Indonesia patut berbangga. Betapa tidak, salah seorang putra terbaiknya, Prof Dr Azyumardi Azra, mendapat gelar Commander of The Order of British Empire (CBE) dari Kerajaan Inggris Raya. Pemberian gelar tersebut menjadikan putra kelahiran Sumatera Barat itu menjadi orang pertama di luar negara-negara Persemakmuran (Commonwealth) yang berhak memakai gelar Sirdan mendapat hak-hak istimewa dari Kerajaan Inggris. Di antara hak-hak istimewanya, Sir Azyumardi Azra, CBE, berhak dimakamkan di Inggris (kalau mau) dan juga bisa bolak-balik ke Inggris tanpa visa. Gelar yang dianugerahkan Ratu Inggris kepada Bung Edi—panggilan akrab guru besar UIN Jakarta—ini lebih tinggi ketimbang gelar yang diberikan kepada David Beckham (Officer of The Order of British Empire/OBE), pemain sepak bola Inggris yang dikagumi Azra. Gelar itu jelas sangat menggembirakan— bukan hanya bagi Azra,tapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebab pemberian gelar ini atas pertimbangan peran Azra dalam mendorong terbentuknya Islam yang moderat dan menghargai pluralisme. Islam Indonesia Menurut Azra, para pemimpin muslim Inggris selama ini hanya mengenal kehidupan beragama yang mengacu ke Arab Saudi atau Asia Selatan.Mereka tidak pernah menyangka ada kehidupan dan pemikiran Islam yang sedemikian moderat serta inklusif seperti di Indonesia. Para pemimpin Islam Inggris kagum melihat Indonesia bisa memiliki dasar negara Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada tempat pertama. ”Kita memiliki penduduk muslim terbesar di dunia,tetapi kita tidak membentuk negara berdasarkan agama.Namun,agama dan ketuhanan mendapatkan tempat utama,” ungkap Azra ketika menjelaskan mengapa Ratu Inggris memilih dirinya untuk mendapatkan gelar Sir. Kenapa Islam di Indonesia moderat dan inklusif? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang panjang. Dalam kata pengantar saya di buku Memahami Islam Jawa (Pranowo, 2009), Azra menulis bahwa perkembangan Islam Indonesia dan masyarakat muslim Nusantara memang tidak pernah terlepas dari dinamika Islam di tempat-tempat lain, termasuk Timur Tengah.Namun pada saat yang sama,perubahan- perubahan internal pada masyarakat muslim Jawa juga memengaruhi dinamika masyarakat- masyarakat muslim Nusantara. Dengan melihat komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas berada di Jawa, perkembangan Islam di Jawa sangat memengaruhi kondisi Islam di Nusantara.Pulau Jawa tidak hanya terkenal sebagai tempat di mana masyarakatnya lebih mementingkan harmoni ketimbang militansi, tapi juga tempat di mana organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dilahirkan. Muhammadiyah maupun NU yang didirikan orang Jawa mampu melakukan dakwah Islamnya dengan pendekatan kultural (Jawa) sehingga bisa meredam reaksi-reaksi dan gejolakgejolak yang mungkin timbul akibat masuknya ajaran Islam dalam kebudayaan Jawa yang tradisional dan dipengaruhi Hinduisme. Bahkan dalam banyak hal, Muhammadiyah dan NU, mampu menghadirkan Islam yang harmoni dengan kebudayaan Jawa. Kondisi inilah yang menjadikan Islam di Jawa, tulis Azra,sangat unik. Dalam pandangan Ricklefs, Islamisasi masyarakat Jawa adalah transisi-transisi budaya yang terus berlanjut. Setelah ribuan tahun menerima Hindu, orang Jawa mulai menerima Islam.Hinduisme yang telah memengaruhi budaya Jawa ini ketika bertemu dengan Islam, oleh masyarakat Jawa, ditransformasi sedemikian rupa sehingga Hinduisme dalam beberapa hal bisa berkompromi dengan Islamisme. Kompromi antara Islamisme dan Hinduisme ini berjalan amat kompleks,penuh degan kejutan dan dinamika,dan sampai sekarang—menurut Azra—terus berlanjut. Dari perspektif itulah, sejak Islam datang ke Jawa pada abad ke- 12,terlihat tensi dan konflik antara Islam dengan kepercayaan dan budaya lokal.Tapi dalam perjalanan Islamisasi selanjutnya, selama sekitar empat setengah abad, orang-orang Jawa akhirnya bisa melihat diri mereka secara alamiah memiliki identitas pokok yang didefinisikan Islam. Dalam perjalanan Islamisasi selanjutnya, sejak abad ke-19 terjadi perkembangan yang sangat krusial di Jawa, yaitu menguatnya kekuasaan kolonial Belanda yang berbarengan dengan meningkatnya gelombang kebangkitan Islam. Dampaknya,masyarakat Islam terbelah: di satu sisi ada kelompok masyarakat yang merasa perlu atau terpaksa bekerja sama dengan Belanda, di sisi yang lain ada yang justru menerima Islam secara skriptualistis. Pada saat itulah, tulis Ricklefs, muncul dua kelompok masyarakat Jawa,yaitu “abangan” yang merupakan kelompok muslim nominal dan “putihan” yang merupakan kelompok muslim taat. Kelompok “putihan”ini oleh Geertz disebut kelompok santri. Bahkan Geertz menambahkan satu kelompok lagi, yaitu “priyayi”.Yang terakhir ini adalah kelompok abangan dengan tradisi aristokrat yang cenderung pada Hinduisme. Pembelahan itu, tulis Azra, terus menguat, khususnya ketika menghadapi kolonialisme Belanda. Menjelang kemerdekaan Indonesia, terjadi perdebatan seru antara kelompok santri dan abangan. Kelompok santri menghendaki syariat Islam tercatat dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan kelompok abangan sebaliknya—meski kedua kelompok ini sama-sama menghendaki Indonesia sebagai negara yang nasionalis religius. Pada 18 Agustus 1945, terjadi peristiwa penting dalam sidang konstituante: pencoretan tujuh kata (Ketuhanan ”dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya”) dari Mukadimah UUD 1945 dengan imbalan tambahan kata ”Yang Maha Esa”. Dengan pencoretan tujuh kata itu,sila pertama Pancasila pun berubah dari ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alamsjah Prawiranegara menyatakan, pencoretan tujuh kata ini merupakan hadiah umat Islam taat (santri) kepada negara Republik Indonesia.Dalam perkembangan selanjutnya,masih ada kelompok santri yang berusaha untuk mengembalikan tujuh kata tersebut ke dalam Pancasila,tapi selalu gagal di sidang parlemen. Meski tujuh kata yang menjadi ”simbol santrinisasi” dalam Pancasila itu telah terhapus, proses santrinisasi di Indonesia, khususnya di Jawa,tetap berlanjut,baik di masyarakat abangan maupun priyayi. Dalam lintasan waktu yang panjang,tulis Sir Azra,orang-orang Jawa telah mengadopsi banyak hal—dari sumber-sumber Timur Tengah, Eropa, bahkan Amerika. Dengan mengadopsi sumber-sumber tersebut,orang Jawa merasa diperkaya, tapi juga sering terperangkap dalam kesulitan dan konflik yang muncul akibat perubahan budaya dan agama. Hasilnya seperti dilukiskan Ricklefs, banyak orang Jawa dewasa ini dengan penuh kesalehan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam, tapi pada saat yang sama menyukai wayang dengan ceritacerita Hindu. Mereka juga membaca literatur modern, mengendarai mobil Jepang, memakai telepon genggam, mengkritik Israel yang menduduki Palestina, mengkhawatirkan kebangkitan Islam militan, dan memendam kecurigaan kepada Amerika dan Barat; namun diam-diam berharap anaknya dapat belajar di Amerika dan Barat. Membuka Mata Dunia Meski apa yang dideskripsikan Sir Azra di atas adalah perkembangan Islam Jawa di Indonesia, tapi menimbang mayoritas penduduk Indonesia dan pemeluk Islam ada di Jawa, maka apa yang dideskripsikannya cukup mewakili ”sejarah terbentuknya moderasi dan inklusivitas”Islam di Indonesia yang dikagumi Ratu Inggris tersebut. Sir Azra,menurut Dubes Inggris untuk Indonesia Martin Hartfull yang menyerahkan gelar ”Sir dan CBE” di Jakarta, 28 September lalu, berhasil membuka mata dunia bahwa rujukan Islam itu tidak hanya ada di Timur Tengah dan Asia Selatan,tapi juga Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar di dunia. Dan Islam di Indonesia telah memberi contoh toleransi antaragama yang baik bagi Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Islam di Indonesia dapat menjadi acuan baru dalam citra keislaman di Inggris khususnya dan di Barat umumnya. Selamat untuk Sir Azyumardi Azra atas pemberian gelar CBE dari kerajaan terbesar dan tertua di dunia itu. Semoga pemberian gelar Sir ini akan makin membuka mata dunia bahwa Islam adalah agama ramah dan rahmah.(*) Prof M Bambang Pranowo Guru Besar UIN Jakarta/ Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian |
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355972/
0 komentar:
Posting Komentar