Oleh M Bashori Muchsin Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
"DENGAN bedil dan pe luru, kekuasaan bisa direbut," demikian per nyataan Mao Tze Tung yang mengingatkan setiap elemen pemburu (oportunis) kekuasaan, bahwa senjata semacam pedang, parang, tombak, panah, atau bedil bisa digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Bedil telah diposisikan sebagai simbol dari suatu komunitas yang punya power seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dulunya ABRI untuk menciptakan atau merekayasa pengaruh, mengondisikan kekuatan, dan mengubah kondisi sesuai dengan yang dirancang, diobsesikan, dan direvolusinya.
TNI yang digolongkan sebagai salah satu elemen kekuatan strategis sudah terbukti. Dalam dinamika historis republik ini, TNI telah memberikan warna yang spesial. Di zaman Orde Baru, misalnya, kehadiran TNI (ABRI) telah mengisi ranah yang (nyaris) mutlak diperhitungkan. Di hampir semua jabatan strategis, elemen TNI, baik yang masih aktif maupun purnawirawan, digiring oleh model `demokrasi komando' untuk memimpinnya. Inilah yang kemudian memosisikannya sebagai elemen `tiga biola satu suara' dalam jalur ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar).
Seiring dengan pergantian rezim dan pemisahan TNI dengan Polri, paradigma baru TNI mencoba diperkenalkan atau disosialisasikan kepada masyarakat. TNI berobsesi memiliki dan menjadi milik rakyat. Sayangnya, TNI terkadang masih `tergoda' menggunakan bedil saat menjawab gerakan perlawanan keberingasan atau problem empirik rakyat kecil, padahal kata Girand dalam Violence and Sacred (1989), keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat. Keberingasan akan begitu saja bisa terjadi akibat frustrasi akut yang diderita seseorang dan masyarakat. Sikap TNI ini dapat terbaca dalam beberapa kasus konflik antara TNI dan rakyat yang berelasi dengan hak penguasaan (penggarapan) tanah dan lainnya.
Barangkali yang perlu ditakut-takuti dengan bedil (kekuatan) atau sering dijadikan `proyek utama' kinerja represifnya TNI bukan orang kecil itu, melainkan komunitas teroris dan gangguan teritorial.
Pada 5 September 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberi amanat di hadapan tentara Indonesia, "Angkatan perang ialah sebagai alat kekuasaan negara melindungi kedaulatan negara ke luar dan ke dalam.
Angkatan perang adalah satu kesatuan di bawah satu pimpinan. Tetap tenang, tenteram dan teratur, dengan meme gang teguh persatuan dan kewajiban dalam menghadapi bahaya dari dalam dan dari luar, mata seluruh rakyat.
Negara dan pemerintah sedang memandang kepadamu dengan penuh harapan dan penuh kepercayaan."
(Sudirman & Sudirman, Pusjarah TNI, Jakarta, 2004).
Salah satu jenis ancaman penyakit adalah `penyakit' yang menindas (menghegemoni) orang kecil. Sebagai sampel, kasus yang membenarkan derita masyarakat adalah jumlah kasus gizi buruk di Indonesia yang hingga saat ini masih memprihatinkan.
Setidaknya, 5 juta balita Indonesia menderita kekurangan gizi. Sebanyak 1,5 juta di antaranya menderita gizi buruk dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Potret buruk Sebagian orang kecil itu mengindikasikan masih banyak elite strategis negeri ini yang butuh disadarkan.
Pasalnya, mereka masih tidur dan bahkan terlelap dari peran-peran yang seharusnya dimainkannya. Elite strategis yang sedang berpenyakitan ini memerlukan elemen kekuatan lain yang bisa dan berani membangunkannya dari tidur atau menyadarkannya.
Gerakan penyadaran itu termasuk bagian dari jihad atau `berperang' yang bisa ditunjukkan dan digalakkan TNI untuk meluruskan sikap-sikap dan mental golongan elite yang sedang terlelap atau tergelincir membelokkan jalur kebenaran, egalitarian, keadilan, dan pengabdian humanitasnya.
Jihad yang bisa ditunjukkan TNI itu . bukan hanya dengan menggunakan senjata (bedil atau pedang), tetapi juga menggunakan tulisan, ucapan atau " kolaborasi strategis, yang ditujukan , untuk memenangkan doktrin kebe naran, supremasi kesederajatan, mengt utamakan tegaknya martabat kemanus siaan, dan pembebasan rakyat kecil, i yang notabene komunitas yang di landa kesulitan ekonomi, bencana s alam, dan kemudaratan lainnya.
a "Jika kamu diseru berjihad, pergi . lah," demikian sabda Nabi Muhama mad SAW, yang mengingatkan tentang k kewajiban elemen strategis masyarakat i (TNI) untuk menegakkan dan menyak lakan ajaran pembelaan terhadap negara dan bangsa. Salah satu harkat yang wajib dibela atau dijadikan objek jihad adalah nasib orang kecil. Kesulit an yang sedang mengimpit orang kecil ini adalah `proyek' jihad yang wajib . hu kum nya digarap TNI dengan mengerahkan kekuatan istimewanya.
g Bagi komunitas elitis seperti TNI yang sedang hidup lebih baik dan i terhormat, yang bahkan di antaranya sudah berada di jalur kemewahan atau berstatus sosial mapan (upper class), . tentulah tak ada jalan lain bagi mereka k kecuali harus berada di garda depan ' perjuangan memperbaiki nasib orang kecil. Golongan akar rumput ini tak akan mampu menggeliatkan diri, g apalagi memperoleh predikat `pemenang' dalam bursa kompetisi , dengan elite strategis, kalau tidak mendapatkan dukungan dari elemen istimewa lainnya (TNI).
Tanpa andil TNI itu, sulit rasanya perjuangan menabur kesejahteraan bagi orang kecil bisa terlaksana. Atau, setidaknya merebut dan melabuhkan makna pemartabatan orang kecil akan banyak menemui batu terjal. Jihad oleh TNI bukan tanpa dukungan kemampuan privilese. Pasalnya, tak sedikit di antara bisnis atau `kreativitas ekonomi' TNI di negeri ini yang terbilang sukses.
Bangkitlah! Dan pikullah amanat ini di atas pundakmu. Embuskan panas napasmu di atas kebun ini, agar harum-haruman narwastu meliputi segala. Janganlah, jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak. Hanya bernyanyi, ketika terempas di pantai.
Tapi, jadilah kamu air bah, menggugah dunia dengan amalmu. Demikian sajak penyair kenamaan Muhammad Iqbal, yang sejatinya mengingatkan setiap elemen bangsa atau pemegang amanat utama untuk tampil sebagai pemainpemain andal yang mampu menghadirkan perubahan dan pencerahan.
Kalau dalam ranah historis, TNI sudah terbukti sangat piawai menjadi pemain dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keutuhan NKRI.
Seharusnya, ketika dihadapkan dengan banyaknya problem kemanusiaan seperti eksplosi bencana yang menimpa orang kecil atau `membanjirkan' mustadh'afin, TNI pun mampu menunjukkan kekuatan dengan mengubah atmosfer ketidakberdayaan atau ketidakbermartabatan orang kecil menuju atmosfer kehidupan yang menyelamatkan, menyehatkan, menyejahterakan, atau memanusiakannya.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/10/05/ArticleHtmls/05_10_2010_007_018.shtml?Mode=0
TNI untuk Wong Cilik
Written By gusdurian on Sabtu, 09 Oktober 2010 | 11.37
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar