"Memangnya saya takut sama mereka?""Bukan begitu, Pak. Saya dulu pernah di posisi mereka, dan mereka sangat kuat. Kita bisa digilas."
Percakapan itu terjadi saat saya menghalangi Mayor Jenderal Ali Moertopo yang nekat ingin keluar dari gedung kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, sambil membawa pistol. Ali berkeras ingin menemui Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Hariman Siregar yang memimpin demonstrasi dan mengejek Ali sebagai antek-antek Jepang.
Unjuk rasa mahasiswa yang berakhir rusuh itu dikenal sebagai Malari Malapetaka Lima Belas Januari pada 1974. Dalam buku biografinya yang ditulis Heru Cahyono, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkop kamtib) Jenderal Soemitro menduga Ali Moertopo menjadi dalang kerusuhan itu.
Itulah demonstrasi mahasiswa terbesar setelah unjuk rasa periode 1966 yang menumbangkan Orde Lama dan membantu Soeharto naik menjadi penguasa Orde Baru. Saya menjadi bagian di dalamnya ketika itu, sehingga tahu bagaimana dahsyatnya kekuatan mahasiswa bila sudah menggalang diri.
Peristiwa Malari dilatari kemarahan rakyat karena melambungnya harga beras dan bahan kebutuhan pokok. Penyebabnya adalah resesi dunia sejak 1973 lantaran embargo minyak oleh negara-negara Arab dan membubungnya harga minyak dunia. Ekspresi kemarahan itu muncul melalui mahasiswa karena selama enam bulan sebelumnya mereka diminta Soemitro mengkritik pemerintah dengan alasan untuk feedback atas kebijakan pemerintah.
Serbuan produk buatan Jepang ditambah sikap sombong mereka atas keunggulan investasi manufaktur di Indonesia, terutama otomotif, menambah amunisi kemarahan mahasiswa. Tak mengherankan bila salah satu sasaran massa adalah gerai Astra perusahaan patungan Indonesia-Jepang. Massa mencemplungkan beberapa mobil dan sepeda motor buatan Jepang ke Kali Ciliwung.
Situasi itu membuat Presiden Soeharto pusing. Apalagi saat itu bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Lantaran situasi rusuh, selama kunjungannya Tanaka tak berani keluar dari Hotel Indonesia, tempat dia menginap.
Pada 1973, Soemitro diangkat menjadi Pangkopkamtib. Sebelumnya, Presiden Soeharto tidak terlalu mempercayainya karena dia masih keponakan Doel Arnowo, tokoh Jawa Timur yang dikenal loyalis Bung Karno. Namun Soemitro dianggap berprestasi kala menjadi Deputi Operasi Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dia berhasil membereskan "pemberontakan" para jenderal penguasa wilayah yang tak puas terhadap Soeharto. Mereka di antaranya Kemal Idris di Sulawesi, H.R. Dharsono di Jawa Barat, Sarwo Edhie mertua Susilo Bambang Yudhoyono di Sumatera Utara, dan Amir Machmud. Soemitro meredam pergolakan itu dengan memindahkan para jenderal itu dari basis mereka.
Sebagai Pangkopkamtib, Soemitro bertindak layaknya perdana menteri. Dia bisa memanggil menteri, Jaksa Agung, dan para teknokrat untuk rapat di kantornya. Kemudian dia melakukan safari ke berbagai perguruan tinggi dan bertemu dengan para pemimpin mahasiswa, termasuk Hariman. Mereka disuruh mengkritik sebagai feedback atas kebijakan pemerintah. Langkah yang aneh, saya pikir. Lha wong tanpa disuruh saja mahasiswa mengkritik, kok. Ini malah di suruh.
Pada saat yang sama, Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, saya, dan beberapa orang lain sedang melakukan safari ke Australia dan sejumlah negara Pasifik, seperti Papua Nugini, Fiji, dan Selandia Baru. Kami tak tahu ada gerakan Soemitro yang meminta izin Soeharto untuk menertibkan Ali. Alasannya, Ali terlalu memihak kepada Malaysia dalam kasus perebutan Sabah dengan Filipina.
Maka telepon Ali disadap oleh Intelijen Strategis. Penjaga dan ajudannya ditarik oleh Skogar di bawah Soemitro. Pulang ke Tanah Air pada Desember, Ali dan Soe djono kaget diperlakukan seperti pesakitan. "Ini orang maunya apa, sih," kata Ali dengan nada marah kepada saya. "Kalau cuma sama dia, saya enggak takut." Ali juga merasakan Soemitro ingin menghajarnya melalui mahasiswa.
Soeharto mencium gelagat perang dingin antarjenderal itu. Dia segera memanggil sembilan jenderal ke Istana pada 31 Desember 1973. Selain Soemitro dan Ali, ada Soedjono, Kharis Soehoed, Kepala Intel Strategis kelak Badan Intelijen Strategis-Kepala Badan Koordinasi Intelijen Soetopo Joewono, Wakil Pangkopkamtib Sudomo, Sekretaris Negara Sudharmono, Sekretaris Militer Presiden Tjokropranolo, dan Kepala Staf Angkatan Darat Surono.
Di sana Soeharto menegur para jen deral. "Kalau ada yang ingin menggantikan saya sebagai presiden, silakan. Tak usah saling mengkudeta seperti di Amerika Latin," ujar Ali dan Soedjono kepada saya menirukan ucapan Soeharto. Soemitro seperti cacing kepanasan dalam pertemuan itu dan mengatakan dia tak punya ambisi mengambil alih kekuasaan Soeharto. Setelah pertemuan itu, Kharis, Ali, dan Soemitro diminta mengadakan konferensi pers bersama dan mengatakan tak ada apa-apa di antara mereka, sekaligus meredam protes-protes mahasiswa.
Terlambat. Dua pekan kemudian pecah Malari. Atmosfer gerakan yang sudah dipanasi selama enam bulan tak bisa di dinginkan dalam tempo singkat.
CSIS awalnya adalah sebuah biro dokumentasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Biro yang dibentuk pada 1962 ini bertugas mendokumentasi kliping peristiwa sosial dan menganalisisnya untuk Partai Katolik dan Dewan Gereja.
Pada 1963, kami sudah menganalisis Partai Komunis Indonesia akan berkuasa. Mereka bakal menang dalam pemilihan umum lima tahun lagi karena Bung Karno kesengsem oleh gerakan massa partai ini. Dan kami, Katolik, yang akan diganyang pertama kali karena paling keras menentang komunis bersama Masyumi dan Partai Sarikat Islam Indonesia.
Kami yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan intelektual Katolik menjadi operator biro ini. Analisis sosial diperlukan sebagai bahan argumentasi dan pembuatan keputusan partai dan gereja.
Saya, ketika itu menjadi Wakil Ketua PMKRI, dan Harry Tjan, Sekretaris Jenderal Partai Katolik, adalah dua dari sejumlah pemikir dalam gerakan ini. Kami juga memiliki orang-orang yang terlatih secara fisik. Gerakan kami adalah gerakan bawah tanah untuk melawan komunis yang sudah terlihat kuat saat itu.
Saat peristiwa 1965, biro ini membantu kami di Front Pancasila, yang menjadi think tank gerakan melawan komunis. Setelah Soeharto menjadi presiden, kami diminta tetap membantunya sebagai think tank dalam struktur kepresidenan. Saat itu saya sadar, orang ini pintar secara alamiah. Kalau tidak hati-hati, kami akan berada dalam genggamannya.
Kami berpendapat perlu ada lembaga pemikir dan pengkaji untuk membantu pemerintah mewujudkan Indonesia yang lebih maju secara politik, ekonomi, dan pertahanan. Tapi sebaiknya bukan dalam struktur kepresidenan agar bebas meneliti dan menyampaikan pendapat. Lembaga itu harus independen dengan ke uangan sendiri.
Saat itu, dalam benak Soeharto, urusan strategi adalah urusan tentara. Sipil tak usah ikut-ikutan. Kami berpikir sebaliknya. Tapi kami paham mesti mengikutsertakan tentara. Kami pilih tentara yang terlatih berpikir dan cerdas, yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka menjadi pelindung lembaga ini.
Ali dan Soedjono adalah perwira ope rasi khusus yang kemudian menjadi asisten pribadi Soeharto. Operasi khusus adalah pelaksana tugas yang dibentuk Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani untuk menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia. Tugasnya lebih bergerak pada level politik.
Lewat CSIS, kami memberikan resep politik, ekonomi, sampai pertahanan kepada Soeharto. Semua dalam bentuk kajian akademis dan strategis. Saat itu, ka mi mengundang beberapa cendekia wan bergelar doktor dari Eropa Barat supaya membantu kami. Maka Daoed Ju suf dan Hadi Soesastro kemudian bergabung setelah menamatkan studi mereka.
Ali yang pertama kali memberikan kantor buat kami di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat. Ali pula yang memberikan dana bagi pembentukan lembaga ini. Kemudian, untuk kemandirian, kami membentuk Yayasan Proklamasi-kemudian berubah menjadi Yayasan CSIS dan Sofjan Wanandi menjadi bendahara yang bertugas mencari dana.
Hasil kajian lembaga ini tak cuma disampaikan kepada pemerintah, tapi juga ditujukan ke negara lain. Contohnya kami lakukan ketika menggelar Konfe rensi Jepang-Indonesia pada awal Desember 1973, enam pekan sebelum Malari. Ketika itu kami mengkritik kebijakan Jepang yang jorjoran menyerbu Indonesia, termasuk dengan berbagai investasi.
Saya menilai Jepang, setelah kalah Perang Dunia II, memandang Indonesia dan Asia Tenggara sebagai pasar produk mereka semata. Mereka belum lihai melaksanakan kebijakan politik sehingga hanya merangkul pemerintah dan pengusaha setempat.
Kami terbiasa pula mengkaji hu bu ngan bilateral Indonesia dengan negara lain, termasuk normalisasi hubungan dengan Cina pada 1992. Saat itu, Cina sudah menjadi negara yang prospektif secara ekonomi dan pertahanan.
Kajian lain menyangkut organisasi multilateral yang melibatkan Indonesia. Pada masa awal Orde Baru, kami mengkaji perkembangan ASEAN. Kebetulan, delapan bulan sebelum penandatanganan Dekla rasi ASEAN pada 8 Agustus 1967, saya diutus Ali Moertopo untuk mengkaji kerja sama organisasi di antara negara-negara Asia Tenggara.
Saat ini CSIS banyak memberikan resep buat pemerintah dan pelaku swasta dalam berhubungan dengan Cina. Apalagi setelah perdagangan bebas ASEAN-Cina diberlakukan awal tahun ini.
Saya adalah generasi keempat dari buyut yang datang dari Fujian, Cina, pada 1850. Kami tujuh bersaudara dan saya adalah anak sulung. Daerah tempat saya lahir terkenal dengan tambang batu baranya, Sawahlunto, Sumatera Barat.
Kendati keturunan Cina, saya tak pernah disekolahkan di sekolah Cina. Ketika kecil, saya sempat mengenyam pendidikan Belanda di Padang, padahal di kota itu ada sekolah Cina yang bagus. Tapi kakek dan ayah saya, Lim Gim To, masih membiasakan diri berbicara bahasa Cina dengan dialek Fujian.
Kami dididik oleh Ayah dengan penuh disiplin dan tongkat rotan menjadi "teman" kami. Sebaliknya, ibu saya, Katrina Tjoa Gim Jong Nio, adalah ibu yang penuh kasih. Dia tak pernah mengeluarkan kata kasar, selalu berwajah cerah, dan memberikan aura positif buat orang lain. Dia juga mengajari kami untuk selalu berempati kepada orang lain.
Di era 1966, saya dikenal dengan nama Liem Bian Kie. Adik saya, Sofjan Wanandi, seorang aktivis mahasiswa UI, dikenal sebagai Liem Bian Koen. Setelah Soeharto berkuasa, saya mengganti nama keluarga menjadi Wanandi karena Liem berarti hutan alias wana. Adapun Andi berarti abadi. Adik-adik saya kemudian mengikuti menggunakan nama keluarga Wanandi.
Saya dan Sofjan tak pernah berselisih dalam urusan politik kecuali saat Pemilu 2004. Sofjan, karena dekat dengan Jusuf Kalla, mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Adapun saya mendukung Megawati, bukan karena Megawati paling bagus, melainkan lantaran dia berani pasang badan membela kebijakan anak buahnya. Keberanian ini saya lihat tidak ada pada Yudhoyono.
Akibat pilihan yang berbeda, kami tak saling bicara selama tiga bulan. Bila bertemu di rumah Ibu, kami saling menjauh. Saya ada di satu sudut, Sofjan di sudut rumah yang lain. Melihat perselisihan kami, Ibu turun tangan. Ibu-yang gemar jalan-jalan-mengajak kami seluruh keluarga besar berwisata ke Cina selama sepuluh hari.
Selama perjalanan tentu kami melaku kan kegiatan bersama: jalan, makan, dan belanja, lama-lama perselisihan itu lu ruh. Melihat muka Sofjan selama sepuluh hari tapi tak saling tegur, mana mungkin bisa?
Sekembali dari Cina, Sofjan ditawari Kalla menjadi Menteri Perdagangan. Sa ya tak mengizinkan. Sebagai pedagang, dia akan memiliki konflik kepentingan bila menjadi Menteri Perdagangan. Dengan birokrasi seperti sekarang, tak mung kin pula membuat kebijakan perda gangan berjalan. Maka disodorkanlah nama Mari Pangestu, yang juga ekonom CSIS. Setelah setahun Yudhoyono berkuasa, barulah Sofjan sadar telah salah memilih.
Saya mengundang Jusuf Kalla saat peluncuran biografi singkat Ibu di lounge Jakarta Theatre, beberapa waktu setelah Pemilu 2009. Saya dan Sofjan kembali bersatu dan mendukung Kalla. Ketika berbicara di podium, saya katakan kepada Ibu, jangan khawatir, kali ini kami tak berbeda. Meski kalah, jagoan kami tetap yang terbaik. Kalla tersenyum mendengar pidato itu.
http://majalah.
0 komentar:
Posting Komentar