi ini bermaksud untuk membangun satu sistem birokrasi baru yang dipegang oleh generasi baru.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang kembali mengusulkan hal ini, beberapa waktu lalu, beralasan, pembenahan birokrasi setelah reformasi tak pernah berhasil meski sudah empat kali negeri ini berganti pemimpin. Meski terasa revolusioner, gagasan ini masuk akal, mengingat masalah kronis yang menerpa dunia peradilan Indonesia. Namun, siapkah generasi muda membangun budaya hukum yang bersih?
Minat publik
Apabila masyarakat terus memiliki antipati terhadap profesi hukum, negeri ini terancam kekurangan tenaga profesional berkualitas di bidang ini. Padahal, melihat pada statistik mahasiswa selama bertahun-tahun dari Kementerian Pendidikan Nasional, bidang studi hukum adalah pilihan keempat favorit pendaftar setelah ekonomi, teknik, dan kedokteran. Bahkan, pada 2007/2008, posisinya naik menjadi favorit ketiga, menggusur kedokteran, dengan meraih sekitar 139.000 pendaftar atau 8 persen dari seluruh pendaftar ke perguruan tinggi. Namun, dengan beragam kasus yang menyelimuti dunia hukum Indonesia, masih tertarikkah publik mempelajari atau berkarier di bidang hukum?
Sembilan dari 10 responden yang ditanyakan cita-citanya mengaku tidak pernah berkeinginan menjadi hakim, jaksa, pengacara, atau polisi. Bahkan, jika saat ini dibuka kesempatan atau lowongan untuk berkarier sebagai aparat hukum, lebih dari 80 persen responden menyatakan tak berminat mencoba.
Selain lebih minat di bidang lain (47,8 persen), alasan mereka segan masuk dalam profesi ini karena citra buruk yang melekat pada pekerjaan ini (23,2 persen). Terbukanya peluang besar untuk berbuat salah, ketakutan menggadaikan kejujuran, dan terjebak untuk melakukan hal yang buruk membuat publik merasa pekerjaan yang satu ini harus dihindari.
Memang bukan mustahil hal yang ditakutkan itu terjadi. Ingat kasus jaksa Ester Thanak dan Dara Veranita yang menggelapkan barang bukti obat terlarang. Juga oknum polisi yang merekayasa kasus kepemilikan narkoba. Jika aparat yang seharusnya menegakkan keadilan justru bertindak kriminal, sinisme masyarakat tak terelakkan.
Terlepas dari ketertarikan publik untuk menggeluti ilmu atau profesi yang berkaitan dengan hukum, nada optimisme masih terdengar. Sekitar 80 persen responden menyatakan keyakinannya bisa menjauhkan diri dari segala hal berbau korupsi apabila mereka menjalani karier itu. Dua pertiga responden juga yakin mampu memperjuangkan rasa keadilan untuk masyarakat. (Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/26/03513412/citra.buruk.pada.profesi.hukum