BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Urgensi Strategi Nasional untuk Pencegahan Bunuh Diri

Urgensi Strategi Nasional untuk Pencegahan Bunuh Diri

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 13.44


Gelisah adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi psikologis masyarakat Indonesia.


Bangsa ini butuh ventilasi besarbesaran untuk melegakan batinbatin tertekan (baik tertekan secara sadar maupun tidak sadar). Ironisnya, kondisi tertekan ini dapat dirasakan secara vertikal dan horizontal oleh semua kalangan.Oleh karenanya, ibarat waduk yang meluap, segala bentuk ventilasi menjadi bermakna dan dapat menolong nyawa.Contoh saja manfaat dari media jejaring sosial seperti Twitter yang memberikan kesempatan untuk berkeluh kesah tentang tingkah polah para wakil rakyatnya, bermetafora tentang kehidupan pribadinya, bereksperimentasi bebas untuk ciri kepribadiannya, atau ragam lain.

Walau berkesan sepele, tanpa disadari ada sejumput beban diri yang terlepas di dalam 140 karakter sebuah status Twitter. Namun tidak semua orang bisa terselamatkan nyawanya dengan berventilasi melalui Twitter atau metode sederhana lainnya. Bertepatan dengan HUT International Association for Suicide Prevention (IASP) ke-50, organisasi ini mengimbau agar dunia memperingati World Suicide Prevention Day (WSPD/Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia) pada 10 September. Kebetulan di Indonesia hari tersebut bertepatan dengan Idul Fitri sehingga resistensi tentang ide bunuh diri dan gangguan jiwa wajar terjadi dan menjadi tidak sinkron dengan hari yang penuh fitrah.

Sinkron atau tidak sinkron hanyalah masalah seremonial karena WSPD ini sungguh sangat relevan untuk diimplementasikan secepatnya. Kasus bunuh diri sepertinya menjadi fenomena yang tidak berkesudahan, terutama berkaitan dengan himpitan ekonomi yang masih menjadi akar muasal permasalahan bangsa. Korban bunuh diri pun cukup acak antara pelaku berjenis kelamin laki-laki dan perempuan atau metode bunuh diri yang digunakan beragam dan terus berkembang.

Data Bunuh Diri

Berdasarkan catatan WHO tahun 2003,setiap tahun terdapat 1 juta orang bunuh diri. Angka ini menunjukkan bahwa angka mortalitas global sebesar 16 per 100.000 atau satu kematian per 40 detik.Angka kematian karena bunuh diri pada negara-negara berkembang telah meningkat stabil akhir-akhir ini. Bunuh diri di banyak negara merupakan tiga penyebab terbesar kematian pada penduduk usia 15–35 tahun. Di Indonesia, kita terbiasa mendengarkan pemberitaan kasus bunuh diri yang teramu banal dan acak tanpa standardisasi nasional. Data nasional di Indonesia mengenai bunuh diri juga belum terkumpul secara resmi.

Benedetto Saraceno selaku Direktur Departemen Kesehatan Jiwa dan Penyalahgunaan Zat untuk WHO mengatakan pada 2005 bahwa angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 24 kematian per populasi 100.000. Menurut HA Prayitno, angka bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995– 2004 mencapai 5,8/100.000 penduduk dengan mayoritas dilakukan oleh pria. Dari 1.119 korban bunuh diri,41% di antaranya gantung diri, 23% dengan minum racun serangga, dan sisanya 356 orang meninggal karena overdosis “napza”. Data bunuh diri dari Kabupaten Gunung Kidul, DIY, yang banyak penduduk miskinnya tercatat 74 kasus terhitung dari tahun 2003–2005 dengan rentang usia pelaku bunuh diri adalah 25–85 tahun.

Aspek Promotif-Preventif yang Kreatif

Yang pelik,bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal. Sulit untuk menjelaskan penyebab seseorang memutuskan untuk melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama, bahkan lebih buruk, tetapi tidak melakukannya. Sebaiknya bunuh diri ditinjau sebagai sebuah tindakan multidetermined dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko seperti faktor sosiokultural, faktor psikologis, faktor biologis,stressor psikososial,faktor protektif,dan faktor pencetus.

Dengan berbagai faktor multidetermined di atas, maka tidak mudah untuk memahami kapan akan terjadinya bunuh diri. Harus ada sebuah komando utama untuk menghadapi fenomena bunuh diri yang on-going dengan mengembangkan dan mengimplementasikan strategi nasional dan juga intervensi lokal yang spesifik. WHO menegaskan bahwa tidak semua tindakan bunuh diri dapat dicegah, tetapi mayoritas bisa.Beberapa pendekatan untuk mencegah terjadinya bunuh diri termasuk, pertama, membatasi akses seseorang terhadap “alat” bunuh diri seperti regulasi pestisida di Sri Lanka sehingga angka kematian akibat bunuh diri berkurang separuh antara tahun 1995 hingga 2005.

Kedua, membuat program pencegahan komunitas seperti di Angkatan Udara Amerika Serikat yang menciptakan program deteksi indikator bunuh diri dan mengurangi prevalensi faktor risiko terkait bunuh diri sehingga angka bunuh diri menurun dari 15,8 per 100.000 (1995) menjadi 6 per 100.000 (2002). Ketiga, membuat standar pelaporan media massa seperti apa yang dilakukan di Hong Kong dengan mengikuti standar WHO untuk tidak menampilkan detail perilaku bunuh diri (foto, metode bunuh diri), tidak membuat berita sensasional sehingga mencegah adopsi metode bunuh diri copycat atau meniru.

Keempat, para profesional yang terutama terkait dengan kesehatan jiwa sebagai ujung tombak program, seperti yang diterapkan di Inggris, terbukti efektif dengan meningkatkan pengetahuan klinis tentang bunuh diri dan memperbaiki sikap dalam menghadapi perilaku bunuh diri. Hal ini bisa dilakukan dokter umum dengan garis rujukan jelas untuk intervensi.

Sensitivitas Masyarakat

Selain strategi nasional, juga diperlukan sensitivitas yang cukup dari masyarakat untuk dapat mengamati faktor pencetus bunuh diri. Faktor pencetus seperti diputuskan oleh pacar, putus asa dengan penyakit yang diderita, lilitan utang, problem eksistensi sering luput dari perhatian.Tidak ketinggalan pula dengan warning signs atau tanda dini adanya ancaman bunuh diri yang bisa berupa perkataan yang berhubungan dengan kematian, perubahan sikap yang menarik diri tidak seperti biasanya, dan lain-lain.

Faktor protektif berupa hal-hal sederhana seperti dukungan keluarga dan, pada kalangan tertentu, peran agama dapat ikut berperan untuk mencegah tindakan bunuh diri. Jika ingin pendekatan yang lebih efektif dan tidak terbatas per individual saja, tentunya semua elemen bangsa Indonesia harus bangkit berperan untuk menolong sesama. Bentuknya dengan aktivitas yang kreatif untuk sosialisasi pencegahan bunuh diri sekaligus mengedukasi seperti menuliskan perihal bunuh diri, meneliti hal ihwal bunuh diri,mengadakan konferensi, inisiatif wawancara televisi yang konstruktif, mengadakan acara peringatan di lokasi bunuh diri (terutama tempat umum).

Bagi legislator, peran undangundang yang tegas dapat ikut mengawal program preventif dan promotif sebagai program andalan dan tidak melulu penanganan berbasis rumah sakit. Ini akan ikut menumbuhkan kesadaran nasional untuk ikut mencegah siapa pun melakukan tindakan bunuh diri. Legislasi kesehatan jiwa, terutama dalam hierarki UU,termasuk salah satu kebutuhan mendesak yang patut diperjuangkan untuk kepentingan ini.

Dampak dari beragam upaya di atas tidak bisa dipertanyakan efektivitasnya sebelum dikerjakan, tetapi semua upaya harus segera dimulai dari sekarang.(*)

dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Anggota DPR RI Komisi IX, Fraksi Partai Demokrat

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/349393/
Share this article :

0 komentar: