BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Istana Bising Yudhoyono

Istana Bising Yudhoyono

Written By gusdurian on Senin, 25 Oktober 2010 | 14.07

Eep Saefulloh Fatah*

HASIL survei yang tak bersahabat adalah salah satu bingkisan
penting untuk ulang tahun pertama pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono. Survei Kompas yang dilansir pekan lalu
menyebutkan, dalam rentang waktu April 2009-Oktober 2010, citra
positif Yudhoyono melorot dari 93,5 persen menjadi 67,8 persen.

Kebanggaan publik terhadap Yudhoyono juga turun dari 90,8
menjadi 68,8 pers en. Penurunan yang lebih bermakna terjadi dalam
kepuasan publik terhadap kerja Yudhoyono dalam memimpin pemerintahan
(76,6 menjadi 44,3 persen). Elektabilitas Yudhoyono merosot tajam dari
82,6 persen pada April 2009 menjadi 34,2 persen pada Oktober 2010.

Hasil survei itu menunjukan kegagalan Yudhoyono-Boediono
mendayagunakan modal potensial yang sudah dalam genggaman. Secara
potensial, postur politik Yudhoyono sesungguhnya amat meyakinkan.

Ia sukses mendongkrak suara Partai Demokrat nyaris tiga kali
lipat dari Pemilihan Umum 2004 ke Pemilu 2009. Bersama Boediono, ia
menang pemilu presiden dalam satu putaran dengan 60,8 persen suara. Ia
sukses menyertakan enam partai dalam koalisi penyokong pemerintah
dengan persentase kursi legislatif 75,5 persen. Tapi modal besar itu
berhenti sebagai energi potensial dan tak bergerak menjadi energi
kinetik.

Ada banyak kemungkinan jawaban. Di antaranya selama setahun ini-
melanjutkan kecenderungan lima tahun sebelumnya-Yudhoyono tak memiliki
"kantor eksekutif presiden" yang berkemampuan menyokong kerja presiden
(dan wakil presiden) secara optimal.

Yang dimiliki Yudhoyono adalah beberapa lapis organisasi yang
tambun di Istana, yang terbukti tak bekerja efektif serta kurang mampu
menjaga komunikasi, koordinasi, dan sinergi. Yudhoyono dikelilingi
beberapa lapis lingkaran pendukung yang berkerumun dengan semangat
kerja politik yang berapi-api tapi payah dalam kecermatan birokratis
dan teknokratis.

Kerumunan di seputar Presiden itulah yang sejak Oktober tahun
lalu menorehkan sejumlah "prestasi mengagumkan". Misalnya, pembatalan
pelantikan Anggito Abimanyu sebagai Wakil Menteri Keuangan beserta
epilognya yang kisruh, penundaan pelantikan Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal Gita Wiryawan, dan banyak kekeliruan fatal dalam
komunikasi publik dari kantor kepresidenan. "Prestasi" paling mutakhir
dan menggetarkan adalah kealpaan administrasi dan hukum yang membuat
keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supandji cedera, juga kisruh di balik
pembatalan mendadak kunjungan kenegaraan Presiden ke Belanda.

Yang kita saksikan selama setahun ini adalah lingkaran di
seputar Presiden yang bising. Banyak anggota staf khusus dibiarkan
bertindak menjadi "juru bicara" untuk beragam urusan. Kepentingan dan
sikap Istana dikomunikasikan melalui banyak mulut dan celakanya dengan
kualitas pesan yang kurang terjaga.

Dalam praktek presidensialisme yang mapan, kerja di seputar
presiden adalah kerja yang senyap, jauh dari liputan media dan sorot
kamera. Selama masa kepresidenan Yudhoyono-dan makin menjadi-jadi pada
setahun terakhir-lingkaran politik di sekitar Presiden seperti
berlomba tampil ke atas pentas. Mereka seolah ingin membuktikan sudah
memberikan layanan terbaik untuk sang majikan, sambil mengais-ngais
simpati, dukungan, dan popularitas.

Kebisingan itu jadi terasa mengganggu karena berjalan di tengah
miskinnya komunikasi, koordinasi, dan sinergi di antara kalangan dekat
Presiden itu. Kredibilitas, akurasi, serta akuntabilitas informasi dan
pesan yang diterima publik dari mereka layak dipertanyakan. Semakin
hari semakin terbukti bahwa Presiden dikelilingi staf yang sangat
bersemangat-berpolitik penuh atraksi seperti peserta karnaval-tapi
miskin kemauan dan ketekunan untuk bekerja secara birokratis dan
teknokratis dalam senyap.

Dipandang dari perspektif ilmu politik dan pemerintahan,
kesimpulannya sederhana belaka: Presiden dan Wakil Presiden bekerja di
tengah absennya kantor eksekutif presiden yang kuat dan kredibel.

Kantor eksekutif presiden mudah ditemukan dalam setiap sistem
presidensial dalam pengertian yang sesungguhnya. Model awal kantor ini
bisa ditemukan di Amerika Serikat sejak periode kedua masa
kepresidenan Franklin D. Roosevelt pada 1939. Terlepas dari
perkembangan dan penyesuaian yang dilakukan dari waktu ke waktu,
kantor ini-biasa disebut sebagai Gedung Putih-dijalankan dengan
beberapa ciri pokok.

Untuk tujuan efisiensi dan efektivitas kerja, Gedung Putih
biasanya dikelola oleh kantor berstruktur ramping. Penjenjangan
jabatan, misalnya, dibuat amat bersahaja sehingga tak merumitkan
birokrasi Istana. Di kantor eksekutif Presiden Barack Obama saat ini
hanya ada tiga jenjang jabatan: asisten, wakil asisten, dan asisten
khusus untuk presiden.

Kepala Staf Gedung Putih, sang pemimpin kantor (di bawah
koordinasi Presiden), Pete Rouse, dan dua wakilnya, Mona Sutphen dan
Jim Messina, menduduki jenjang "Asisten untuk Presiden". Birokrasi
yang ramping juga tecermin dalam pembagian urusan: kebijakan dan
operasional-masing-masing dikendalikan oleh wakil kepala staf.

Di Gedung Putih memang ada tiga dewan, dua badan, dan tujuh
kantor, tapi semuanya dikendalikan dalam sistem kerja yang jelas. Ada
mekanisme baku untuk menjahit komunikasi, koordinasi, dan sinergi
berbagai unsur.

Kesalahan bukan tak pernah terjadi. Beberapa pekan lalu,
miskoordinasi menyebabkan sejumlah besar duta besar tak bisa masuk
Gedung Putih untuk menghadiri acara yang diadakan Presiden Obama untuk
menghormati diplomat asing.

Dalam masa kepresidenan tertentu, prinsip organisasi Gedung
Putih yang ramping itu pernah dilanggar. Namun biasanya itu dilakukan
untuk mengimbangi kabinet sangat ramping yang dibentuk presiden.
Gedung Putih bertugas menambal lubang-lubang yang tak terjangkau
kabinet dengan membentuk sejumlah dewan.

Tentu saja model Amerika tak bisa sepenuhnya kita gunakan.
Sistem presidensial mereka jauh lebih sederhana (disokong sistem
dwipartai) dibanding kita (yang bersistem multipartai). Kantor
eksekutif presiden di berbagai negara Amerika Latin-yang mengawinkan
presidensialisme dengan sistem multipartai-bisa jadi pembanding yang
lebih layak.

Terlepas dari keragaman operasi sistemnya, umumnya demokrasi
presidensial di Amerika Latin bersungguh-sungguh membangun kantor
eksekutif presiden. Ada ikhtiar untuk menggabungkan sifat ramping
organisasi, kesederhanaan penjenjangan birokrasi, dan jahitan
komunikasi-koordinasi-sinergi dengan kebutuhan mengakomodasi sistem
multipartai.

Konsekuensinya, sekadar misal, ada organ-organ khusus untuk
mengurus hubungan kabinet dengan partai-partai serta lembaga
legislatif. Organ ini bersifat permanen, bekerja penuh untuk tujuan
itu, sehingga bisa menjadi instrumen presiden untuk membangun disiplin
koalisi pemerintahan. Juga memastikan dukungan politik dari partai dan
parlemen terhadap kebijakan presiden serta mengatasi hubungan presiden
dengan partai-partai.

Andai Yudhoyono memiliki organ semacam itu, anggota staf khusus
bidang bencana alam, Andi Arief, tak perlu sibuk melobi tokoh-tokoh
politik seperti yang kerap ia lakukan. Adanya organ khusus semacam itu
juga tak akan membuat pihak-pihak yang dilobi salah paham karena
merasa dinilai sebagai "sumber bencana" oleh Presiden.

Belajar dari pengalaman setahun terakhir, ada baiknya Presiden
Yudhoyono menata ulang kantor eksekutif presiden dengan mereformasi
lapis demi lapis organisasi dan birokrasi Istana yang tambun, tak
efisien, dan tak efektif itu. Jika Yudhoyono abai, saya khawatir, ia
akan terkurung di dalam Istana dengan kaca-kacanya yang buram.

Kaca buram Istana adalah sebuah penyakit yang biasa diidap
presiden yang tak memiliki kantor pendukung yang sigap dan cakap. Kaca
Istana dibuat buram karena informasi dan data yang sampai ke presiden
bermutu rendah. Kaca yang buram membuat presiden silap mata. Publik di
luar Istana yang cemas, kecewa, marah, dan menuntut dilihat presiden
seperti rombongan pendukung yang bahagia, nyaman, dan bersuka ria.

Sebagai warga negara, saya mendambakan presiden yang kuat,
sigap, dan tangkas mengelola berbagai persoalan. Presiden patut menata
ulang istananya agar dalam empat tahun tersisa, ia tak selalu merasa
cemas karena merasa kekuasaannya hendak direbut orang lain.

*) Pemerhati politik, CEO PolMark Indonesia



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/10/25/KL/mbm.20101025.KL134915.id.html
Share this article :

0 komentar: