MEKANISME PERDAGANGAN KARBON KARBON DI DI DEWAN NASIONAL PERUBAHAN
DEWAN NASIONAL IKLIM*) PERUBAHAN IKLIM*)
Menjadikan REDD+ sebagai salah satu upaya yang dapat dijadikan bagian
pasar karbon di masa de- pan akan memberikan ruang ge- rak yang lebih
besar bagi pihak swasta, di dalam negeri dan inter- nasional, untuk
dapat berperan aktif dalam membantu penurunan emisi karbon.
ada akhir November 2010 akan diselenggarakan pertemuan internasional,
yaitu Konferensi Para Pihak PBB untuk Perubahan Iklim Ke-16 atau The
Sixteenth Conference of Parties (COP-16) di Cancun, Meksiko. Tujuan
konferensi ini adalah mendiskusikan upaya bersama menghindari
perubahan iklim yang ekstrem. Pertemuan akbar ini melibatkan banyak
pemangku kepentingan, tidak hanya perwakilan negara yang bernegosiasi,
tapi juga kalangan lembaga swadaya masyarakat, akademisi, bahkan juga
pebisnis.
Salah satu keputusan yang diharapkan muncul dalam COP Ke-16 adalah
adanya kesepakatan dunia untuk menjaga konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer pada ambang di bawah 450 ppm (bagian per juta) dan kenaikan
suhu bumi rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius. Sesuai dengan
prinsip Common but Different Responsibility, negara maju wajib
melakukan dan seharusnya memimpin pengurangan emisi global, sedangkan
negara berkembang melakukannya secara sukarela dalam rancangan
pembangunan berkelanjutan yang ramah emisi karbon.
Bagi para pelaku bisnis karbon, komitmen pengurangan emisi dari negara
maju adalah sinyal positif. Pasar karbon, baik bersifat wajib maupun
sukarela, akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari negara-negara
tempat para pebisnis ini berdomisili. Sebagaimana kita ketahui,
besarnya karbon yang dapat diperdagangkan merupakan bagian dari upaya
baik negara maju dan berkembang untuk mencapai target penurunan emisi
sesuai dengan komitmennya pada UNFCCC, terutama berdasarkan target
negara maju dalam Protokol Kyoto.
Di Indonesia, baik pasar karbon wajib, melalui mekanisme pembangunan
bersih atau clean development mechanism (CDM), maupun pasar karbon
sukarela berjalan dengan cukup pesat. Walau selama ini masyarakat
bisnis Indonesia lebih mengenal CDM dibandingkan dengan pasar karbon
sukarela, pada saat ini perkembangan pasar karbon sukarela relatif
lebih cepat. Hal ini disebabkan oleh relatif singkatnya proses di
pasar karbon sukarela dibanding CDM.
Proyek CDM di Indonesia, sebagian besar didominasi oleh pengurangan
emisi gas metana pada sisa produksi dan implementasi energi terbarukan
(air, surya, biomassa, dan panas bumi), telah mencapai lebih dari 130.
Dari jumlah tersebut, 49 proyek sudah
terdaftar di UNFCCC dan enam di antaranya sudah mendapatkan pengesahan
untuk penjualan pengurangan emisinya. Proyek-proyek kehutanan, atau
dikenal sebagai afforestation/reforestation (A/R CDM) yang ditengarai
banyak pihak merupakan timbunan uang, pada kenyataannya lebih banyak
menarik pelaku pasar karbon sukarela akibat kompleksnya implementasi
di lapangan.
Menyadari kesulitan tersebut, banyak pihak mulai mendiskusikan
kemungkinan masuknya mekanisme Reducing Emission from Deforestation
and Forest Degradation (REDD) dalam pasar karbon karena potensi hutan
untuk dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2, di
atmosfer cukup besar. CO2 akan diubah menjadi O2 oleh hutan dan,
karena itu, dapat dihitung serapannya dalam skala luas.
Dalam hal ini, Brasilia dan Indonesia merupakan dua negara yang
diharapkan akan banyak berperan dalam implementasi
REDD. Namun, seperti juga banyak mekanisme baru yang diusulkan ke
dalam mekanisme pasar karbon, sebelum REDD dapat menjadi bagian dari
pasar karbon, masih banyak hal yang perlu diselesaikan di tingkat
internasional, yaitu modalitas dan metode pengukuran dari besarnya
serapan karbon melalui proyek-proyek REDD.
Yang sering kali dilupakan banyak pihak, terutama mereka yang anti
terhadap mekanisme pasar dalam perubahan iklim, pasar karbon
sebetulnya memberikan aneka peluang. Antara lain melakukan transfer
dan pembangunan teknologi, peningkatan ekonomi, juga kesejahteraan
masyarakat di sekitar tempat pelaksanaan proyek.
Proses pemilihan dan pengesahan CDM dilakukan di tingkat nasional oleh
Komite Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB), yang
terdiri atas perwakilan kementerian/lembaga serta perwakilan civil
society, yang antara lain mensyaratkan dipenuhinya kriteria
pembangunan keberlanjutan maupun persetujuan masyarakat sekitar
sebelum proyek tersebut dinyatakan sah menjadi CDM. Pasar karbon
sukarela malah mensyaratkan unsur pembagian kepada masyarakat sekitar.
Selain itu, penerapan berapa tahap pemeriksaan oleh lembaga independen
memberi tambahan safeguard.
Di banyak negara, CDM dan pasar karbon sukarela memberikan leverage
bagi proyek yang sebelumnya kurang memenuhi kelayakan secara finansial
untuk dilakukan, seperti panas bumi, pembangkit listrik bertenaga
energi terbarukan skala kecil, maupun proyek kehutanan, menjadi layak
diimplementasikan. Hal yang sama diharapkan terjadi untuk jenis pasar
karbon masa depan, termasuk REDD+.
Sebagaimana disampaikan Kementerian Kehutanan, sampai 2030 akan
dilakukan pemanfaatan lahan hutan yang sudah rusak seluas 24 juta
hektare untuk berbagai kegiatan pembangunan, termasuk HTR, HTI,
perkebunan, bioenergi, dan pertambangan. Dalam memenuhi rencana ini,
sambil terus memastikan upaya penurunan emisi karbon dari sektor
kehutanan dan lahan gambut, Indonesia akan membutuhkan banyak upaya
yang bergantung pada inisiatif dan komitmen swasta. Menjadikan REDD+
sebagai salah satu upaya yang dapat dijadikan bagian dari pasar karbon
di masa depan akan memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi pihak
swasta, di dalam negeri dan internasional, untuk dapat berperan aktif
dalam membantu penurunan emisi karbon.
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar