Testriono PENELITI DI PUSAT PENGKAJIAN ISLAM DAN MASYARAKAT (PPIM) UIN
SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Front Pembela Islam (FPI) kembali bikin ulah. Sasarannya kali ini
adalah “Q! Film Festival”, yang tengah memutar film-film bertema gay
dan lesbian. Dengan alasan film-film tersebut bertentangan dengan
Islam, FPI mengancam akan membakar gedung Goethe Institut Jakarta,
salah satu tempat penyelenggaraan festival itu, jika festival tetap
berlangsung. Aksi-aksi kekerasan FPI yang meningkat dalam beberapa
tahun terakhir adalah buah dari lemahnya aparat keamanan menghadapi
ormas-ormas radikal. Pemerintah kerap kali kalah di hadapan organisasi
kemasyarakatan (ormas) radikal dan memilih mengikuti aspirasi mereka
ketimbang menegakkan hukum dan ketertiban.
Dalam kasus di atas, misalnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru
akan mengevaluasi penyelenggaraan festival, dan menyalahkan
penyelenggara karena dinilai kurang peka terhadap karakter masyarakat.
Sikap pemerintah yang tunduk kepada aspirasi FPI, yang bertentangan
dengan undang-undang, merupakan kemunduran di alam demokrasi.
Sebaliknya, FPI makin merasa punya legitimasi untuk terus melakukan
aksi-aksi intimidatif dan anarkistis terhadap setiap hal yang tidak
mereka setujui.
Mereka mengembangkan sikap intoleran, mengintimidasi kelompok-kelompok
minoritas, bahkan menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan
mereka. Parahnya, negara kerap kali gagal mencegah terjadinya
kekerasan oleh ormas itu.
Menolak kekerasan Meski aksi-aksi intoleransi agama dan antipluralisme
yang terutama dilakukan oleh ormas-ormas Islam baru muncul belakangan,
dampaknya telah merusak wajah moderat dan damai umat Islam Indonesia.
FPI adalah ormas Islam yang paling vokal dalam mengembangkan sikap-
sikap intoleran. Berdalih menjalankan perintah agama, FPI melancarkan
sejumlah agenda intoleransi. Aksi sweeping terhadap tempat-tempat
hiburan malam di bulan Ramadan dan demonstrasi anti-Ahmadiyah adalah
yang paling sering dilakukan.
Cara-cara kekerasan yang digunakan FPI membuatnya besar dari segi
nama, meski kecil dari sisi jumlah anggota. Seorang rekan jurnalis
mengatakan, publik dan media Barat kini lebih mengenal FPI ketimbang
ormasormas moderat mainstream, seperti NU dan Muhammadiyah. Padahal,
meski dukungan terhadap indikator intoleransi cukup tinggi, dukungan
masyarakat terhadap aksi kekerasan sangatlah rendah. Jajak pendapat
Kompas (6 September 2010) menunjukkan bahwa 92,3 persen responden
merasa resah atas penyerangan terhadap kelompok tertentu. Mayoritas
juga menolak demonstrasi ormas dengan kekerasan (92,9 persen), aksi
sweeping Intoleransi tidak akan berbahaya jika tidak diikuti oleh aksi-
aksi anarkistis melawan hukum. Dukungan masyarakat yang rendah
terhadap aksi kekerasan adalah modal penting bagi pemerintah untuk
menindak tegas pelaku kekerasan. Pandangan bahwa menindak tegas ormas
anarkistis akan menurunkan popularitas pemerintah adalah hal yang
keliru. Justru mayoritas masyarakat sangat ingin pemerintah mengambil
tindakan tegas terhadap pengurus atau anggota ormas yang melakukan
kekerasan. Dan itu adalah cara paling efektif untuk menghentikan
kekerasan ormas. Malaysia dan Turki adalah contoh negara yang berhasil
menekan kelompok radikal melalui pendekatan keamanan ini.
Membekukan ormas yang terbukti berulang kali mengganggu keamanan dan
ketertiban umum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, adalah pilihan yang mungkin
dilakukan. Tindakan tegas seperti ini akan menjadi preseden bagi ormas-
ormas lain sehingga mereka menjauhi cara-cara kekerasan.
Meski demikian, penguatan kapasitas keamanan negara saja memang
tidaklah cukup. Negara juga harus efektif dalam menyediakan pelayanan
sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rentan akibat kemiskinan,
pengangguran, serta layanan sosial pemerintah yang buruk adalah tanah
subur bagi berkembangnya ormas-ormas radikal.
Di masa mendatang, pemerintah Indonesia perlu perbaikan dalam dua hal.
Pertama, revisi UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Menurut Kementerian Dalam Negeri, hingga tahun 2010
ini jumlah ormas di Indonesia telah mencapai sekitar 9.000 ormas. Ini
belum termasuk yang tidak terdaftar di kementerian. Sementara itu,
undang-undang yang kita miliki untuk mengaturnya telah kedaluwarsa dan
sudah tidak relevan dengan konteks demokrasi sekarang.
Kedua, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan khusus untuk
membangun masyarakat Indonesia yang toleran. Tingkat pluralitas
masyarakat Indonesia sangat tinggi. Sedangkan aturan-aturan yang ada
masih berupa kebijakan-kebijakan parsial di departemen-departemen yang
terpisah. Toleransi adalah persoalan besar yang harus memperoleh
perhatian serius, seperti halnya isu-isu ekonomi, pendidikan, atau
kesehatan.
Demikianlah, pemerintah harus menang menghadapi ormas-ormas radikal.
Tindakan tegas, kebijakan yang tepat, dan regulasi yang baik adalah
cara jitu mengubah strategi kekerasan ormas menjadi strategi damai. ●
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/07/ArticleHtmls/07_10_2010_012_015.shtml?Mode=1
0 komentar:
Posting Komentar