Oleh Amich Alhumami Penekun kajian pendidikan, bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan Bappenas
MAHKAMAH Konstitusi (MK) membatalkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada 31 Maret 2010 karena UU itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang memberi mandat kepada penyelenggara negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan menjamin sepenuhnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. UU BHP dibatalkan karena (1) menyeragamkan penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk badan hukum pendidikan dan menegasikan keberadaan perserikatan dan perkumpulan dalam wadah yayasan dan (2) mengakibatkan orang miskin tidak dapat mengakses pendidikan sebagaimana diamanatkan konstitusi sehingga tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembatalan mutlak UU BHP itu patut direnungkan pemerintah dan DPR karena menunjukkan proses legislasinya tidak didasarkan pada konsiderasi dan argumentasi yang kukuh. Ketika masih berbentuk RUU, perdebatan publik berlangsung begitu sengit terutama menyangkut isu-isu krusial dan fundamental, yang memicu kontroversi selama lebih dari setahun. Proses uji publik memang dilakukan, tetapi tidak sepenuhnya mengakomodasi keberatan dan kritik dari berbagai kalangan bahwa pemberlakuan UU ini potensial akan menggerus hak masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan secara adil dan merata. Pembatalan itu sekaligus menunjukkan betapa kualitas legislasi di parlemen sangat rendah. Banyak UU yang digugat melalui uji materi di MK dan dikabulkan, sebagian atau keseluruhan, seperti UU BHP ini.
Kontroversi UU BHP berpangkal pada salah satu isu pokok berikut ini. Ia dianggap menjadi instrumen legal untuk melegitimasi praktik ko mersialisasi pendidikan, yang mengingkari hak warga negara, terutama rakyat miskin, untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terjangkau. Padahal konstitusi menjamin pendidikan adalah hak dasar, bukan privilese yang hanya diperuntukkan sekelompok orang. UU BHP berpotensi mengubah pendidikan dari semula hak dasar menjadi privilese. Dalam konteks pendidikan tinggi, UU BHP bahkan makin memicu proses komersialisasi karena pendidikan dipandang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan mengikuti hukum pasar dan asas perniagaan. Kritik publik yang selalu muncul dan bernada keras adalah pendidikan tinggi sudah menjadi barang dagangan yang berharga sangat mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat terutama kelompok masyarakat kurang mampu dapat menikmatinya. Bahkan untuk bidang ilmu tertentu seperti sains, keteknik
an, apalagi kedokteran, diperlukan biaya sangat besar yang berada di luar jangkauan kelompok masyarakat berkemampuan ekonomi terbatas.
Sungguh, tak terbayangkan untuk bisa menempuh pendidikan di suatu perguruan tinggi harus membayar uang kuliah sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, misalnya, mematok uang sumbangan biaya operasional pendidikan dan pembangunan (BOPP) untuk Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan antara Rp50 juta, Rp100 juta, Rp150 juta, dan Rp200 juta (Mediaindonesia.com, 9/4/2010).
Kalau bukan berasal dari keluarga kaya raya, punya orang tua miliarder, siapakah yang dapat menjangkau layanan pendidikan tinggi dengan biaya semahal itu? Gejala itu sungguh sangat merisaukan masyarakat. Pendidikan tinggi yang semestinya menjadi bagian dari barang publik (public goods) telah mengalami komodifikasi yang sepenuhnya diukur dengan melihat tinggi-rendahnya nilai keuntungan ekonomi. Sebelum UU BHP diundangkan saja, perguruan tinggi sudah berkembang layaknya perusahaan jasa yang menjadikan pendidikan sebagai produk barang/ jasa, yang penawarannya bergantung pada selera pasar dan harganya pun ditentukan mekanisme pasar.
Karena itu, dapat dimaklumi bila UU BHP dianggap mewakili ideologi neoliberalisme sehingga menim bulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat karena pasar menjadi prinsip utama, tumpuan segala tindakan, bahkan rujukan etik suatu perilaku sosial. Ahli filsafat sosial dan pemikir politik Jerman, Paul Treanor, dalam Neoliberalism, Market, and Ethics (2007) menulis bernada kritik atas ideologi ekonomipolitik ini: `Neoliberalism is a philosophy in which the existence and operation of a market a valued in themselves, separately from any previous relationship with the production of goods and services... and where the operation of a market or market-like structure is seen as an ethic in itself, capable of acting as a guide for all human action, and substituting for all previously existing ethical beliefs'. Meneror ruang publik Jelas, kekhawatiran masyarakat mengenai kian mengentalnya paham neoliberalisme dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan tanpa alasan. Bahkan pemikir-pemikir pendidikan di Amerika---negara asal kelahiran mazhab neoli beralisme---sekalipun juga risau atas praktik pendidikan tinggi yang beraras pada ideologi kapitalisme pasar bebas yang menjelma dalam mazhab neoliberalisme itu. Mazhab neoliberalisme yang diagungkan para pemikir ekonomi justru dinilai telah menggerus nilai-nilai komunitarian yang amat fundamental--civic virtue, civic culture, civic engagement, social empathy, public morality, yang menjadi basis utama dalam kehidupan berbangsa dan menjadi tiang penyangga bangunan masyarakat egalitarian Amerika. Seorang pemikir critical pedagogy, Henry Giroux, menyebut neoliberalisme telah meneror ruangruang publik ketika lembaga pendidikan tinggi berpraktik menyerupai korporasi yang bersifat dominatif, eksploitatif, dan hegemonik. Pendidikan tinggi yang digerakkan atas dasar prinsipprinsip neoliberal dinilai membahayakan kepentingan publik karena ia beroperasi dalam suatu badan usaha yang dapat mengubah `the sovereignty of the citizens' menjadi `the sovereignty of the market'. Warga negara pun kehilangan otoritas dan suara publik karena `civic freedoms' di gantikan `market liberties'. Demikian pula, pilihan kolektif sebagai warga negara harus tunduk pada pilihan individual sebagai konsumen dalam mekanisme pasar yang bertumpu pada kekuatan modal (lihat The Terror of Neoliberal ism: Rethinking the Significance of Cultural Politics, 2005). Kritik pokok Giro u x , d e n g a n menganut ne oliberalisme, lembaga pendidikan tinggi mengalami transformasi menjadi korporasi yang dikuasai para pemodal. Lembaga pendidikan tinggi pun beroperasi mengikuti dinamika pasar dan bukan dijalankan untuk memenuhi tanggung jawab sosial, yakni memberi layanan pendidikan demi kepentingan publik untuk meneguhkan nilai-nilai komunitarian. Bahaya neoliberalisme yang telah merambah ke lembaga pendidikan tinggi terletak pada praktik komersialisasi dan privatisasi, yang menjadikan warga negara sebagai `an utterly privatized affair that produces self-interested individuals' yang kemudian menggerus nilai-nilai komunitarian (lihat Neoliberalism, Corporate Culture, and the Promise of Higher Education, 2002).
Jika di Amerika saja paham neoliberalisme mendapat kritik keras, dapat dimaklumi bila masyarakat Indonesia pun menolak mazhab itu.
Fungsi utama Pembatalan UU BHP jelas merupakan koreksi terhadap spirit neoliberal dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pembatalan itu sejalan dengan kritik publik yang menilai pendidikan tinggi merupakan barang mewah dan universitas sudah jauh mengalami komersialisasi dan privatisasi, yang menegasikan hak rakyat miskin untuk mendapatkan layanan pendidikan. UU BHP potensial menjadi alat melanggengkan ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi sehingga kian menjauhkan dari cita-cita nasional untuk menciptakan keadilan bagi segenap warga negara. Karena itu, para perumus kebijakan harus melakukan perenungan mendalam mengenai hakikat pendidikan dan mengemba likan fungsi utama perguruan tinggi merujuk doktrin agung: universitas magistrorum et scholarium. Doktrin yang menjadi sukma pendidikan tinggi sejak akhir abad ke-11 di Eropa itu meneguhkan universitas merupakan tempat pembelajaran dan pengkajian ilmu, wahana perdebatan akademik dan pertukaran pe mikiran, serta penelitian ilmiah untuk melahirkan pengetahuan baru.
Maka, pendidikan tinggi tidak boleh direduksi hanya untuk memenuhi tuntutan pasar semata dan dijalank an menurut hukum ekonomi, yakni permintaan dan penawaran, yang memberi ruang leluasa hanya bagi orang-orang kaya yang mampu menjangkaunya. Lem baga pendidikan tinggi harus melayani semua lapisan masyarakat, bahkan justru harus memberi akses lebih luas bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dengan menegaskan diri seba gai vox universiteit--universitas akyat.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/26/ArticleHtmls/26_04_2010_018_002.shtml?Mode=0
Pendidikan Tinggi dan Teror Neoliberalisme
Written By gusdurian on Senin, 26 April 2010 | 13.12
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar