Namun praktik pengalaman sejarah administrasi negara berbagai bangsa di dunia ini ternyata administrasi negara dari sejumlah negara bangsa mampu mendorong kemajuan publiknya sehingga berhubungan timbalbalik. Dengan kata lain, administrasi negara memajukan bangsa (publik)-nya dan akhirnya bangsa yang maju menghasilkan administrasi negara yang maju pula.
Administrasi negara Indonesia dengan demikian cerminan publik negara bangsa Indonesia. Cirinya adalah fragmented, lemah dalam konsensus bersama, feodal, dan terdapat dualisme kemajuan (JD Legge,1955).Kacamata Legge dari tahun 1955 itu tampak masih berlaku hingga kini.Kekerasan sosial sebetulnya berkorelasi dengan keadaan tersebut. Bangsa yang fragmented dan lemah konsensus bersamanya berpotensi bagi munculnya konflik.Kenapa keadaan ini di Indonesia sulit dikelola hingga kini? Itulah persoalannya.
Reduksi Makna
Persoalan dasarnya dalam kacamata ilmu administrasi yang dihadapi sesungguhnya adalah tidak berperannya hubungan timbal balik antara administrasi negara Indonesia dengan kondisi bangsanya. Hal ini disebabkan reduksi konsep administrasi negara dari kata asalnya public administration. Bangsa kita mengenal pengelolaan kepentingan bangsanya yang asli adalah dengan bersukusuku, kemudian yang paling maju adalah administrasi kerajaan.
Namun, faktanya sangat tradisional. Oleh karena itu, jika ada administrasi dari bangsa ini yang bertipe maju harus diakui adalah sejak Hindia Belanda. Administrasi pada masa Hindia Belanda direduksi dalam lingkup negara (state) semata karena kita tahu untuk kepentingan kolonialisme. Praktisi dan ilmuwan lokal yang mempelajarinya pun bermazhab Eropa yang cenderung rechstaat untuk menertibkan atau menghindari machstaat.
Bangsabangsa Eropa pada saat itu sedang melancarkan kegiatan kolonialisme yang menuntut kekuatan negara pusatnya. Kepentingan publik di pusat tentu berbeda publik di koloninya. Publik koloni adalah bangsa yang belum beradab, itu anggapan mereka. Jika administrasi negara yang ada merepresentasikan keinginan publik koloni, niscaya tidak ada kolonialisme, tetapi sekadar kerja sama perdagangan.
Paling jauh, bantuan teknis membantu rajaraja koloni agar bangsanya menjadi maju. Oleh karena itu,terminologi public administration hanya dikenal di pusatnya,sedangkan di koloninya adalah state administration. Perkembangan selanjutnya, publik di pusat yang memiliki akal budi menginginkan adanya visi kemanusiaan global.Politik etis digulirkan. Mereka minta administrasi negara harus mampu mewujudkan politik etis.
Bangsa-bangsa koloni bukan saja “dididik” di tempat negara bangsanya, tetapi dibawa ke Eropa untuk belajar.Dikirimlah mereka ke Eropa untuk belajar hukum, ekonomi,dan bidang eksakta yang dibutuhkan dalam rangka kolonialisme. Sarjana Indonesia yang belajar di Eropa pun lebih dikenalkan dengan administrasi negara karena di pusatnya sendiri sedang digiatkan memperkuat negara.
Kurikulum berlingkup negara diperkuat, sedangkan konsep publik dikuatkan di jurusan ilmu politik yang waktu itu belum berkembang. Konsep shareholder dikenal dalam kajian bisnis entitas semata. Sayangnya analogi shareholder kepada masyarakat- bangsa pada saat itu belum muncul dan belum dibutuhkan seperti sekarang. Jadilah kuat dengan konsep administrasi negara dan bukan administrasi publik.
Implikasi
Dampak yang terasa adalah jarak (gap) yang lebar antara negara dengan aspirasi publik. Gap yang lebar inilah yang menjadikan administrasi negara di koloni yang ditinggalkan sulit membudayakan untuk sensitif terhadap lingkungan. Apa yang diinginkan publik sering berbeda dengan operasi administrasi negara. Dampak yang jauh adalah negara menjadi dominan dan berubah bukan sebagai alat, tetapi menjadi pengendali.
Kekerasan negara dapat terjadi di sini.Proses mengikis gap tersebut membutuhkan gerakan kultural dan struktural yang memakan waktu panjang. Jadilah pelayanan publik kereta api yang merupakan polesan kolonialisme tidak pernah dikelola kualitasnya dengan baik.Begitu pun pelayanan publik lainnya. Yang lebih parah adalah governance yang dilakukan pun tidak beranjak dari paradigma kolonialisme karena sistem hukum yang masih terpengaruh.
Padahal governance ini adalah penentu pelayanan yang dikembangkan.Pada level governanceini pun semestinya harus beranjak pada paradigma “administrasi publik”, bukan “sekadar”administrasi negara. Walaupun negara prasyaratnya adalah adanya masyarakat (publik), di samping wilayah dan pemerintah yang berdaulat,tetapi karena dengan konsep administrasi negara, administrasi yang dikembangkan justru lebih berorientasi pada sistem formal struktur organ negara, maka aspirasi dan kepentingan publik tidak muncul dengan baik.
Publik terpinggirkan dalam konsep ini. Dengan demikian, terminologi kata negara di belakang administrasi negara adalah bentuk rekayasa sistematis mutualisme negara pusat dengan koloninya yang tidak disadari pada saat itu, tetapi kini terasa dampak negatif-nya. Ketika keadaan di Indonesia mulai berubah, dunia konsep administrasi Indonesia masih relatif ajek.Namun,di tingkat internasional konsep administrasi negara berkembang pesat. Pada keadaan yang paling awal adalah kebutuhan akan administrasi pembangunan (development administration).
Kini konsep tersebut juga mendapatkan kritik yang cukup tajam. Praktik Indonesia sendiri dalam derajat tertentu masih terasa cocok pada taraf development. Namun globalisasi menjadikan konsep ini tertinggal karena sudah muncul konsep-konsep baru yang canggih. Pembatalan kunjungan kerja SBY ke negeri Belanda menguatkan dugaan bahwa kita masih memiliki administrasi yang underdeveloped.
Kebijakan terprogram dikalahkan oleh isu sesaat. Sangat berbeda dengan pembatalan Obama ke negeri kita karena adanya masalah dalam negeri yang membutuhkan penanganan cepat dari Obama, yakni soal tumpahan minyak oleh perusahaan dari negara maju lainnya. Pembatalan SBY semakin menguatkan pula asumsi lemahnya sensitivitas administrasi negara RI terhadap lingkungan.
Sebuah gambaran administrasi negara yang inward looking. Kembali ke persoalan dasarnya, administrasi negara semestinya harus mampu ditujukan untuk mengejar tujuan-tujuan publiknya. Sudah saatnya kita memikirkan upaya agar makna administrasi bagi negara bangsa ini tidak tereduksi hanya dalam organ formal semata, tetapi tepat dan asimetris dengan aspirasi,kepentingan, dan keinginan publiknya dan bukan organ negara semata. Karena itu, negara yang maju semestinya bangsa (publik)-nya harus maju dan saling berpengaruh. Sudah saatnya administrasi publik menggantikan gerakan dan konsep “sekadar” administrasi negara.(*)
Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara
FISIP UI dan Dewan Pakar IAPA
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355969/
0 komentar:
Posting Komentar