BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Andai Saya Gubernur DKI

Andai Saya Gubernur DKI

Written By gusdurian on Rabu, 27 Oktober 2010 | 14.24

Andai Saya Gubernur DKI
Firdaus Cahyadi, KNOWLEDGE SHARING OFFICER FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT, ONEWORLD-INDONESIA

Saya akan mengeluarkan kebijakan radikal untuk membenahi Kota Jakarta.
Perpaduan dampak buruk perubahan iklim dan kegagalan pembangunan tidak bisa dibenahi dengan cara biasa-biasa saja, harus dengan cara yang radikal dan berani.

Senin, 25 Oktober 2010, Kota Jakarta benar-benar lumpuh. Kemacetan lalu lintas terjadi di hampir setiap ruas jalan. Tidak hanya macet, sebagian Kota Jakarta juga sudah mulai kebanjiran. Semua moda transportasi di kota ini menjadi lumpuh.

Kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek juga mengalami keterlambatan akibat beberapa stasiun terendam air. Bahkan bus Transjakarta, moda transportasi kebanggaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pun juga lumpuh.

Namun untunglah ada isu perubahan iklim, sehingga hujan dengan intensitas tinggi sebagai dampak dari perubahan iklim segera menjadi kambing hitam dari kekacauan Kota Jakarta. Dampak buruk perubahan iklim memang bukan lagi sebatas wacana, namun memang benar-benar sudah menjadi kenyataan. Tapi benarkah itu menjadi penyebab dari semua kekacauan di Kota Jakarta? Perpaduan sempurna antara dampak buruk perubahan iklim dan kegagalan model pembangunan Kota Jakarta menjadi penyebab kekacauan kota ini. Lihat saja, meskipun luas tanah di Jakarta semakin sempit, pembangunan kawasan komersial baru tetap dipacu. Bahkan jika tanah Jakarta sudah tidak mencukupi, pantai pun harus direlakan untuk direklamasi guna memuaskan nafsu serakah para pemilik modal dalam membangun kawasan komersial baru dan tentu saja juga permukiman mewah bagi orang-orang kaya di kota ini.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Procon Indah memperkirakan, dalam kurun waktu 2008 hingga 2010 terdapat sekitar 13 pusat belanja baru di Jakarta. Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20 persen akan berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di Central Business District (CBD) Jakarta. Sedangkan sisanya akan tersebar di berbagai daerah di Jakarta lainnya. Luas pusat belanja di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta meter persegi.

Padahal dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luas pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini. Alih fungsi kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air lainnya menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya, yang pada tahun 1965-1985 diperuntukkan bagi kawasan RTH, kini telah berubah fungsi menjadi hutan beton untuk kawasan komersial. Begitu pula hutan kota di Tomang, Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.

Hutan kota, yang seharusnya mampu menyerap air ketika hujan turun, kini sudah hilang. Akibatnya, lebih dari 50 persen air hujan yang turun di Jakarta menjadi air larian (run off) dan masuk ke sistem drainase kota. Celakanya, sistem drainase Jakarta juga buruk, sehingga tidak maksimal dalam mengalirkan air larian tersebut ke laut. Fakta itu pernah diungkapkan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta sejak

2007. Lembaga yang mengurusi lingkungan hidup di Jakarta itu menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan, telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian, yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.

Bukan hanya BPLHD DKI Jakarta yang sudah "mengingatkan"pemerintah akan potensi terjadinya bencana ekologi di Kota Jakarta. Beberapa LSM dan pakar dari perguruan tinggi juga telah sering mengingatkan. Cara mengingatkannya pun beraneka ragam, dari cara yang paling santun hingga menggelar unjuk rasa di ruang publik. Namun suara-suara itu seperti membentur dinding-dinding kantor Gubernur DKI Jakarta. Hingga kini, seperti nya Gubernur DKI Jakarta masih menganggap Kota Jakarta masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Terbukti, pembangunan kawasan komersial baru masih saja diizinkan berdiri di Jakarta. Tuntutan warga kota agar pemerintah memperluas RTH ditanggapi Pemprov DKI Jakarta dengan menggusur warga miskin kota yang kebetulan menempati secuil tanah-tanah ilegal. Sementara itu, gedung-gedung megah yang menggusur RTH secara luas, namun legal, tetap dibiarkan berdiri megah.

Penderitaan warga Kota Jakarta sudah tidak dapat ditoleransi. Sudah cukup warga kota menderita akibat kemacetan lalu lintas, banjir, dan polusi udara di Jakarta.

Peningkatan biaya kesehatan dan sosial warga Jakarta akibat kegagalan model pembangunan harus dihentikan. Andai saja saya menjadi seorang Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta yang dipilih langsung oleh warga kota. Saya akan mengeluarkan kebijakan radikal untuk membenahi Kota Jakarta. Perpaduan dampak buruk perubahan iklim dan kegagalan pembangunan tidak bisa dibenahi dengan cara biasabiasa saja, melainkan harus dengan cara yang radikal dan berani.

Pertama, sebagai Gubernur DKI Jakarta, saya tidak akan lagi mendengarkan nasihat para konsultan pembangunan dan juga lobi dari pemilik modal yang selalu mengatakan bahwa Kota Jakarta masih layak bagi pembangunan kawasan komersial baru. Segala argumentasi teknis yang mereka sampaikan secara tertulis akan saya masukkan dalam kotak sampah.

Kedua, saya akan segera mengubah paradigma pembangunan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jakarta.

Di dalam RTRW Kota Jakarta, saya tidak akan lagi menjadikan Kota Jakarta menjadi kota jasa yang bertaraf internasional.

Kota Jakarta cukup menjadi pusat pemerintahan, bukan pusat bisnis. Untuk itu, saya akan mengubur mimpi saya yang ingin menjadikan Kota Jakarta seperti Singapura. Jakarta adalah sebuah ibu kota negara Indonesia yang luas, tidak seperti Singapura.

Ketiga, saya akan mengeluarkan kebijakan moratorium (jeda) bagi pembangunan kawasan komersial baru di Jakarta. Dengan ini pula saya akan membatalkan proyek reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, yang semula diperuntukkan sebagai penambahan lahan bagi kawasan komersial baru. Selama masa moratorium itu pula, saya akan mengkaji dengan seksama, kawasan komersial apa saja yang seharusnya dipindahkan ke luar Kota Jakarta.

Keempat, saya secara bertahap akan memindahkan kawasan komersial ke luar Kota Jakarta. Ini merupakan sebuah kebijakan yang sulit, namun saya yakin ini yang harus dikerjakan untuk menyelamatkan warga kota dari sebuah penderitaan panjang. Namun, sayang seribu sayang, saya bukan seorang Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta. Saya hanyalah salah satu dari jutaan warga yang selama ini menjadi korban kegagalan model pembangunan Kota Jakarta. Dan saya hanya bisa menanti dan menjadi saksi kehancuran kota ini. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/27/ArticleHtmls/27_10_2010_012_021.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: