Jakarta - Winfaidah (26) menderita. Ingin memperbaiki nasib keluarga
rela meninggalkan bayinya di kampung halaman, Lampung. Dia pergi ke
Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Namun majikan barbar
menjadikannya budak nafsu. Diperlakukan mirip jugun ianfu. Disiksa dan
diperkosa sebelum dibuang begitu saja di jalanan.
Dalam pekan yang sama 18 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Pulau
Kangean, Sumenep disiksa polisi Malaysia. Dia tertangkap saat razia,
diperlakukan seperti romusya. Dipukuli dan diinjak-injak bak budak tak
berharga.
Dua peristiwa itu membuat kita miris. Betapa murah dan ternistanya
saudara-saudara kita yang tak tahan dengan penderitaan di dalam negeri
melancong ke negeri lain untuk memperbaiki ekonomi keluarga ternyata
berbuah sebaliknya. Sampai kapankah keterpaksaan sebagai 'budak' itu
mampu dientas pemerintah kita?
Sejak puluhan tahun lalu negeri ini mencita-citakan sebagai negara
sembada. Berdaulat dan mandiri. Mumpuni dalam berbagai bidang, serta
kokoh berdiri di atas kaki sendiri. Tidak hanya dalam pertahanan,
tetapi juga ketahanan pangan dan lapangan kerja yang mensejahterakan.
Cita-cita itu bukan impian. Luas wilayah, geografis yang strategis,
struktur tanah yang subur, dan kultur negeri agraris merupakan potensi
yang bisa mewujudkan cita-cita itu. Merealisasi harapan rakyat agar
berdiri tegak dalam pergaulan dunia. Dan disegani karena kesantunan
dan kemandiriannya.
Namun harapan tinggallah harapan. Beberapa orde dalam negeri
bertumbangan digantikan orde yang lebih kontemporer ternyata belum
mendekati harapan itu. Tiap orde diwacanakan paripurna berbuah
pendzoliman terhadap rakyat. Dan cita-cita luhur itu menjadi angin
surga, terlihat indah tetapi menista.
Rakyat menjadi tumbal di negerinya sendiri. Dia laten menjadi obyek
penderita. Kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya hidup dan
pendidikan membuatnya istirah dalam kepapaan dan ketidak-berdayaan
abadi. Kemelaratan itu membentuk rasi yang beranak-pinak dalam strata
paria.
Ironisnya itu terjadi di negeri yang dikenal sebagai pewaris budaya
adiluhung. Di tengah kekayaan alam melimpah. Di tengah buncahan suara-
suara wakil rakyat yang berbusa-busa. Di tengah para pemimpin yang
berbantah. Dan di tengah korupsi yang terus menggila. Rakyat mayoritas
ternyata hanya sebagai penonton. Penonton dari sebuah drama tragic-
comedy yang bernama Indonesia.
Di dalam negeri tidak memberi ruang untuk berjuang mensejahterakan
diri, maka cita-cita paling dasar, hidup layak, ditambatkan pada
negara tetangga. Rakyat lari dari negerinya, mengadu nasib di negeri
orang. Demi negeri tercinta, mereka rela menjadi 'romusya' yang
berkesadaran. Sadar menjadi budak.
Disebut begitu, karena tidak masanya bekerja harus didera dan
diperkosa. Tidak di negeri ini dan di negeri manapun juga di dunia.
Perbudakan telah dihapuskan. Tapi itu ternyata masih berulang-ulang
menimpa saudara kita yang bekerja di negeri orang. Sampai kapankah
tangis saudara-saudara kita itu menjadi tawa? Sampai kapan nyawa yang
sia-sia itu menjadi berharga layaknya kita menghargai manusia lainnya?
Rasanya pemerintah masih belum berpikir tentang gengsi sebuah bangsa.
Itu tampak dari kebanggaan menaiknya cadangan devisa seiring makin
seringnya TKI dianiaya dan diperkosa. Dan kita masih bangga dengan
menyebut mereka sebagai pahlawan devisa.
Saya setuju dengan Menhan Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan ratusan
triliun Rupiah sangatlah kecil dibanding harga diri bangsa ini. Namun
adakah hanya senjata untuk menaikkan harkat dan martabat bangsa ini?
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
(asy/asy)
http://us.detiknews.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar