Kebudayaan lokal sebenarnya juga mengatur hal-hal detail tentang kehidupan manusia.
Ia hadir untuk memandu masyarakatnya agar tidak berperilaku menyimpang. Film, sinetron, entertainment selebritas, karya fiksi, dan entah apalagi telah menempatkan seks sebagai pembentukan modal dagang."
Di situ sebenarnya ada tarian kearifan kultural steril. Sebab dalam konteks kebudayaan Cirebon yang berlaku dari dulu hingga sekarang bahwa angrabeni (seks dalam bahasa Cirebon) itu berasal dari kata dasar rabi. Ini bisa dimaknai merupakan ritual ibadah terhadap rabi (istri), di luar itu, tentu tidak bermakna angrabeni.
Dalam lanskap budaya Jawa Cirebon, misalnya, Sunan Kalijaga pernah berdakwah bahwa angrabeni iku kudu kanthi laku.
Artinya, esensi seks itu adalah amalan perilaku yang utama sekaligus amalan saleh sangu urip nganggo akherat.
Artinya lagi, seks itu agar diyakini bagian dari peribadatan yang dari setiap desah napas yang dikeluarkan akan mengalirkan kearifan ekstase religi.
Dengan begitu, diperlukan tata laku. Konon, tata krama angrabeni tidak bisa dilakukan secara instan dan grasa-grusu.
Dari ruang hangat Keraton Kasepuhan, Cirebon, misalnya, dua hari menjelang angrabeni, sang istri harus melaksanakan lulur lendir penyu. Seusai itu ada acara siraman bunga tujuh warna.
Hal itu diyakini sebagai elmu ambuka gua garba. Tiap kali tubuh disiram air padasan maka akan terdengar suara lirih sang istri, “Niat isun matak ajiku pulung guna pulung sari sun tabukake petiku sawisi. Gemebyar gebyar marang dadaku. Teka welas teka asih marang saliraku.” Sementara sang suami di ruang kontemplasi heneng hgening eling akan sedakep sinuku tunggal seraya berdoa Niat isun angrabeni lir mancur saking awisik manah tan ana sapa,
sing angalangi angrabeni. Temu tinemu asih welas, asih kersaning gusti sing maha welas asih.Itulah sudah! Itulah ritual seks ketika diposisikan sebagai perilaku agung yang anggun.
Di sini, diyakini seks adalah kesucian fi tri.
Angrabeni adalah ritual kesucian dalam selimut kasih sayang di sebuah kamar steril dicahayai macapatan asmarandana. Dengan begitu, sungguh hal nista ketika seks dilakoni dalam lanskap ketelanjangan hewani. Soalnya, seks adalah kreasi bukan rekreasi. Sebuah tindakan peribadatan.
Maka tak aneh manakala pada tingkat ejakulasi tertinggi yang dialirkan bukan kenikmatan personal, melainkan kemanunggalan kalbu yang steril.
Pada titik didih kulminasi itu
justru yang dialirkan adalah desah doa lirih transendental, ”Benjang amenanging suarga, rabi ningsun dadia wadon widadari temuruna.” Kelak di surga, istriku ini turunkanlah jadi bidadari suci diri hamba. Emban ingemban selawase.” Bidadari temuruna? Benar dan betul! Istri adalah bidadari rumah masa depan di surga kelak. Hal ini mengingatkan saya pada mitos perawan sunti, lais, atau biasa disebut turun sintren.Mitologi budaya pesisir Cirebon-Indramayu ini mengajarkan banyak hal tentang hal yang banyak seputar persetubuhan angrabeni dunia akhirat.
Ritual kultural ini digelar di bawah lanskap cahaya bulan ndadari ketika seorang perawan sunti-gadis suci yang belum tersentuh manusia dan jin itu-ditelanjangi, diikat dengan
tali, dimasukkan ke dalam kurungan ayam! Ia dibiarkan terperangkap takdir metafisika dalam ruang gelap awang-uwung.Dalang sintren akan menaruh busana pengantin yang terdiri dari kain sarung tapih bermotif mega mendung, kutang kuning keemasan, kebaya sutra hijau motif bidadari-nadadari, selendang mayang wuyang, gelang emas, dan pernik-pernik aksesori lainnya.
Setelah itu dalang sintren membacakan doa diiringi gending gentong gendul dan tembang pedih para nayaga, "Turun turun sintren/sintrenne widadari/nemu kembang yun ayunan/nemu kembang yun ayunan/kembange batara indra/nemu kembang yun ayunan."
Ritual ini mengabarkan bahwa kesucian yang agung dari seorang perawan sunti dapat dilihat dari apa yang ada dalam kurungan ayam.
Artinya seks adalah hal yang tertutup. Bahkan dalam ajaran kebatinan abad XV tidak diperkenankan angrabeni dilakoni di luar selimut, telanjang bulat, dan dalam ruang benderang.
Konon, ini akan memungkinkan hadirnya makhluk ketiga yang ikut nimbrung angrabeni dari kalangan jin-setan merkayangan.
Saya memosisikan fenomena ini sebagai pesan moral dari ruang steril masa lalu. Kenapa?
Seks telah menjadi kesucian jiwa, kesucian badani juga kesucian ruh yang jauh. Dalam mitos lainnya, angrabeni iku kanthi laku juga pernah dituturkan dalam kasus tak senonoh saat Batara Guru angrabeni Dewi Uma yang dilakukan ketika senja jatuh di kaki langit.
Seks di senja hari ditengarai sebagai lelaku buruk. Saat peralihan warna langit sepatutnya manusia disunyikan dari nafsu.
Saat itu selayaknya manusia luruh memanunggal dalam ruang suci.
Tapi, tidak bagi Batara Guru dan Dewi Uma. Keduanya terlena dalam ambarang angrabeni.
Maka seperti kerap dituturkan para dalang, seks senja hari itu membuat Dewi Uma menjadi raksesi penjaga hutan bernama Batara Durga, sementara `tetes air nafsu' lahirkan jabang bayi bernama Batara Kala. Bayi raksasa itu menjadi adigag adigung adiguna yang kerap mencari mangsa. Salah satu yang dimangsa raksasa Batara Kala itu adalah anak `pancur kaapit sendang' juga `sendang kaapit pancur'.
Primadona, primadosa Kearifan ajaran kultural itu kini tidak lebih dari lukisan pelangi di kaki langit. Kita kerap lupa pada purwadaksina. Ajaran angrabeni kanthi laku itu serasa memberi isyarat agar kita kembali pada ajaran leluhur sebagai pamayung moral. Bahkan, tiap kali di hadapan kita ada cerita penyimpangan angrabeni iku kanthi laku, bisa jadi nalar kita bergetar telusuri masa lalu yang jauh. Bisa jadi kita mantuk-mantuk. "Siapa yang menodai ruang ibadah ketika ruang kamar kita dicaplok raksasa Batara Kala?" Seks di Indonesia dicitrakan bukan lagi sebagai ritual persetubuhan peribadatan. Film, sinetron, entertainment selebritas, karya fiksi, dan entah apalagi telah menempatkan seks sebagai pembentukan modal dagang. Manusia pun tak enggan memuja nafsu sebagai bagian dari pencitraan diri.
Tak aneh bila rating acara televisi menjadi istimewa ketika `dada dan paha' dijual obral murah meriah.
Apa boleh buat, ajaran purba angrabeni iku kanthi laku tidak mustahil kini hanya ada dalam lipatan nalar para budayawan juga para ibad ar rahman.
Bukankah tidak semata-mata diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah? Saya tersenyum. Seks bagian dari ibadah keluarga sakinah tentu lebih indah. (M-1)http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/10/09/ArticleHtmls/09_10_2010_011_003.shtml?Mode=0
0 komentar:
Posting Komentar