Boyolali, Jawa Tengah,saya melihat seorang ibu yang sedang memasak
dengan semangat, seolah hari itu tak terjadi bencana yang memilukan.
Dia tak hanya memasak untuk keluarganya. Dari dapur yang kecil dia
membuat makanan jauh lebih banyak dari biasa untuk dibagikan kepada
para pengungsi yang datang ke desanya. Jauh dari hirukpikuk publikasi,
ibu ini dengan tulus bekerja membantu saudara sebangsanya yang bahkan
tak dia kenal, dan bisa jadi berbeda etnis, agama,dan afiliasi
politik. Peristiwa bencana alam di Indonesia pada 2010 ini telah
memberi pelajaran kepada kita tentang voluntarisme: sikap sukarela dan
spontanitas untuk membantu sesama yang tengah mengalami musibah. Kita
menyaksikan begitu banyak orang biasa, bukan aparatur negara, bahkan
bukan anggota organisasi sosial seperti palang merah atau
kepanduan,terpanggil membantu dengan kemampuan seadanya: ibu-ibu
memasak nasi bungkus, para pemuda membantu evakuasi, orang-orang
meminjamkan mobil dan truk, hingga koordinasi bantuan lewat jejaring
sosial seperti Twitter.
Semua dilakukan oleh orang biasa. Voluntarisme sesungguhnya telah lama
mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Pada saat long march Divisi
Siliwangi 1948,rakyat di daerah yang dilewati pasukan menyediakan
sekadar air di kendi atau buah-buahan dari kebun.Ketika Reformasi
1998, ibu-ibu di Jakarta mengoordinasikan penyediaan nasi bungkus
untuk para mahasiswa yang berdemonstrasi di Gedung DPR. Juga waktu
mahasiswa dan warga Yogyakarta memenuhi Alun-alun Utara, pada 20 Mei
1998, untuk menyuarakan tuntutan reformasi, masyarakat menyediakan air
minum dan penganan di sepanjang jalan seraya bersorak memberi
semangat.
Terkikis
Ada juga voluntarisme yang mulai terkikis, terutama di kotakota besar,
seperti mulai enggannya warga melakukan kerja bakti membersihkan
lingkungan dan ronda siskamling.Voluntarisme di bidang ini telah
digantikan oleh ”komersialisme”, yaitu warga cenderung menyerahkan
pekerjaan bersama kepada pihak tertentu dengan imbalan uang.
Voluntarisme adalah modal sosial yang sangat berharga yang harus terus
dipupuk di dalam masyarakat. Modal sosial suatu masyarakat berakar
pada kohesi sosial dan keinginan untuk melakukan tindakan atau
investasi sosial bagi komunitasnya.
Robert Putnam (1995) menjelaskan bahwa modal sosial mencakup
unsurunsur dalam suatu organisasi sosial seperti nilai-nilai, norma,
kepercayaan, dan jejaring yang memfasilitasi suatu koordinasi dan
kerja sama untuk kepentingan bersama. Aspek penting lain dari
bertumbuhnya modal sosial adalah keterhubungan (connectedness)
antarindividu dengan komunitas,serta antarindividu dalam komunitas
tersebut. Rasa keterhubungan tersebutlah yang menginspirasi individu
melakukan tindakan demi suatu kepentingan bersama. Basis dari
voluntarisme adalah kemanusiaan yang dipersatukan oleh tujuan,
semangat zaman atau tuntutan situasi tertentu.
Ibu-ibu dan warga yang menyediakan makanan untuk mahasiswa yang
berdemonstrasi itu percaya bahwa para anak muda itu memperjuangkan
sesuatu yang benar.Para relawan di Merapi, Mentawai, atau Wasior hanya
berpikir bahwa ada saudara mereka yang sedang dilanda kesusahan. Dalam
konteks penanganan bencana alam, voluntarisme sangat vital untuk
mengisi ruang kosong yang tak mampu diisi pemerintah karena skala
bencana yang jauh lebih besar dari kapasitas birokrasi untuk
menanganinya.
Modal sosial berupa voluntarisme ini dapat ditransformasikan menjadi
modal untuk berdemokrasi. Kesukarelaan yang timbul dari rasa
keterpanggilan sebagai warga negara akan menghidupkan demokrasi sampai
tingkat yang paling lokal.Pada saat pemilu,kita menyaksikan warga
dengan semangat menghias tempat pemungutan suara, bahkan ada yang
menggunakan kostum tertentu untuk menyemarakkan pesta demokrasi
tersebut.Voluntarisme dapat mengatasi kontaminasi kepentingan politik
di tingkat warga dan menghindarkan demokrasi tercerabut dari dinamika
kehidupan yang sesungguhnya.
Pembajakan
Ancaman terhadap voluntarisme politik di dalam masyarakat demokratis
adalah komodifikasi dan pembajakan kesukarelaan oleh politik
uang.Politik uang mencederai kepercayaan publik dan nurani demokrasi.
Politik uang menciptakan demokrasi artifisial dan menjerumuskan kita
ke dalam pragmatisme negatif dalam bentuknya yang paling telanjang.
Karena itu voluntarisme dalam politik harus dijaga dari kontaminasi
politik uang melalui penegakan etika politik, pendidikan kewargaan,
dan penguatan masyarakat madani.
Negara harus selalu menyediakan ruang untuk kearifan dan inisiatif
lokal, sementara masyarakat perlu terus mengasah kemampuan mengelola
diri sendiri dengan menghidupkan pranata sosial yang sudah dimiliki
selama ini. Masyarakat perlu diberi ruang untuk mendiskusikan
pengorganisasian macam mana yang paling bermanfaat dalam menumbuhkan
modal sosial. Masyarakat selalu membutuhkan pengorganisasian yang
bertumpukan pada interaksi yang memberi manfaat timbal balik antara
individu dan masyarakat, resolusi untuk tindakan sosial, dan bagaimana
pengorganisasian itu dapat memperluas basis identitas sosial yang
mengatasi identitas primordial. Dalam ruang seperti ini, individu
tidak lagi mengasosiasikan diri kepada suku, agama, atau identitas
terberikan lainnya, namun terdorong untuk mengasosiasikan diri dengan
kepentingan dan kebaikan bersama.
Dalam ruang seperti ini pula demokrasi dapat terus tumbuh dan menguat
dalam praktik bermasyarakat. Dengan melihat kemampuan masyarakat
menumbuhkembangkan modal sosial berupa voluntarisme, kita boleh
berbesar hati menatap prospek demokrasi di Indonesia. Jika masih ada
yang bertanya apakah bangsa kita siap untuk berdemokrasi? Jawabannya:
sebagian besar warga negara telah menghayati salah satu nilai penting
dari demokrasi tersebut. Hari ini,ibu di Pengging tadi bisa jadi masih
memasak untuk para pengungsi di desanya. Tanpa disadari dia telah
menjadi bagian dari modal bangsa ini berdemokrasi.(*)
Anas Urbaningrum
Ketua Umum DPP Partai Demokrat
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar